Thursday, August 23, 2007

Makassar, 22/8 (ANTARA) - Lima setengah tahun menjabat Menteri Sosial membuat Bachtiar Chamsyah jeli menanggapi teks pidato yang diberikan stafnya sebelum teks itu dibacakannya.

"Seorang menteri tidak mungkin punya waktu untuk membuat teks pidato untuk suatu acara. Jadi yang dibacakan itu adalah hasil kerja stafnya, yang kadang-kdang adalah pejabat eselon empat," kata Bachtiar Chamsyah, Rabu, di sela-sela kehadirannya di Makassar untuk Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial ke-4 yang digelar 21-23 Agustus 2007.

Pengalaman mengajarkannya agar dia selalu memeriksa teks pidato itu minimal lima menit sebelum berpidato agar kesalahan yang ada di dalam teks bisa segera dikoreksi. Itu karena dia tidak ingin ada kesalahan data atau pernyataan yang tidak pas dalam naskah pidato itu turut terbaca saat dia berpidato.

"Kalau menterinya bermasa bodoh atau memang bodoh, dibacanya pula semua teks itu, sehingga apa yang diomongkan pun ikut salah, karena kesalahan sang staf," ujarnya dengan logat Batak yang disambut dengan tawa para peserta konfrensi.

Sebelum bergabung dalam kabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bachtiar juga menjabat Menteri Sosial pada masa pemerintahan Megawati.

"Masa lebih lima tahun menggeluti bidang itu, tidak menguasai. Bodoh kali aku kalau tak tahu," katanya sambil bercanda.

JADIKAN GERAKAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN TERBESAR

Makassar, 21/8 (ANTARA) - Gerakan sosial yang dulunya hanya disepelekan, kini harus menjadi gerakan terbesar yang dapat mengalahkan gerakan apa pun yang ada di Indonesia.

Pernyataan itu dikeluarkan Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) Prof DR Haryono Suyono untuk memberi semangat kepada 250 orang penggiat gerakan sosial yang hadir pada Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial ke-4 di Hotel Horison, Makassar, Selasa.

"Gerakan sosial itu harus menjadi yang terdepan dan benar-benar menyentuh pada sasaran demi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, bukan kesejahteraan bagi pejabat atau pendampingnya," ujarnya.

Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini, gerakaan sosial kini mulai luntur, dan karena itu perlu menggiatkan kembali gerakan sosial itu hingga ke desa-desa yang sudah hilang semangat gotong-royong dan kebersamaannya.

Tak heran jika melalui DNIKS ia menyerukan kepada seluruh anggotanya di seluruh provinsi agar segera membentuk "pos daya" di kota-kota hingga pelosok pedesaan.

Tujuannya, kata mantan menteri pada era Orde Baru ini, agar melalui pos daya atau kelompok-kelompok tersebut dapat merangsang terciptanya usaha bersama dan menjalin keeratan hubungan sosial kemasyarakatan, sekaligus untuk mengantisipasi tumbuhnya konflik sosial yang kini rawan terjadi.

DORONG WISATA MICE HINGGA 400 'EVENT' PER TAHUN

Makassar, 22/7 (ANTARA) - Devisa negara dari kunjungan wisatawan mancanegara, harus diperkuat dengan wisata 'MICE' yang kental dengan 'event' konvensi. Karena itu, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik bersikeras Indonesia mendapat 400 'event' wisata MICE per tahun.

"Kalau selama ini, kita hanya kebagian 200 MICE per tahun, maka mulai tahun 2007 hingga ke depan harus bisa mencapai 400 MICE," ujar menteri yang basisnya pengusaha ini di sela-sela kehadirannya di Makassar akhir pekan lalu.Untuk menunjang obsesi tersebut, tahun lalu telah dibentuk Direktorat MICE yang ada di bawah Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Hal ini sebagai bukti bahwa tekadnya untuk merebut konvensi berskala internasional dapat ditarik ke Indonesia mulai tahun 2007.Menurut dia, semua konvensi atau rapat-rapat di dunia harus ditarik ke negara ini.

Melalui konvensi itu pula dapat ditawarkan kunjungan ke sejumlah objek wisata sebagai satu paket dengan kegiatan MICE.Sikap percaya diri dari penggiat pariwisata ini, karena didukung oleh sarana yang sudah bisa diandalkan. Misalnya, MICE yang pesertanya 5.000 dapat tertampung pada hotel yang ada di Jakarta dan Denpasar, Bali. Sementara MICE dengan peserta berkisar 2.000 orang penyelenggaraannya dapat didorong ke kota lain, khususnya di Kota Makassar sebagai pintu gerbang dan sekaligus ruang tamu Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Pentingnya menggalakkan wisata MICE tersebut, katanya, karena dengan MICE pengunjung asal mancanegara itu sudah terjadwal kegiatan dan kehadirannya di Indonesia, dan tidak akan terpengaruh dengan kondisi dalam negeri.

"Bedanya turis biasa dengan turis MICE, kalau ada demo atau keributan yang kemudian disiarkan TV asing dan dilihat oleh turis biasa, perjalanannya ke Indonesia dapat dibatalkan. Sementara kalau turis MICE, karena agendanya sudah terjadwal dan ada jaminan dari pihak penyelenggara, tentu tidak terlalu mempedulikan aksi-aksi demo yang biasanya dipolitisir oleh media asing," katanya memberikan perbandingan.