Saturday, July 26, 2008

Sulsel Genjot Sosialisasi Perlindungan Anak

Makassar, 23/7 (ANTARA) - Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Sulsel menggencarkan sosialisasi untuk melindungi anak agar tindak menjadi korban komersial anak.
"Banyaknya kasus komersial anak di Indonesia, harus menjadi perhatian bersama agar anak-anak di sekitar kita tidak terjerumus," kata Ama Saing, Kepala Disbudpar Sulsel di Makassar, Rabu, menanggapi peranan lembaganya terkait dengan peringatan Hari Anak Nasional.
Dijelaskan, adanya kasus-kasus yang melibatkan anak-anak di lapangan, kerap dinilai sebagai ekses dari perkembangan industri pariwisata di suatu daerah.
Khusus di Sulsel sebagai pintu gerbang Kawasan Indonesia Timur (KTI), lanjutnya, kasus yang melibatkan anak dengan tiga permasalahan pokok yakni pornografi, prostitusi dan perdagangan anak (trafficking) belum signifikan terjadi di ibukota Provinsi Sulsel ini.
"Jumlah kasus anak di Sulsel relatif kecil dan kalau pun ada, itu rata-rata adalah anak pendatang yang berasal dari Manado dan surabaya," paparnya sembari mengimbuhkan, umumnya anak-anak itu terlibat dalam kasus prostitusi dengan usia antara 15 - 17 tahun.
Terpaparnya kasus seperti itu, Saing mengatakan, karena pengaruh ekonomi, rendahnya pendidikan dan pola gaya hidup. Untuk mencegah hal tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Disbudpar Sulsel adalah menggencarkan sosialisasi untuk melindungi anak melalui pendekatan kultural. Caranya, dengan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya melalui pendidikan di sekolah, rumah tangga dan masyarakat.
"Hanya dengan pendekatan nilai-nilai budaya lokal dan agamalah, dapat membentengi anak-anak kita dari bahaya kasus komersial anak," tandasnya.
Terkait dengan kasus yang melibatkan anak-anak, berdasarkan hasil riset UNICEF diketahui sekitar 40 ribu anak di Indonesia adalah korban ekploitasi anak.
Sementara M Gufron dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel memaparkan, kasus anak yang terjadi di daerah ini selain komersial anak, juga sering terjadi kasus kekerasan terhadap anak yang umumnya berasal dari rumah tangga berekonomi lemah, berpendidikan rendah dan 'broken home'.
"Sedikitnya dalam sebulan kami menerima laporan kasus kekerasan dan komersial anak 10 kasus," katanya sembari mengimbuhkan, namun kasus yang mengemuka atau di laporkan ini seperti fenomena gunung es, artinya kasus serupa diprediksi masih banyak di lapangan namun belum dilaporkan ataupun belum diketahui oleh pihak yang berkompeten.
LP Khusus Anak Terkait dengan adanya sejumlah kasus yang melibatkan anak-anak, Lusi Palulungan Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Pemerhati Perempuan dan Anak Indonesia (LBH P2I) Sulsel mengatakan, seharusnya anak-anak yang terpaksa mendapat sanksi pidana, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak.
"Namun kenyataannya, pemerintah belum serius menanggapi kebutuhan ini, padahal hal ini sangat penting karena berdampak pada perkembangan dan psikologis anak.
Di sisi lain, untuk pembinaan anak terpidana, harus dapat dipisahkan dari para terpidana dewasa. Pasalnya, dari fenomena di lapangan, seorang anak yang pernah ditahan di LP dewasa, cenderung mendapat pengaruh negatif dari dari hasil pergaulannya dengan terpidana dewasa selama menjalani masa tahanan.
Hal itu diakui, Illang salah seorang mantan narapidana yang masih duduk di bangku SMP. Menurut siswa disalah satu STM negeri Makassar ini, ketika menjalani masa tanahan karena dituduh sebagai penada dari hasil curian teman kelasnya, ia mulai mengenal narkoba di LPGunung Sari Makassar.
"Awalnya saya tidak mau, tapi karena terus-menerus diminta mencoba oleh senior, maka saya pun mengenal narkoba," akunya namun enggan menyebutkan siapa yang menyuruhnya itu.
Menyikapi contoh kasus tersebut, Lusi berharap agar pemerintah pusat hingga daerah dapat memberikan perhatian penuh pada upaya pembentukan LP khusus anak, jika tidak ingin generasi penerus Bangsa Indonesia semakin terpuruk dalam kondisi yang serba sulit dan tidak ada ketegasan penegakan hukum.