Thursday, August 23, 2007

Makassar, 22/8 (ANTARA) - Lima setengah tahun menjabat Menteri Sosial membuat Bachtiar Chamsyah jeli menanggapi teks pidato yang diberikan stafnya sebelum teks itu dibacakannya.

"Seorang menteri tidak mungkin punya waktu untuk membuat teks pidato untuk suatu acara. Jadi yang dibacakan itu adalah hasil kerja stafnya, yang kadang-kdang adalah pejabat eselon empat," kata Bachtiar Chamsyah, Rabu, di sela-sela kehadirannya di Makassar untuk Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial ke-4 yang digelar 21-23 Agustus 2007.

Pengalaman mengajarkannya agar dia selalu memeriksa teks pidato itu minimal lima menit sebelum berpidato agar kesalahan yang ada di dalam teks bisa segera dikoreksi. Itu karena dia tidak ingin ada kesalahan data atau pernyataan yang tidak pas dalam naskah pidato itu turut terbaca saat dia berpidato.

"Kalau menterinya bermasa bodoh atau memang bodoh, dibacanya pula semua teks itu, sehingga apa yang diomongkan pun ikut salah, karena kesalahan sang staf," ujarnya dengan logat Batak yang disambut dengan tawa para peserta konfrensi.

Sebelum bergabung dalam kabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bachtiar juga menjabat Menteri Sosial pada masa pemerintahan Megawati.

"Masa lebih lima tahun menggeluti bidang itu, tidak menguasai. Bodoh kali aku kalau tak tahu," katanya sambil bercanda.

JADIKAN GERAKAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN TERBESAR

Makassar, 21/8 (ANTARA) - Gerakan sosial yang dulunya hanya disepelekan, kini harus menjadi gerakan terbesar yang dapat mengalahkan gerakan apa pun yang ada di Indonesia.

Pernyataan itu dikeluarkan Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) Prof DR Haryono Suyono untuk memberi semangat kepada 250 orang penggiat gerakan sosial yang hadir pada Konferensi Nasional Kesejahteraan Sosial ke-4 di Hotel Horison, Makassar, Selasa.

"Gerakan sosial itu harus menjadi yang terdepan dan benar-benar menyentuh pada sasaran demi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, bukan kesejahteraan bagi pejabat atau pendampingnya," ujarnya.

Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ini, gerakaan sosial kini mulai luntur, dan karena itu perlu menggiatkan kembali gerakan sosial itu hingga ke desa-desa yang sudah hilang semangat gotong-royong dan kebersamaannya.

Tak heran jika melalui DNIKS ia menyerukan kepada seluruh anggotanya di seluruh provinsi agar segera membentuk "pos daya" di kota-kota hingga pelosok pedesaan.

Tujuannya, kata mantan menteri pada era Orde Baru ini, agar melalui pos daya atau kelompok-kelompok tersebut dapat merangsang terciptanya usaha bersama dan menjalin keeratan hubungan sosial kemasyarakatan, sekaligus untuk mengantisipasi tumbuhnya konflik sosial yang kini rawan terjadi.

DORONG WISATA MICE HINGGA 400 'EVENT' PER TAHUN

Makassar, 22/7 (ANTARA) - Devisa negara dari kunjungan wisatawan mancanegara, harus diperkuat dengan wisata 'MICE' yang kental dengan 'event' konvensi. Karena itu, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik bersikeras Indonesia mendapat 400 'event' wisata MICE per tahun.

"Kalau selama ini, kita hanya kebagian 200 MICE per tahun, maka mulai tahun 2007 hingga ke depan harus bisa mencapai 400 MICE," ujar menteri yang basisnya pengusaha ini di sela-sela kehadirannya di Makassar akhir pekan lalu.Untuk menunjang obsesi tersebut, tahun lalu telah dibentuk Direktorat MICE yang ada di bawah Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Hal ini sebagai bukti bahwa tekadnya untuk merebut konvensi berskala internasional dapat ditarik ke Indonesia mulai tahun 2007.Menurut dia, semua konvensi atau rapat-rapat di dunia harus ditarik ke negara ini.

Melalui konvensi itu pula dapat ditawarkan kunjungan ke sejumlah objek wisata sebagai satu paket dengan kegiatan MICE.Sikap percaya diri dari penggiat pariwisata ini, karena didukung oleh sarana yang sudah bisa diandalkan. Misalnya, MICE yang pesertanya 5.000 dapat tertampung pada hotel yang ada di Jakarta dan Denpasar, Bali. Sementara MICE dengan peserta berkisar 2.000 orang penyelenggaraannya dapat didorong ke kota lain, khususnya di Kota Makassar sebagai pintu gerbang dan sekaligus ruang tamu Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Pentingnya menggalakkan wisata MICE tersebut, katanya, karena dengan MICE pengunjung asal mancanegara itu sudah terjadwal kegiatan dan kehadirannya di Indonesia, dan tidak akan terpengaruh dengan kondisi dalam negeri.

"Bedanya turis biasa dengan turis MICE, kalau ada demo atau keributan yang kemudian disiarkan TV asing dan dilihat oleh turis biasa, perjalanannya ke Indonesia dapat dibatalkan. Sementara kalau turis MICE, karena agendanya sudah terjadwal dan ada jaminan dari pihak penyelenggara, tentu tidak terlalu mempedulikan aksi-aksi demo yang biasanya dipolitisir oleh media asing," katanya memberikan perbandingan.

Monday, July 16, 2007

GELIAT MAKASSAR DALAM EMPAT ABAD

Makassar, 11/7 (ANTARA) - Kota Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan pada 9 November 2007 nanti akan genap berusia 400 tahun.

Dalam perjalanan sejarah selama empat abad itu, kota terbesar di Kawasan Timur Indonesia ini telah mengalami puncak-puncak kejayaan dan 'pasang-surut' dalam kehidupan masyarakatnya. Sejarah Kota Makassar sendiri berawal ketika muara Sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecilnya menjadi salah satu bandar yang diperhitungkan di dunia pada penghujung abad XV. Saat itu, wilayah Bandar Makassar berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang di sekitar Kabupaten Pangkep. Namun pada awal abad XVI melepaskan diri dan berada dalam wilayah Kerajaan Gowa-Tallo.

Dalam perkembangannya, Bandar Makassar kemudian dipindahkan ke muara Sungai Jeneberang dan di sekitar lokasi itu kemudian dibangun Benteng Somba Opu. Hanya dalam seabad saja, inti Kota Makassar yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa saat itu berkembang menjadi kota niaga dan akhirnya menjadi pusat utama jaringan perdagangan internasional di kawasan Timur pasca jaringan perdagangan di Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511.

Ketika Malaka diambil alih oleh Kompeni Dagang Belanda (VOC), penjajah asal Portugis pun berpindah ke Makassar. Sejak saat itu hingga menjelang pertengahan abad XVII, terjadi perlawanan hebat dari raja-raja di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Makassar (Kerajaaan Gowa) pada khususnya, hingga akhirnya tentara Portugis berhasil diusir, namun kemudian penjajah baru masuk ke Makassar yang berasal dari Belanda.

Bersamaan dengan itu, hubungan Makassar dengan dunia Islam pun mulai terbangun yang dirintis Raja Gowa XIV I-Mangngarangi Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin (memerintah 1593-1639), setelah diislamkan oleh Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau yang tiba di Tallo pada September 1605.

Selain mengislamkan Sultan Alauddin, Dato' Ri Bandang juga mengislamkan Raja Tallo I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka. Kedua raja inilah yang menjadi pemeluk agama Islam pertama di Sulsel. Bertepatan pada hari Jumat, 9 November 1607 dilaksanakanlah salat Jumat dan kemudian kedua raja menyatakan bahwa agama Islam adalah agama resmi bagi penduduk di kedua kerajaan itu.

Pelaksanaan salat Jumat itu bersamaan dengan salat Jumat yang digelar di Masjid Mangallekana di Somba Opu dan momen itulah yang kemudian dijadikan landasan peringatan Hari Jadi Kota Makassar sejak tahun 2000.

Proses Panjang
Pasca masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Agama Islam, Bandar Makassar berubah menjadi pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Ini dibuktikan dengan banyaknya koleksi buku dan peta terkumpul di Makassar.

Salah satu bukti sejarah adalah karangan buku La Galigo yang terkenal di seluruh dunia dan dapat melampaui karangan buku Mahabaratha. Kondisi seperti itu pada zamanya di Eropa masih sangat langka.

Sementara upaya untuk terus memperluas kekuasaan dan menguasai perdagangan saat itu, menyebabkan raja-raja Gowa-Tallo bersinggungan dengan VOC dan terjadilah pertempuran sengit.

Dengan taktik devide et empera (politik pecah belah) yang dijalan VOC, akhirnya tentara kolonial itu pada tahun 1669 berhasil meratakan Kota Makassar dan benteng terbesarnya yakni Benteng Somba Opu.
Seiring dengan kekalahan itu, waktu terus berjalan dan pada akhir abad XVIII, Pemerintah Kolonial Belanda jatuh bangkrut, sehingga melepaskan Makassar dan menjadikan bandarnya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Para pedagang dan raja-raja di Makassar mencoba bangkit kembali dan akhirnya pada abad XIX kota ini menjadi bandar internasional serta mendapat julukan "Kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" oleh Joseph Conrad, penulis Inggris-Polandia.

Menghirup udara bebas itu, tidak lama dinikmati masyarakat di Makassar, karena diawal abad XX Belanda kembali berhasil menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, dan menjadikan Makassar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Indonesia Timur.

Dalam penguasaan pemerintahan Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad itu, selain penduduk Makassar terus bertambah menjadi tiga kali lipat dari dua abad sebelumnya, wilayahnya pun semakin di perluas.

Tepat tahun 1906 Makassar kemudian dideklarasikan menjadi Kota Madya. Kemudian pasca kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1949 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di kota ini. Setahun kemudian Makassar dijadikan sebagai Ibukota Provinsi Sulsel.

Kini, Kota Makassar yang memiliki luas 175,77 kilometer persegi dengan 14 kecamatan dan 143 kelurahan, sudah memiliki penduduk sebanyak 1,3 juta jiwa.

"Kota Makassar merupakan satu wilayah tujuan investasi yang sangat menjanjikan," ungkap H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sembari menambahkan, pendapatan per kapita penduduknya rata-rata USD 1.729 (2006), jauh lebih tinggi dari per kapita nasional sebesar USD 1.600.

Kondisi tersebut diperkuat dengan laju pertumbuhan ekonomi Makassar yang mencapai 9 hingga 10 persen, meski laju investasinya masih dibawah 6 persen.

"Dengan indikator ekonomi seperti itu, Makassar jelas memiliki keunggulan yang menjanjikan bagi investor," tandasnya sembari menambahkan, karena itu Kantor Perwakilan Pemkot Makassar telah dibuka di Mess Pemkot Makassar, Jalan Kramat Kwitang I H nomor 7 Jakarta Pusat baru-baru ini.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan investor dengan sistem pelayanan Pemkot Makassar. Pasalnya, di tempat itu tersedia informasi, data dan tata cara menanamkan investasi di Kota Makassar, tanpa perlu datang langsung ke kota yang berjulukan kota "anging mammiri" ini.

Upaya itu adalah salah satu cara agar Kota Makassar masih terus bergeliat dan kembali meraih kejayaannya sebagai kota bandar niaga internasional dan pusat pelayanan Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti yang telah diraih pada empat abad yang lalu. Jadi 'Living Room' Dalam masa pemerintahan duet Ilham Arief Sirajuddin - Andi Herry Iskandar, keduanya bertekad mengembalikan kejayaan Kota Makassar pada masa lampau sebagai kota internasional dan kota perdagangan.

"Kita ingin membuat Kota Makassar bukan hanya sebagai pintu gerbang Indonesia timur, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai ruang keluarga atau 'living room' Indonesia timur dalam hal bisnis dan perdagangan," jelas Ilham.

Menurutnya, kalau hanya sekadar 'gate' (pintu gerbang), itu percuma saja, karena Makassar hanya dijadikan tempat persinggahan. Berbeda jika dapat menjadi living room. Karena orang atau investor bisa berlama-lama tinggal di Makassar.

Untuk mencapai obsesi itu, walikota beserta perangkatnya, melakukan revitalisasi Pantai Losari yang mengangkat tema "save our Losari" sebagai ruang publik. Selain itu, gencar melakukan kampanye baik dalam dan luar negeri untuk menarik investor menanamkan investasi di kota ini. Termasuk membangun sarana dan prasarana yang dapat mendukung penanaman investasi, di antaranya memperlebar akses jalan raya, menata kawasan kumuh khususnya di Kecamatan Mariso, mengembangkan usaha retail dan berbagai akses pelayanan publik.

Khusus untuk mendukung akses pelayanan publik, Pemkot Makassar siap menggunakan sistem electronic-goverment (E-Goverment) melalui bantuan investor asal Korea. Sehingga ke depan basis pemerintahan dengan sistem Information, Communcination and Technology (ICT) bisa diterapkan di segala lini, dan tentunya akan memperluas akses informasi Pemkot Makassar baik di dalam maupun luar negeri, guna menarik para calon investor.

Selaku nakhoda Pemkot Makassar, walikota pun dengan partnernya memiliki pekerjaan rumah (PR) sebagai implikasi yang ditinggalkan walikota sebelumnya. Untuk masalah lingkungan misalnya, ancaman banjir, berkurangnya ruang terbuka untuk publik, dan menjamurnya rumah-rumah toko (Ruko) menjadi persoalan sendiri yang perlu diselasaikan. Bencana banjir merupakan ancaman terbesar Kota Makassar dari tahun ke tahun yang dipicu tata kota dan pemanfaatan ruang yang menyalahi ketentuan lingkungan.

Semua itu harus dibenahi, karena promosi besar-besaran tanpa dibarengi perbaikan tata ruang kota dan penyelamatan lingkungan hidup, tentu akan menyulitkan Pemkot Makassar mendapatkan investor. Pasalnya, investor yang jeli dan memiliki 'sense of invironmental' (peduli lingkungan) akan menjadikan hal itu sebagai indikator sebelum menanamkan modalnya, selain indikator pelayanan investasi yang tidak birokratis dan berbelit-belit.

HPP BARU MASIH BERLAKU DI ATAS KERTAS

Makassar, 7/4 (ANTARA) - Di penghujung April 2007, pemerintah menerbitkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang baru untuk membeli produksi petani. Kebijakan tersebut diharapkan dapat dinikmati oleh petani, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang mayoritas hidup dari lahan pertanian. Namun kenyataannya, HPP baru masih berlaku di atas kertas, belum sampai ke petani.
Setidaknya itulah yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dikenal sebagai daerah penyanggah pangan nasional. Dengan jumlah penduduk sekitar 8 juta jiwa yang 70 persen di antaranya hidup dari sektor pertanian, HPP baru yang ditetapkan pemerintah, bukan jamin sebagai kabar gembira bagi mereka.
Daeng Ali, salah seorang warga Barandasi, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros Ilyas misalnya, hasil panennya pada musim rendeng ini hanya dibeli oleh pihak penggilingan (mitra Bulog) seharga Rp1.750 per kilogram (kg) untuk Gabah Kering Panen (GKP). Padahal harga GKP dalam HPP yang baru Rp2.000 per kg.
Harga tersebut emang sudah diatas GKP HHP lama yakni Rp1.730 per kilogram, namun masih sangat jauh dari HPP yang baru. Hal serupa juga diakui Nurdin, petani asal Kabupaten Pangkep. Menurutnya, harga sarana produksi (Saprodi) jauh lebih awal naik sebelum ada HPP baru dari pemerintah. Sehingga kenaikan HPP sekitar 17 persen itu tidak memiliki arti di kalangan petani.
"Biaya yang kami keluarkan sebelum memasuki panen jauh lebih banyak. Karena harga pupuk ataupun racun hama rata-rata naik sekitar Rp500 hingga Rp1.000, sementara kenaikan harga dari pemerintah hanya naik sekitar Rp300," katanya.
Kondisi yang dialami petani di dua kabupaten itu, tidak jauh beda dengan petani lainnya di Sulsel. Mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sementara hasil panen yang diperoleh tidak berimbang. Bahkan lebih banyak apesnya. Namun tidak ada pilihan lain selain menjadi petani yang sudah digeluti secara turun-temurun.
"Untuk biaya pengarapan satu petak tanah seluas satu hektar misalnya, harus mengeluarkan biaya traktor sekitar Rp500 ribu, ditambah biaya pupuk yang juga ratusan ribu," katanya memaparkan untuk pupuk Urea semula masih Rp55 ribu per zak (50 kg), kini Rp60 per zak. Sedang pupuk TSP Rp75 ribu per zak naik menjadi Rp80 ribu per zak, SP36 dari Rp75 ribu per zak menjadi Rp77.500 per zak. Untuk racun serangga jenis Puradan ditebus dengan harga Rp18 ribu per dua kilogram.
Selain tingginya harga Saprodi yang dikeluhkan para petani, produksi petani pun banyak tergantung dari kondisi cuaca. Musim panen raya periode April 2007 ini, produksi petani kurang optimal, karena banyak gabah yang hampa yang dipicu oleh curah hujan yang tidak menentu.
"Menjelang panen, padi kami diguyur hujan, jadi bulir padinya agak hitam dan banyak juga yang tidak berisi (hampa)," tutur Sago, salah seorang petani di Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros.
Akibat dari kondisi tersebut, lanjutnya, kalau sepetak tanah biasanya menghasilkan rata-rata hingga 10 karung (100 kg) gabah, kini hanya sekitar enam karung gabah saja.

Pemangkasan Mekanisme
Menyikapi belum sepenuhnya HPP baru dapat dinikmati petani, Prof DR Halide, SE, Guru Besar Universitas Hasanuddin mengatakan, pemerintah harus melakukan pemangkasan mekanisme pembelian produksi petani. Selain itu memberikan fasilitas pendukung bagi petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya.
"Kalau mekanismenya masih panjang, artinya masih melalui perantara atau mitra, harga di tingkat petani masih bisa dipermaikan oleh si perantara itu," jelasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga harus memberi peluang pada pihak usaha kecil seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau penggilingan kecil untuk turut membeli, sehingga pembelian gabah petani tidak hanya dikuasai oleh penggilingan berskala besar atau kontraktor yang bermodal besar.
Hal tersebut dinilai penting, untuk pemerataan penyerapan produksi petani, selain mengingat keterbatasan penyerapan dari pihak Bulog sendiri.
Ketidakmampuan bersaing menyerap produksi petani itu, diakui Baharuddin, Manajer KUD Allepolea Kabupaten Maros. Menurutnya, pihak Bulog hanya memberikan peluang bagi mitra yang memiliki penggilingan berkapasitan satu ton per jam dan memiliki dana segar sekitar Rp300 juta.
"Sementara KUD kami hanya memiliki penggilingan dengan kapasitas 500 kg per jam atau setengah dari yang dipersyarakatkan, otomatis tidak bisa menjadi mitra Bulog dalam membeli produksi petani," katanya seraya menambahkan, dari segi dana segarpun KUD yang dipimpinnya tidak mampu bersaing.
Akibat dari hal tersebut, lanjutnya, pihaknya hanya membeli seusai dengan kemampuan dan mengikuti harga pasar. Artinya, pada saat panen dengan produksi melimpah, pembelian gabah akan jatuh dan akan sangat jauh dari HPP. Sedangkan pada saat pertengahan musim tanah, produksi kurang, otomatis harga pembelian akan naik, bahkan dapat melebihi HPP yang ada.
Menanggapi kondisi tersebut di lapangan, Kepala seksi Tata usaha dan umum Bulog Divre VII Sulsel Muh Razak Djabbar mewakili Kadivre mengatakan, pihaknya hanya membeli produksi petani seusai dengan budget kucuran dana dari Bulog pusat atau yang dialokasikan dalam APBN.
"Kami memiliki keterbatasan dalam pembelian produksi, sehingga produksi petani tidak semuanya dapat terserap. Namun yang jelas, pada saat panen raya atau harga turun, kami akan tampil untuk membeli dengan harga yang pantas," ujarnya sembari menambahkan, namun pada saat produksi berkurang, petani dapat menikmati harga penjualannya, karena akan terkait dengan hukum pasar.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Maros, H. Burhanuddin mengemukakan, pada saat panen raya pihaknya menganjurkan kepada petani untuk menyimpan sebagian produksinya.
Sehingga masih ada kesempatan untuk mendaopatkan harga yang lebih baik pada saat pasca panen atau produksi tidak melimpah lagi.
"Namun kita juga memahami, banyak kebutuhan petani yang harus ditutupi. Termasuk menyiapkan dana saprodi untuk musim panen berikutnya," ujar Kepala Dinas yang wilayah kerjanya meliputi sekitar 25.225,05 ha lahan sawah yang tersebar pada 14 kecamatan di Kabupaten Maros ini.

Wednesday, June 27, 2007

BUSWAY VERSUS PETE-PETE, DEMI KEPENTINGAN PUBLIK?

Makassar, 20/12 (ANTARA) - Kota Makassar sebagai kota metropolitan,sangatlah wajar jika terus berusaha memenuhi kebutuhan masyarakatnya dariberbagai sisi, termasuk jasa angkutan umum.

Namun jika jasa angkutan kotayang dikenal dengan nama 'pete-pete' itu jumlahnya sudah diatas batasnormal dan ketika pemerintah kota (Pemkot) Makassar menggulirkan wacana mengadakan busway sebagai alternatif angkutan umum untuk kepentinganpublik, maka busway pun menjadi versus alias lawan bagi pete-pete yanglebih awal beroperasi di kota ini. Setidaknya itulah yang terjadi dalam beberapa pekan ini di Kota 'AngingMammiri' .

Pertarungan para sopir pete-pete dengan makhluk 'busway' yang dianggap sebagai ancaman baru, karena dapat menggeser rezeki mereka yangselama ini memang sudah seret, bakal menjadi semakin seret dan tidakmenutup kemungkinan terjadi pengangguran besar-besaran untuk rute-rute(trayek) 'gemuk', seperti Jalan Urip Sumohadjo - Karebosi - Sentral.

Tak heran, di warung-warung kopi dan tenda-tenda 'Coto', perbincanganpara sopir yang menjadi topik utama adalah rencana kehadiran busway yangmenjadi versus bagi pete-pete. Dari perbincangan tersebut akhirnya,Subair, Ketua Asosiasi Pemilik dan Sopir Angkutan Kota Makassar (Asmak)dan para sopir yang tergabung dalam Asosiasi Pemilik dan Sopir AngkutanKota Makassar, Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi dan Pemudaan Bias(LPSED Bias), dan Asosiasi Pemilik dan Sopir Angkot Makassar UnitPelabuhan (APSAM), turun ke jalan melakukan aksi demo di Kantor DPR danKantor Walikota Makassar.

Dalam aksi tersebut, mereka menuntut agar tidak mengoperasikan Busway dikota ini, dengan alasan angkot 'pete-pete' yang ada saja sudah cukupbanyak dan mengakibatkan para sopir kesulitan memperoleh penumpang.

"Sekarang saja kami sudah susah memenuhi terget setoran per hari, kalauada busway, jalur-jalur yang kami lalui tentu akan diambil alih olehBusway," ungkap Subair, Ketua Asmak yang juga sopir pete-pete trayekMakassar Mall - Daya.

Selain melakukan aksi demo di Gedung DPRD Kota Makassar dan KantorWalikota, para sopir juga melakukan aksi mogok melayani penumpang dariberbagai trayek. Kalaupun ada sopir yang mencoba-coba tetap beroperasisecara normal, dengan alasan untuk mencari uang makan bagi keluarga,sopir-sopir yang melakukan aksi mogok, menahan angkot itu dan menurunkanpenumpangnya dengan paksa.

"Saya sebenarnya juga tidak setuju ada busway, tapi kalau harus mogok,bagaimana caranya menutupi setoran dan mendapatkan uang makan bagikeluarga?," ujar Rasyid, sopir pete-pete trayek Kampus - Cendrawasihmenanggapi aksi rekan-rekannya.

Akibat aksi mogok dan menurunkan penumpang itu, ribuan penumpangterlantar di pinggir jalan sebelum sampai ke tujuan seperti yang terjadidi Jl Perintis Kemerdekaan, depan Kampus UKIP Makassar, Jl UripSumoharjo, Jl Cenderawasih, Jl Sultan Alauddin, Jl AP Pettarani, Jl Dr Ratulangi, dan sejumlah ruas jalan lainnya.

Menanggapi aksi tersebut, H Opu Sidik, Ketua Organisasi PengusahaAngkutan Daerah (Organda) Sulsel mengatakan, dapat memahami kegelisahan para sopir angkot, namun aspirasi yang disampaikannya itu baik ke pihaklegeslatif ataupun eksekutif jangan disertai dengan aksi yang kurangsimpatik, seperti menurunkan paksa para penumpang dan melakukan aksimogok.

"Alasan berdemo kan untuk memperjuangkan nasib sebagai kelompokmasyarakat yang melayani kepentingan umum melalui jasa angkutan. Kalaumasyarakat sendiri menjadi anti pati terhadap aksi para sopir, karenatelah menelantarkannya, itu bakal menjadi bumerang alias para sopir akanditinggalkan oleh penumpangnya nanti," jelasnya.

Menyoal adanya anggapan para sopir kalau Organda kurang memberikandukungan kepada para sopir, Opu mengatakan, Organda memang bukan wadahpara sopir, tetapi pengusaha angkutan. Kendati demikian, Organda tetapakan memperhatikan namun caranya mungkin berbeda dengan aksi para sopir.

"Dalam hal ini kami akan mengkaji terlebih dahulu keberadaan busway itu,jika memang manfaatnya jauh lebih besar untuk kepentingan publik danmemang sudah menjadi tuntutan publik, rencana pemerintah itu perludidukung," katanya seraya menambahkan, jika sebaliknya dan pete-peteyang ada saat ini dinilai mampu melayani publik dengan baik danmemberikan rasa nyaman, tentu busway tidak perlu diadakan.

Over Load
Keberadaan Angkot pete-pete saat ini sudah mencapai 8.000 unit ataumelebihi batas ideal operasional (over load) untuk kebutuhantransportasi darat penduduk Kota Makassar yang berjumlah sekitar 1,3 jutajiwa. Padahal idealnya, kendaraan umum yang beredar di Makassar itu hanya sekitar 2.300 unit.

"Kondisi ini menyebabkan adanya persaingan tidak sehatantar sopir di lapangan untuk mendapatkan penumpang.Karena itu, pemerintah atau pihak yang terkait harusmengevaluasi semua itu, bukan langsung mengadakan busway,"kata Opu Sidik mengingatkan.

Menurut Opu, Organda selama ini tidak pernah dimintaipertimbangannya oleh pemerintah atau pihak yangberkompeten dalam hal ini Dinas Perhubungan mengenai jumlahideal angkot yang beroperasi di kota ini. Bahkan, sudahmenjadi rahasia umum, aparat selalu saja mengeluarkanizin trayek baik secara sembunyi-sembunyi maupunterang-terangan, kendati jumlah pete-pete di Makassar sudah over load.

Tak ayal, di lapangan dari sekitar 8.000 ribu unit angkutan kota yangberoperasi, sebanyak 3.000 unit lebih yang tidak memiliki izin. Padahal,sesuai undang-undang yang berlaku yang mendapat izin operasionalhanyalah pengusaha angkutan dan perorangan yang memenuhi persyaratan.

Menanggapi persoalan pete-pete itu sendiri, Prof DR Djalaluddin Rahman,Ketua Komisi D Sulsel yang membidangi masalah kesejahteraan sertaBurhanuddin Odja, Ketua Komisi C DPRD Makassar sama mengingatkan, agarPemkot Makassar berikut jajarannya segera mengevaluasi izin-izin trayek yang ada saat ini, termasuk ribuan kendaraan yang hanya memiliki izintrayek fiktif.

"Jika itu bisa diselesaikan dengan baik, selanjutnya, melihat plus minuspengoperasian busway itu ke depan, sehingga semuanya bisa sama-samabaik," ujar Djamaluddin sembari menambahkan, kalau busway beroperasi,hendaknya biayanya jauh lebih murah sebagai angkutan publik yang difasilitasi oleh pemerintah.

Sementara rencana pengoperasian busway itu, Burhanuddin mengatakan,hendaknya para sopir bersabar dulu melihat perkembangan di lapangan.Selain itu, juga mengimbau agar tuntutan para sopir itu disampaikandengan 'kepala dingin'.

Pengadaan busway sendiri oleh Pemkot Makassar direncanakan mulaiberoperasi di Makassar pada tahun 2008 mendatang. Namun sebelum beroperasi, Pemkot Makassar akan membangun infrastruktur sepertipelebaran jalan, pembangunan halte dan jembatan penyeberangan, danfasilitas pendukung lainnya.

Pengadaan busway yang akan menelan biaya sekitar Rp40 miliar itu adalah kerja sama pemerintah pusat melalui departemen perhubungan dengan PemkotMakassar. Sistem transportasi ini juga ditawarkan kepada 14 kota besarlainnya di Pulau Jawa dan Sumatera.

Sementara Dephub menyediakan armadadengan sistem sudsidi. Khusus Makassar, diplotkan mendapatkan 20 unitbusway. Untuk kesiapan operasional busway itu, pada tahap pertama yangdirencanakan pertengahan 2007 mendatang, akan dibangun tiga koridor darienam koridor yang direncanakan. Koridor I untuk rute Jl Perintis Kemerdekaan-Urip Sumoharjo-Karebosi, menyusul Koridor II untuk rute Lapangan Karebosi-Sungguminasa dan Koridor III LapanganKarebosi-Tanjung Bunga. Sedangkan tiga koridor lainnya masih dalam tahappengkajian.

"Kami yakin operasional busway ini akan saling melengkapi pete-pete yangada saat ini. Jadi, para sopir jangan khawatir, karena busway hanya melewati jalur-jalur tertentu saja," ungkap Ilham Arif Sirajuddin,Walikota Makassar berargumen, menyikapi kekhawatiran para sopir diMakassar.

Walikota bahkan memberikan contoh, ketika Bus Damri akandioperasikan pada tahun 1990-an di Makassar, juga ditentangoleh para sopir, namun setelah beroperasi, dua jeniskendaraan publik itu tetap memiliki penumpang masing-masingdan kini sudah berjalan normal lebih sepuluh tahun.

Terlepas dari semua argumen-argumen itu, yang pasti, busway atau punpete-pete hadir mewakili kepentingan publik. Yang membedakan, hanyajumlah kapasitas panumpangnya, pete-pete hanya 12 orang sedangkan busway20 - 28 orang. Namun kapasitas penumpang itu kemudian menjadi persoalanbagi sopir pete-pete, karena busway sebagai angkutan massal dan hanyamemerlukan satu sopir untuk satu unit busway, sementara untuk jumlahpenumpang tersebut sudah bisa dua atau tiga unit pete-pete yang berartipula memberdayakan lebih dari satu orang sopir.

BANJIR SINJAI, BUAH KERUSAKAN HUTAN

Makassar -- Banjir bandang setinggi lima meter dan tanah longsor yangterjadi di Kabupaten Sinjai, Sulsel pada Juni 2006 lalu adalah buah darikerusakan hutan di Sulsel.Saat sebagian besar warga Sinjai tidur lelap, hujan deras mengguyur daerahitu dan tak lama kemudian air sungai Mangonttong pun meluap dan menyapusejumlah desa di Kabupaten Sinjai, khususnya di Kecamatan Sinjai Utara danSinjai Timur yang memang secara geografis daerahnya landai.

Lokasi Sungai Mangontong sebenarnya berada di sisi utara GunungBawakaraeng. Sementara di gunung tersebut, hutan pinus di sisi selatannyasudah banyak ditebang dan lahannya berubah menjadi perkebunan lada danvanila.Akibatnya, setelah Kabupaten Sinjai diguyur hujan selama tiga hariberturut-turut (21-23 Juni 2006) dalam kondisi curah hujan diatas normal(220 mm/hari) , luapan Sungai Mangontong akhirnya menelan lebih dariseratus orang korban diKabupaten Sinjai, dan puluhan korban juga melanda daerah di sekitarnyayakni Kabupaten Bone, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto.

Selain korban jiwa, korban material pun sangat besar, bahkan upayarecovery yang dilakukan pemerintah setempat dalam setengah tahun terakhir,belum sepenuhnya mampu memulihkan kondisi desa atau dusun yang terkenabencana banjir bandang dan longsor.Terbukti rehabilitasi daerah-daerah yang dilanda bencana di KabupatenSinjai, hingga kini masih jalan di tempat.

Kerja besar pemerintah setempat mengembalikan Sinjai seperti sedia kalasama sekali belum ada, termasuk antisipasi agar bencana tak lagi terulang.Padahal, akibat banjir dan longsor pertengahantahun 2006 lalu, korban meninggal di Sinjai mencapai 220 orang. Sementara 7.858 jiwa lainnya terpaksa menjadi pengungsi karena kehilangan rumah danharta benda.Belum lagi kerusakan sarana dan prasarana pendidikan dan pertanian sertainfrastruktur yang mencapai miliaran rupiah.

Sejumlah pengungsi yang kehilangan rumah hingga kini masih ditampung digedung milik Pemerintah Kabupaten Sinjai meski jumlahnya tidak banyak.Sementara di beberapa tempat, seperti di Desa Panaikang, Gantarang,Kanrung, Baru, dan Tellue, bahkan masih ada korban banjir dan longsor yangmenumpang di rumah kerabat mereka, karena tidak bisa berbuat apa-apa jikakembali ke rumahnya.

Peringatan Dini Tidak JalanMenyikapi bencana alam yang terjadi pada medio 2006 lalu di KabupatenSinjai, Indah Pattinaware, aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Sulsel menilai, hal itu terjadi karena pemerintah tidak mempunyaisistem peringatan dini."Pemerintah tidak dapat mengantisipasi datangnyabencana, karena tidak mempunyai sistem peringatan dini," ungkapnya sembarimenambahkan, yang terjadi kemudian ketika terjadi bencana justeru salingtuding antara pejabat pemerintah pusat dengan daerah ini yang tentunya takmenyelesaikan masalah.

Di sisi lain, penyebab utama bencana yang terjadi di Sinjai itu karena hutan atau pohon di sekitar hulu Sungai Mangontong sudah mengalamikerusakan sebelum banjir datang.Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulsel diketahui, seluas 510 ribuhekatare dari total dua juta hektar lahan hutan di Sulsel saat ini dalam keadaan kritis.

Kerusakan hutan tersebut umnya terjadi di Kawasan KaraengLompo, di sekitar Gunung Bawakaraeng dan Lompo Battang yang nota beneberada di wilayah kelima kabupaten yang terkena bencana banjir pada Juni2006 silam.Menanggapi masih minimnya sistem peringatan dini yang dilakukanpemerintah, Kepala Badan Kesbang Sulsel, H Saleh Radjab menampik haltersebut.

Menurutnya, pihaknya sudah berupaya maksimal, namun kondisi alamyang berubah secara tiba-tiba bisa diluar jangkauannya.Sementara itu, Gubernur Sulsel HM Amin Syam mengatakan, pihak Pemprovsendiri pada saat pasca bencana sudah memberikan bantuan uang lebih dariRp100 juta plus bantuan natura. Sedang pemerintah pusat memberikanbantuan dana tanggap darurat sebesar Rp 1 miliar. Termasuk memberikanbantuan perbaikan rumah bagi warga yang terkena bencana.Terlepas dari upaya yang dilakukan pemerintah itu, Burhan, salah seorangwarga Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai yang merupakan dampinganWalhi mengatakan, pasca bencana selain kehilangan anggota keluarga danharta benda, alat mata pencahariannya berupa perahu nelayan sudah tidakada lagi.

"Kalau dulu memiliki perahu sendiri untuk menangkap ikan di laut, kinihanya menjadi sawi (anak buah) dari pemilik kapal nelayan yang ada,"keluhnya seraya menambahkan, otomatis hasil yang diperoleh dari melaut itu hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Padahal dua orang anaknya yang sempat selamat dari bencana banjir, masih butuh biaya sekolah dankebutuhan sandang pangan yang memadai.

IMLEK SEBARKAN NUANSA PERSAUDARAAN

Makassar, 15/2 (ANTARA) - Layaknya pergantian tahun Masehi, perayaan Imlek 2558/2007 M kali ini di Makassar bakal meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, perayaan Imlek kali ini selain memiliki agenda yang beragam, juga akan menampilkan karnaval budaya yang dihadiri sedikitnya 30 etnik dari seluruh Indonesia yaqng sarat dengan nuansa persaudaraan.
Sebulan menjelang perayaan Imlek, nuansa khas suku Tionghoa sudah menyebar di mana-mana. Mulai dari kawasan yang tak jauh dari Pantai Losari, khususnya sekitar jalan Sulawesi dan Irian, juga Kawasan Jalan Somba Opu, tampak aneka lampion menyemarakkan jalan-jalan dan rumah-rumah warga Kota Makassar keturunan Tiongkok.
Sementara di mall hingga pasar-pasar tradisional, tidak mau ketinggalan menjadikan momen Imlek sebagai salah satu cara menarik pembeli, dengan menyiapkan berbagai barang dan pernak-pernik yang berkaitan dengan perayaan Imlek. Di Mall Gowa Trade Center (GTC) misalnya, selalu menjadi langganan ajang kejuaraan barongsai yang senantiasa memukau dan menarik perhatian pengunjung mall, baik untuk datang berbelanja maupun hanya untuk 'cuci mata' saja.
Sama halnya di mall GTC, mall Panakkukang, Makassar Trade Center (MTC) Karebosi dan mall-mall lainnya di Makassar, tak mau ketinggalan dalam memberikan apreasiasi terhadap perayaan Imlek yang jatuh pada tanggal 18 Februari 2007. Mulai dari souvenir, kostum dan perabotan rumah tangga, semuanya mencirikan etnis Tionghoa yang identik dengan warna merah.
Momen imlek yang memberikan nuansa khas etnik negara Bambu Kuning ini, otomatis menjadi salah satu objek yang menarik bagi wisatawan, khususnya wisatan mancanegara yang belakangan ini marak mengunjungi Makassar.
Selama bulan Februari 2007, tercatat dua kapal pesiar yang singgah di Kota Makassar, masing-masing kapal pesiar Costa Marina dari Italia yang membawa 496 wisatawan Eropa pada Sabtu (3/2) dan kapal pesiar Albatros yang berbendera Jerman membawa 596 orang wisatawan Eropa.
Jalan Sulawesi dan Irian yang di dominasi warga beretnik Cina, menjadi salah satu tempat kunjungan wisatawan asing tersebut. Pasalnya, di lokasi itu, selain bisa berbelanja aneka ole-ole juga dapat mencicipi masakan khas Cina yang sudah mulai berasimilasi dengan masakah lokal khas Bugis-Makassar.
Hanya saja khusus di pemukiman 'pecinan' yang sudah dilengkapi gerbang bertuliskan "Cina Town", masih memiliki banyak kekurang untuk dijadikan objek wisata.
Hal itu diungkapkan DR Andi Ima Kesuma, salah seorang dosen Universitas Hasanuddin yang mengeluti di bidang sejarah dan permuseuman.
"Mempertahankan bangunan perumahan etnik Cina sudah baik, namun perlu ditunjang oleh hal-hal yang bisa menarik penungjung, misalnya menyiapkan jajanan khas Cina dan souvenir tanpa perlu mencari ke tempat lain lagi," jelas ibu dua orang anak ini yang juga adalah Kepala Museum Kota Makassar. Menanggapi kritikan tersebut, Yonggris salah seorang warga Makassar
keturunan Tionghoa yang setiap tahunnya menjadi Ketua Panitia Imlek mengatakan, hal itu perlu dibenahi ke depan. Apalagi keberadaan Cina Town itu, bukan stigma pengkotak-kotakan warga di Kota 'Anging Mammiri' ini, melainkan sebagai bukti sejarah dan bentuk kebebasan berekspresi.
Warga keturunan sendiri di Sulsel sekitar 110 ribu orang dan 80 persen di antaranya berada di Kota Makassar. Sedang agama yang dianut, hanya 20 persen dari jumlah warga keturunan itu menganut Agama Budha. Sedang selebihnya beragama Kristen dan Islam.
Hal tersebut dipertegas Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Menurutnya, keberadaan Cina Town di Makassar itu adalah simbol bukti sejarah, bahwa zaman pra sejarah hingga saat ini keturunan Tionghoa
memiliki rasa persaudaraan yang kuat, bukan hanya diikat oleh kepentingan ekonomi.
"Kita memberikan ruang kepada semua etnik untuk tumbuh dan berkembang bersama-sama, dengan menyingkirkan rasa diskriminatif," ujarnya.

Cap Go Meh Terbesar
Serangkaian dengan perayaan Imlek alias prosesi Cap Go Meh di Makassar, dengan menghadirkan karnaval budaya yang melibatkan sekitar 5.000 orang dari 30 etnik menjadikan perayaan Cap Go Meh ini sebagai ajang yang terbesar sepanjang sejarahnya di Makassar.
"Karnaval budaya nusantara ini siap digelar 4 Maret mendatang. Ini merupakan yang paling besar setelah perayaan Imlek diperingati dalam kurun tiga tahun terakhir," ungkap Yonggris, Ketua Panitia Peryaaan Tahun Baru Imlek 2558/2007 M.
Menurutnya, karval yang didukung oleh utusan dari masing-masing klenteng, siap mengarak arca dewanya dengan melewati rute yang telah ditentukan pada Minggu (4/3) pagi.
Adapun rutenya, dimulai dari Jl Sulawesi-Jl Ujungpndang- Jl Pasar Ikan-Jl Penghibur-Jl Muchtar Lutfi-Jl Somba Opu-Jl Patimura-Jl Riburane-Jl Jend A Yani-l Dr Wahidin dan berakhir di Jl Sangir.
"Prosesi arak-arakan arca dewa ini, dimaksudkan untuk memberkati Kota Makassar agar terhindar dari segala ancaman bahaya dan penyakit," jelasnya.
Selain menggelar karnaval budaya, untuk memeriahkan Cap Go Meh itu, pada malam harinya, panitia menyiapkan enam panggung hiburan dan satu diantaranya adalah panggung utama yang dipusatkan di Jl Sulawesi.
"Acara ini, dijamin ramai karena kami akan menampilkan Golden Dragon untuk menghibur warga Makassar," ungkap Yonggris seraya menambahkan, pada malam itu pula akan menjadi ajang mencari jodoh bagi muda-mudi Tionghoa.
"Kami juga menjadikan perayaan Imlek ini sebagai bulan Berbagi Kasih dengan menggelar bakti sosial mulai 4 Februari sampai dengan 4 Maret 2007 mendatang," paparnya seraya menambahkan, bagi yang ingin menyumbangkan sebagian hartanya sebagai wujud kepedulian sosial, dapat mengirim SMS ke 5605238 dan pihak panitia siap menjemput sumbangannya di tempat, baik dalam bentuk uang, barang, bahan makanan, dan lain-lain.
Hasil derma yang terkumpul itu akan disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu, setelah dua atau tiga hari dari puncak acara (4 Maret). Sasarannya adalah mereka yang merupakan komunitas tukang becak, buruh bangunan dan masyarakat yang termarginalkan.
Yang jelas, ungkap pengusaha yang bergerak di bidang jasa ini, peringatan Imlek itu dititikberatkan pada fungsi sosialnya dengan mengedepankan dan menyebarkan rasa kebersamaan dan persaudaraan, tanpa membedakan etnik tertentu dan merasa lebih unggul dari etnik lainnya.

Tuesday, June 19, 2007

UNHAS MENUJU UNIVERSITAS RISET

Makassar, 6/9 (ANTARA) - Universitas Hasanuddin
(Unhas) yang dijuluki 'Kampus Merah' diusianya yang kini 50 tahun pada bulan
September ini, mencoba menuju 'tanjung harapan' selaku universitas
riset di tanah air dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada khususnya.

Untuk mencapai salah satu tujuan dari 'Tri darma'
perguruan tinggi itu, yakni 'buah' dari ilmu yang diperoleh di perguruan
tinggi dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat umum, memang
tidaklah mudah. Karena butuh kegigihan dan kecakapan para pelaku yang
terlibat dalam suatu penelitian atau riset. Bahkan butuh waktu yang cukup
panjang untuk menyandang pengakuan sebagai universitas riset.

Hal tersebut diakui baik Prof DR Ir Herry Sonjaya,MSc, Direktur Pusat Kajian Penelitian (PKP) Unhas, maupun Prof DR H Abd Rauf Patong, Kepala Lembaga Penelitian Unhas.

Kedua 'nakhoda' yang berkutat seputar penelitian itu dengan 'job describtion' yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, menegaskan bahwa Unhas yang berada
di wilayah KTI, sudah mendapat kepercayaan kepercayaan dari Dirjen Perguaruan Tinggi (Dikti) untuk melakukan penelitian dan memberikan penilaian secara
desentralisasi.

Dengan demikian, Unhas sebagai salah satu dari tujuh perguruan tinggi (PT) di Indonesia (UNAIR, IPB, UNDIP, UNIGRO, UNS, dan ITB) sudah memiliki hak 'otonomi' dalam menyeleksi, mengevaluasi dan menilai ajuan penelitian yang dimasukkan oleh para dosen maupun
mahasiswa.

"Karena itu, proposal penelitian tidak perlu lagi diseleksi, direview maupun dinilai di pusat (Dikti), tetapi cukup di Lembaga Penelitian (LP) Unhas saja,"
jelas Rauf sembari menambahkan, untuk keperluan itu ditunjuk tim reviewer dari Unhas sendiri.

Untuk efektivitas dan efisiensi kinerja PKP dalam melahirkan hasil-hasil penelitian yang bermutu, maka sejak Juni 2006 pada masa jabatan Prof DR dr Idrus Paturusi sebagai Rektor Unhas menggantikan rektor yang sebelumnya, Prof DR Rady A Gani, maka dipandang perlu
mengembangkan PKP menjadi dua lembaga, yakni PKP sendiri yang mengurusi operasional/laboratorium penelitian dan LP sebagai lembaga yang megurusi persoalan administrasinya.

"Tentu dengan pemisahan ini, kinerja dan hasilnya bisa lebih tergenjot," ungkap Herry. Kendati diakui, dengan pemisahan kerja itu masih banyak yang perlu dibenahi
baik ke dalam maupun ke luar.

Khusus di PKP sendiri, paparnya, pembenahan ke dalam adalah meningkatkan mutu SDM peneliti sekaligus upaya pengadaan sarana penelitian yang lebih memadai.
Sehingga PKP yang membawahi enam divisi ini masing-masing Divisi Kelautan, Bioteknologi, Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah, Pangan dan Gizi, Energi dan Isotop, serta Sosial dan Humaniora, produk penelitiannya semakin bermutu dan bisa diaplikasikan dengan baik di kalangan masyarakat.

Alumni Fakultas Peternakan spesialisasi Fisiologi Ternak Reproduksi Unhas ini, dari segi mutu SDM menilai, peniliti masih belum memiliki 'rop map' penelitian, sehingga selama ini para peneliti berjalan sesuai dengan selera masing-masing. Padahal perencanaan dan alur penelitian masa lalu - sekarang - yang akan datang (past-present-future) itu sangat
penting, utamanya dalam mengiringi dan menunjang pembangunan nasional.

"Di sini (Indonesia) kultur peneliti, bukan hanya di Unhas tetapi juga di Jawa atau di tempat lain, masih mengikuti ego masing-masing alias individualist," ungkap Herry yang menyelesaikan master dan doktornya di Perancis. Disamping itu, masih sedikit dosen yang
terlibat ataupun tertarik melakukan penelitian, padahal semenstinya dosen selain mengajar juga harus mampu melakukan penelitian untuk mengikuti perkembangan ilmu yang digelutinya.
Kelemahan itu ditambah lagi dengan belum adanya kebijakan riset jangka panjang yang dikeluarkan oleh Unhas. Sementara dari pendanaan penelitian, PKP juga belum memiliki otonomi untuk mencari funding sendiri, karena masih menunggu drop alokasi dana yang diatur
oleh LP ataupun Unhas. Padahal persoalan dana juga merupakan faktor penting untuk menunjang mutu penelitian.

Dana penelitian selama ini hanya menggunakan 'system blockgram' yang berasal dari Dikti melalui LP untuk membiayai tiga jenis penelitian yakni penelitian fundamental (dasar) dengan platform Rp40 juta per penelitian, penelitian hibah bersaing Rp50 juta per
penelitian dan penelitian unggulan terpadu atau pekerti maksimal Rp75 juta per penelitian.

Selain ketiga jenis dana yang kucurkan Dikti itu, ungkap Rauf pada keterangan terpisah, juga ada dana hibah pasca sebesar Rp90 juta per penelitian, tujuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat pasca sarjana. Hanya saja untuk periode 2007
mendatang, Unhas belum mendapatkan alokasi itu.

"Yang jelas dana yang dialokasikan per tahun itu, disesuaikan dengan jumlah dan budget proposal yang diterima. Khusus tahun 2006, LP Unhas menerima dana penelitian sebanyak Rp1,398 miliar untuk 43 penelitian," paparnya seraya menambahkan, sedang dana
yang berasal dari kas Unhas sendiri pada tahun ini memberikan biaya penelitian khusus kepada 45 dosen muda masing-masing Rp4,5 juta untuk melakukan penelitian-penelitian 'kecil'.

Berguna Bagi Masyarakat
Sejak keberadaan PKP tahun 1998 dan pada pertengahan 2006 LP hadir agar PKP berfungsi maksimal, sudah kurang lebih seribu hasil penelitian yang sudah terakreditasi. Namun dari jumlah tersebut, hanya sedikit yang diaplikasikan oleh masyarakat, karena terbentur lemahnya sosialisasi dan publikasi, serta keterbatasan SDM yang dapat mendampingi masyarakat menerapkan hasil dari penelitian itu.

LP sendiri yang memiliki 9 Pusat Penelitian (puslit) dengan 14 unit kegiatan, diantaranya Pusat Studi Lingkungan (PSL), Pusat Studi Gender, Pusat Penelitian
Gizi dan Pangan, Pusat Penelitian Lebah Madu, serta Pusat Penelitian Pengambangan Wilayah, setiap tahunnya rata-rata menerima 100 proposal penelitian dan yang
lolos seleksi sekitar 30-40 persen, tentu menjadi suatu harapan yang besar bagi masyarakat. Pasalnya, semua hasil penelitian itu diharapkan berguna dan memiliki nilai tambah dalam kehidupan.

"Hasil-hasil penelitian itu, diarahkan pada hal yang bersifat ekonomi yang menujang pembangunan nasional," jelas Herry. Alasannya, kebutuhan itulah yang sangat
mendesak bagi masyarakat dewasa ini.

Dari sekian hasil penelitian yang ada, bioteknologi di bidang pertanian, kelautan dan kedokteran, dinilai yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat,
khususnya yang berada di kalangan menengah ke bawah. Sebagai contoh, bioteknologi pertanian, kini telah dikembangkan bibit/benih kentang unggulan dengan menggunakan kultur jaringan. Dalam hal ini, PKP bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bantaeng,
Gowa dan Enrekang. Selain itu, melalui Pusat Pangan dan Gizi PKP juga telah mengadakan riset uggulan nasional bekerjasama dengan IPB menghasilkan 'Jagung instant'.

Jagung tersebut yang merupakan bahan dasar untuk 'bubur/sup jagung' yang lebih dikenal dengan nama 'bassang' di daerah ini, tidak perlu diredam seharian sebelum dijadikan bassang, tetapi cukup direndam selama 10 - 15 menit saja.

Sementara di Bidang Kelautan, Divisi Kelauatan PKP melalui Pusat Studi Terumbu Karang, telah berhasil melakukan transplantasi terumbu karang yang bertujuan mempercepat pertumbuhan biota laut itu, pasca pemboman ikan yang marak dilakukan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab.

Buah teh yang selama ini diabaikan, setelah dilakukan penelitian mendalam, ternyata mampu menangkal penyakit (virus) yang menyerang udang tambak, serta menghambat
perkembangan ikan mujair di areal pertambakan. Hasil penelitian ini, sudah diterapkan pada areal tambak di Kabupaten Maros dan Takalar.

"Ini kami ketahui dari orang-orang (peneliti) Unhas yang mengambil daerah percontohan di Maros, ternyata setelah kami coba, hasilnya sangat memuaskan," ungkap H Sangkala, salah seorang petambak udang di Desa Pajjukukang, Kecamatan Maros Utara, Kabupaten Maros.

Aplikasi pemanfaatan hasil penelitian lebah madu, juga tak kalah manfaatnya bagi masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pengunjung ke laboratorium
Fakultas Peternakan Unhas yang merupakan jaringan PKP, baik untuk membeli madu maupun terapi sengatan lebah untuk penyembuhan suatu penyakit.

"Dulu kaki saya sering keram, karena kolesterol dan asam urat cukup tinggi. Setelah menjalani terapi sengatan lebah, Alhamdulillah kaki sudah baik lagi,"
ungkap Rohana, salah seorang yang pernah memanfaatkan hasil penelitian lebah madu itu.

Sementara 'buah' penelitian khusus Divisi Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah, PKP Unhas telah menjalin kerjasama dengan beberapa pemerintah kabupaten/kota di daerah ini, di antaranya Pemkab Barru, Bantaeng, dan Pemkot Makassar.

"Karena ini bentuknya kerjasama, maka hasil penelitian tersebut tentu langsung diaplikasikan," ungkap Herry. Kerjasama serupa sesuai segmen masing-masing juga
telah dilakukan dengan instansi atau lembaga lainnya seperti PT PLN, Balai POM, dan Balitbangda di daerah ini.

Meski usia PKP/LP baru delapan tahun, sehingga masih sangat muda dibanding usia Unhas sendiri yang kini genap 50 tahun, namun tak ada salahnya menggantungkan harapan bahwa universitas bergelar 'Ayam Jantan dari Timur' ini, kelak menjadi universitas riset yang
berguna bagi masyarakat, seperti universitas tertua di Bangkok, Thailand 'Chailalangkung University' yang mempersembahkan hasil-hasil penelitiannya untuk
kemakmuran masyarakatnya. Untuk mencapai obsesi itu, PKP dan LP Unhas harus berjuang keras dan terus berusaha membenahi kekurangan-kekurangan yang ada.

BUSWAY MAKASSAR DI PERSIMPANGAN JALAN

Makassar, 16/6 (ANTARA) - Setelah sukses diterapkan di Jakarta sejak 2005, 'demam' busway kini merambah kota-kota metro lainnya di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang ingin memodernisasi armada angkutan massalnya.

Namun bagi Makassar, kota berpenduduk sektiar 1,3 juta jiwa yang berniat menerapkan busway tahun 2008, masih menghadapi masalah yang dilematis, sehingga rencana penerapan busway itu seolah masih ada di persimpangan jalan.

Sebagai kota metro, Makassar dinilai sudah layak menggunakan busway untuk melengkapi armada angkutan massal yang sudah disediakan Perum Damri sejak tahun 1980-an dan 'pete-pete' yang kini terus menjamur.

Apalagi, departemen perhubungan telah menjanjikan bantuan berupa 20 unit bus bila sistem angkutan modern ini direalisasikan di kota berjuluk 'anging mammiri' itu.

Hanya saja, untuk menerapkan busway di Kota Makassar, Pemkot setempat menemui kendala kesiapan infrastruktur pendukung kelancaran operasional.

"Sebenarnya tahun 2008 mendatang, Pemkot Makassar akan menerima hibah 20 unit busway, namun hingga saat ini Pemkot belum bisa memutuskan menerima atau tidak tawaran dari Dephub itu," ungkap Muchtar Kasim, Kepala Dinas Perhubungan Kota Makassar.

Pasalnya, Pemkot khawatir infrastruktur pendukung operasional busway belum akan rampung tahun depan, sekalipun upaya pelebaran jalan telah mulai dilakukan di lokasi yang akan menjadi rute busway seperti Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jl AP Pettarani.

Walikota Makassar H Ilham Arief Sirajuddin mengakui, untuk membangun sistem transportasi yang baik dan ramah lingkungan, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan karena butuh biaya yang banyak dan waktu yang cukup lama.

"Sarana transportasi massal dengan busway memang merupakan amanah pemerintah pusat pada sejumlah kota besar termasuk Kota Makassar. Namun untuk rute yang akan dilalui busway itu, penyediaan jalannya merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi. Jadi, semuanya harus bersinergi," paparnya.
Hal senada dikemukakan Ketua Komisi C DPRD Makassar, H Burhanuddin Odja. Ia menyebut ada matai rantai saling behubungan lain yang mengakibatkan adanya ketergantungan sehingga Pemkot sendiri sulit mengambil keputusan.

Mata rantai itu adalah ketergantungan Pemkot Makassar pada bantuan pemerintah pusat untuk mendapatkan armada busway dalam bentuk hibah serta ketergantungan pada keharusan melebarkan jalan raya yang menjadi program Pemprov Sulsel. Pemprov juga tergantung dana pemerintah pusat melalui APBN untuk menangani jalan itu.

"Dengan demikian, lanjutnya, ketiga unsur itu harus bersinergi satu sama lain untuk mencapai tujuan yang sama dalam upaya memperbaiki sistem transportasi darat bagi masyarakat," katanya dan menambahkan, untuk membangun sinergi itu bukanlah hal mudah.


Koridor dan feeder


Meski putusan final belum diambil soal diterapkan atau tidaknya sistem busway mulai tahun 2008, perencanaan soal itu telah gencar dilaksanakan, khususnya terkait penetapan jalur utama dan jalur pengumpan (feeder).

Jaringan Kerja Penataan Transportasi (JKPT) Makassar bersama Masyarakat Transportasi Indonesai (MTI) dan Dinas Perhubungan Makassar telah menetapkan enam jalur atau koridor busway (kendaraan massal) di Makassar.

Keenam koridor ini masing-masing; Koridor 1 memiliki rute: Terminal Regional Daya (TRD)- Jl. Perintis Kemerdekaan - Jl. Urip Sumoharjo - Jl. AP Pettarani (depan Kantor Tekom). Koridor 2 miliki rute: Lapangan Karebosi - Jl. Garuda - Jl. Rajawali - Jl. Metro - Mal GTC.

Sedangkan rute Koridor 3: Terminal Pelabuhan Soekarno Hatta-Jl. Tentara Pelajar- Jl. Irian-Jl. A Yani- Jl. Sudirman- Jl. Bawakaraeng- Jl. Veteran- Jl. Sultan Alauddin- Terminal Malengkeri. Untuk rute Koridor 4: TRD-Jalan Tol-Jl. Teuku Umar -Jl. Cakalang - Jl. Yos Sudarso.

Rute Koridor 5: Jl AP Pettarani (Km 4)- Jl. Maccini Raya - Jl. Bawakaraeng - Lapangan Karebosi. Sedangkan Koridor 6: PLTU Tello-Jl. Antang Raya - Jl. Perumnas Antang- Jl. Tembus Hertasning - Jl. Toddopuli Raya - Terminal Panakkukang.

Hal ini terungkap dalam ekspose hasil studi transformasi moda angkutan umum di Kota Makassar di Royal Regency, Jumat 29 Desember.

Untuk membangun koridor-koridor bersama halte-haltenya itu, Pemkot Makassar memperkitakan akan menyerap dana sektiar Rp40 miliar.

Sebagai pilot project, kata Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar beberapa waktu lalu, pihaknya akan membangun koridor pertama rute Terminal Regional Daya ke Kantor PT Telkom Divre VII di Jl AP Pettarani.
"Tahun ini (2007), pelebaran Jl Urip Sumoharjo akan dilakukan mulai dari Jembatan Tello sampai pintu dua Universitas Hasanuddin (Unhas). Ini strategi kita ke pemerintah pusat untuk mendapatkan dana. Saya bilang ke Departemen PU, kalau mau busway masuk Makassar, lebarkan dulu jalannya. Ternyata tahun ini turun dana Rp26 miliar," kata Ilham
Selain koridor, Pemkot juga mengkaji jalur pengumpan (feeder) untuk menyediakan 'space' bagi armada angkutan kota yang lain, terutama 'pete-pete' agar mereka tidak 'mati' saat busway beroperasi.

Hal itu penting untuk meminimalisasi ekses sosial dan ekonomi di masyarakat. Pasalnya, ketika isu pengoperasian busway di Kota Makassar digulirkan sejak pertengahan tahun lalu, kelompok sopir 'pete-pete' mulai berdemo dan menggelar aksi mogok.

Mereka merasa terancam dengan rencana mengoperasikan busway karena pendapatan mereka akan 'dirampas' oleh armada angkutan umum modern itu.

Padahal, di sisi lain, masyarakat merindukan hadirnya transportasi yang lebih nyaman, aman, tepat waktu dan yang lebih ramah lingkungan.

"Masyarakat Makassar butuh busway seperti di Jakarta itu. Tidak ada apa-apa kita membayar sedikit lebih mahal dari kendaraan umum biasaya, yang penting pelayanannya memuaskan," ungkap Norma, salah seorang pengguna jasa transportasi umum yang sehari-harinya bekerja di perusahaan marketing di Makassar.

Ia menilai, kesemrawutan angkutan kota 'pete-pete' di ibukota Sulsel ini tampaknya makin menjadi-jadi. Kemacetan sudah menjadi menu hampir setiap hari, sementara armada angkutan yang ada saat ini tidak memberikan jaminan kenyamanan dan ketepatan waktu kepada penggunanya.

Pendapat itu didukung Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso saat berkunjung ke Makassar bulan Maret 2007.

"Kota Makassar sudah sangat membutuhkan busway. Makassar telah menjadi kota padat dengan lalu lintas yang semrawut sehingga membutuhkan alat transportasi massal," ujarnya kepada pers usai berbicara dalam Konferensi Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Hotel Sahid Jaya, Makassar, Jumat (30/3).
Sementara Syamsuddin, sopir pete-pete trayek Makassar Mall-Daya mungkin hanya segelintir dari ribuan sopir pete-pete di kota ini, yang mengaku tidak keberatan ada busway sepanjang masih memiliki akses untuk mendapatkan penumpang di jalur-jalur sekitar rute busway.

Dinas Perhubungan Makassar mengatakan, salah satu jalur pengumpan yang disiapkan adalah Jalan Abdullah dg Sirua yang juga menjadi jalan alternatif dalam memecahkan kemacetan di ibukota Sulsel ini.

Jalur ini akan menjadi feeder bagi koridor utama di Timur kota dengan rute Terminal Regional Daya (TRD) - Jalan Perintis Kemerdekaan - Jalan AP Pettarani (depan Gedung PT Telkom Divre VII).

Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin mengatakan, busway adalah angkutan yang paling efisien sehingga cepat atau lambat, Makassar akan juga menggunakan busway dan busway juga tidak akan mematikan 'petepete.'
Kepada pers Ilham mengungkapkan bahwa tahun 2006, ia pernah menyamar naik pete-pete di malam hari demi mengukur efisiensi dalam menggunakan armada angkutan kota.

"Saya naik petepete dari kantor (Balaikota Makassar) ke Pasar Daya. Saya sendirian di malam dan sore hari. Saya pakai topi sehingga tidak ada orang yang tahu," ujarnya kepada sebuah media cetak harian di Kota Makassar.

Dari Balaikota sampai Daya, penumpang yang tetap cuma empat orang. Yang naik dan turun di jalan tujuh orang. Berarti pendapatan sekali jalan cuma Rp 10.000 dengan tarif Rp2.000/penumpang) .

Saat kembali, penumpang yang tetap lima orang, sedangkan yang turun naik di jalan sembilan orang. Saya hitung-hitung, satu ret (pulang pergi) pendapatannya paling hanya Rp17.000 sampai Rp 20.000.

Sementara kalau mobil tua, bensinnya butuh empat liter sekali jalan. Kalau mobil baru mungkin tiga liter. Tergantung bagaimana membawanya. Sopir petepete harus membeli bensin Rp21.000, berarti kan mereka rugi. Belum lagi kalau mereka harus membeli suku cadang.

Makanya, kisah Ilham, "waktu saya kumpulkan sopir saya bilang, kalian sebenarnya justru menyubsidi setoran antara Rp700.000 sampai Rp 1,2 juta per bulan.

Pertanyaan saya waktu itu, kenapa mereka mau? Karena ada uang yang dilihat setiap hari.

Itu cara mereka berhitung. Mereka tidak bisa berhitung akumulatif. Kalau dua-tiga tahun tidak bisa lunasi cicilan kendaraan, terpaksa dealer akan menariknya.

Terhadap masalah ini, kata Ilham, kita harus mencari solusi yaitu membangun sistem busway. Konsep pengadaan dan operasional busway itu kerja sama pemerintah-swasta. Mungkin ada pengusaha petepete, tukar lima petepetenya jadi satu busway.

Hitungannya bukan penumpang tapi jarak. Ada atau tidak ada penumpang akan tetap terbayar karena ada subsidi otomatis. Jadi sopir tidak rugi lagi. Sekarang kan satu penumpang dihadang tiga petepete.

"Kenapa? Karena mereka kejar setoran. Ini juga yang membuat kesemrawutan lalu lintas. Petepete akan jadi angkutan penghubung. Tarifnya sama meski jaraknya pendek. Kemudian pengusaha petepete juga dianjurkan membeli bus supaya ikut sistem busway, begitu?," ujar Ilham optimis.

Thursday, May 24, 2007

SAMPAH DI MAKASSAR SUDAH JADI UANG

Makassar, 14/4 (ANTARA) - Dulu sampah dipandang sebelah mata, karena dianggap barang tak berguna. Kini sampah di Kota Makassar sudah memiliki nilai dan bisa menghasilkan uang.
Setidaknya itulah yang terjadi pasca kehadiran PT Original Organic Recovery Group Indonesia (ORGI) yang mengelola sampah Kota Makassar menjadi pupuk kompos sejak tahun 2000 lalu.
Timbunan sampah selama bertahun-tahun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang di Makassar, telah dapat diolah menjadi pupuk kompos yang dapat digunakan di sektor pertanian, perikanan dan pertambangan.
"Daur ulang sampah ini, turut membantu program Makassar bersih, sekaligus memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitar pengelolaan sampah tersebut," ungkap H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar yang telah memberikan perpanjangan izin bagi perusahaan yang tercatat di Indonesia, Makassar menjadi daerah pertama memiliki pabrik olahan sampah.
Kontrak karya PT Orgi dengan Pemkot Makassar, menurut Direktur PT Orgi Sukardy, awalnya hanya sepanjang 2000-2015, namun setelah melihat perkembangannya beberapa tahun terakhir, akhirnya disepakati memperpanjang kerjasama tersebut hingga 2026.
Sementara itu, Emi Widayani, National Business Manager PT ORGI mengimbuhkan, cabang perusahaan pertambangan asal Australia ini, memiliki kemampuan produksi pupuk organik atau kompos rata-rata 100 ton per hari atau sekitar 1.000 ton per bulan dalam kondisi normal (kemarau). Namun jika musim penghujan, produksi cenderung menurun, karena kesulitan mengolah bahan baku yang basah yang berumur tiga hingga lima tahun.
"Selain itu, biaya mengeringkan bahan baku juga jauh lebih mahal dari pada produksinya," katanya sembari menambahkan, investasi awal pada saat pendirian pabrik yang mempekerjakan 22 orang karyawan itu, sekitar Rp4 miliar.
Keberadaan PT Orgi dalam kurun enam tahun terakhir, telah memberdayakan masyarakat lokal untuk mengoperasikan dua mesin pengolah yang diimpor dari Amerika dengan kapasitas 100 ton per hari. Produksi pupuk organik yang dihasilkan selama ini telah dikirim ke daerah Sulbar, Sulteng dan Perusahaan Tambang PT Inco, Tbk.
Pabrik ini juga menerapkan sistem pengolahan yang ramah lingkungan. Artinya, ORGI tidak mengambil atau mencari lahan baru untuk kemudian mendatangkan sampahnya seperti kasus Bojong di Bogor.
"ORGI-lah yang 'mendatangi' TPA, sementara kawah dari hasil galian bahan baku yang sudah tertimbun bertahun-tahun akan menjadi lokasi penimbunan sampah yang baru sehingga tidak perlu mencari lokasi untuk TPA baru sehingga para pemulung yang beraktivitas setiap hari di lokasi itu tidak perlu kehilangan lahan mencari hidup," ujarnya.
Mengenai nilai jual kompos yang dihasilkan PT Orgi, Emi mengatakan, kompos ini dijual lebih murah dibanding pupuk kimia. Sebagai perbandingan jika pupuk urea ditebus petani seharga Rp1.500 - Rp2.000 per kilogram, maka pupuk kompos ini jauh lebih murah yakni hanya sekitar Rp500 per kilogram.
Kebijakan harga murah ini dimaksudkan untuk membantu para petani, peternak dan pengelola pertambangan untuk membeli pupuk yang ramah lingkungan. Sementara dari sisi perusahaan sendiri, harga jual itu belum mampu menutupi biaya investasi yang ditanamkan.
"Namun kita optimistis usaha ini suatu saat akan mendatangkan keuntungan jika produksi telah berkesinambungan dan pasarnya makin meluas," ujarnya.

Saling Dukung

Pengelolaan sampah yang semakin berkembang, diharapkan dapat saling mendukung dengan penciptaan imej Kota Makassar sebagai kota yang bersih.
"Apalagi ke depan, setelah produksi pupuk organik ini berkembang, akan ditingkatkan lagi untuk mengolah sampah plastik dan gas metal dari sampah-sampah buangan," ungkap walikota menanggapi sinergitas kerjasama PT Orgi dan Pemkot Makassar.
Untuk membantu kelancaran suplai bahan baku yang akan ditimbun sekian tahun, selanjutnya dijadikan pupuk kompos, ia mengatakan, Pemkot melalui Dinas Dinas Lingkungan Hidup (LH) dan Keindahan Pemkot Makassar menyiapkan 117 armada angkutan sampah dan 186 kontainer sampah di Makassar.
"Fasilitas ini juga akan digunakan pada saat peringatan Program Makassar Bersih yang ketiga tahun pada 15 Mei mendatang, sekaligus menjai momen rangkaian peringatan keempat abad Kota Makassar," jelasnya sembari menambahkan, sedikitnya sekitar 4.000 warga akan turun bersama aparat pemerintah pada saat itu.
Menyikapi gencarnya Pemkot mewujudkan target program Makassar bersih itu, Rahman salah seorang pemulung di TPA Antang yang lebih akrab disapa Aco mengatakan, upaya pemerintah itu sangat baik, karena sejumlah pemulung dapat diserap bekerja di perusahaan yang juga mengolah sampah.
"Jadi kami tidak asing dengan pekerjaan itu, karena memang selama ini kami bergelut dengan sampah," katanya sembari menambahkan, sampah baginya sangat berarti karena bisa mendatangkan uang untuk menyambung hidup.
Sebagai karyawan, ia mengaku mendapat penghasilan diatas Upaha Minimum Provinsi (UMP) dengan mengantongi Rp750 ribu per bulan. Di sisi lain, waktu-waktu senggangnya masih dapat digunakan untuk memulung sampah-sampah yang bisa didaur ulang, misalnya plastik dan karton yang dapat menghasilkan yang Rp20 ribu per hari.

Wednesday, May 23, 2007

GNRHL DI SULSEL MASIH SEBATAS HARAPAN

Makassar, 22/5 (ANTARA) - Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan sejak tahun 2003, hingga kini pencapaiannya masih sebatas harapan.
Kondisi hutan sebagai kawasan penyangga air dan pencegah bencana alam, hingga saat ini masih dibayangi degradasi dan eksploitasi besar-besaran, sehingga tidak mampu mengimbangi GNRHL yang berjalan seperti siput.
"Semua itu terjadi karena kebijakan pemerintah terkait elayanan terhadap investasi dan modal untuk mengeksploatasi hutan, lebih besar ketimbang pelayanan dan pemeliharaan terhadap alam," ungkap Indah Pattinaware, salah seorang aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulsel.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulsel diketahui bahwa luas kawasan hutan di daerah ini mencapai 2.121.948 hektare atau 46,54 persen dari luas daratannya. Dari hasil penafsiran citra landsat, sebanyak 30,6 persen dari luas kawasan hutan tersebut mengalami degradasi (kritis).
Buruknya pengelolaan hutan ini telah mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di Sinjai tahun 2006.

Sekaitan dengan hal tersebut, Indah menilai, bencana pada setiap musim hujan berupa banjir dan longsor selalu menanti. Sedang pada musim kemarau, kekeringan, krisis air, kebakaran hutan dan lahan serta gagal panen selalu menjadi 'paket bencana' setiap tahun.
Menurut cacatan WALHI Sulsel, di pesisir Sulawesi Selatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir, bencana banjir bandang dan abrasi pantai semakin menjadi-jadi. Salah satu contoh kasus pada Juni 2006 lalu, empat kabupaten di Sulsel yakni Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto dihantar banjir bandang yang menyebabkan lebih dari 200 nyawa penduduk melayang.
“Persoalan ini merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut,” ujar Indah sembari menambahkan, ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan, dan energi.
Untuk air, di Makassar, lanjutnya, kebutuhan urgen ini sudah sulit diakses masyarakat. Rusaknya ekosistem di hulu Sungai Jeneberang berakibat kualitas air menjadi menurun.
Sementara di sektor pangan, di daerah yang menyandang predikat 'lumbung pangan' ini, masih ditemukan kasus kelaparan dan kekurangan gizi. Implikasi lainnya, petani tidak lagi makan beras berkualitas, nelayan tidak lagi makan ikan segar, dan buruh tidak lagi bekerja di lingkungan yang sehat.
"Semua ini merupakan bukti nyata dari bencana ekologis,” tandasnya.
Sementara itu, Ir Bacrianto, aktivis lingkungan yang juga adalah dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, setidaknya ada tiga langkah utama untuk mengantisipasi bencana ekologis di Sulsel.
Pertama, aktivitas konkrit dan mengembangkan budaya cinta lingkungan (enviromentalist) dari kelompok masyarakat terkecil agar terhindar dari bencana ekologis.
Sedang langkah kedua, dengan membangun kesadaran kritis masyarakat (critical mass) untuk bersama-sama mengarifi ekologi yang ada di sekitar manusia.
"Langkah terakhir adalah mempromosikan pendekatan bioregion sebagai prasyarat perubahan paradigma yang utama," katanya.
Konsep bioregion adalah suatu konsep yang tak lagi berciri satu wilayah, melainkan keseluruhan wilayah dalam perspektif ekologis. Misalnya, bencana di Sulawesi Selatan tidak hanya menjadi persoalan di Sulsel, melainkan menjadi problem di Pulau Sulawesi.

Banyak pintu

Kurang optimalnya pelaksanaan GNRHL di Sulsel dinilai karena terlalu banyak pintu yang menangani upaya merehabilitasi hutan dan lahan kritis di daerah ini.
Kepala Dinas Kehutanan Sulsel, A Idris Syukur mengemukakan, pengelolaan dan pendanaan GNRHL ini tidak satu pintu tetapi ada sejumlah instansi terkait yang terliabt di dalamnya.
Sebagai contoh, pada tahun 2006, Sulsel menerima dana GNRHL sebanyak Rp167 miliar lebih untuk 23 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut hanya sekitar Rp2,8 miliar yang dikelola Dinas Kehutanan Sulsel untuk empat program kegiatan dan sel;ebihnya tersebar di departemen, dinas dan lembaga lainnya.
"Keempat program kegiatan itu tercakup di dalam kegiatan pembangunan tanaman pada poros jalan Makassar menuju Parepare sepanjang 50 kilo meter," jelasnya.
Menyikapi banyaknya pihak yang menangani pengelolaan dan pengamanan hutan di daerah ini, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Taufik Kosaming mengatakan, semestinya harapan yang diinginkan lebih mudah tercapai.
Namun kenyataannya, program pengelolaan, rehabilitasi dan pengamanan hutan itu yang ditangani instansi lain selain Dinas Kehutanan, justeru saling berharap satu sama lain.
Di sisi lain, program yang ada saling tumpang-tindih dan akhirnya dana-dana yang dikucurkan untuk GNRHL dan yang terkait dengan persoalan penangan hutan pun menjadi bias bahkan tidak berbekas kemana 'larinya'.
"Sementara hasilnya sungguh tidak sesuai dengan program yang tertulis rapi di atas kertas," ujarnya sembari menambahkan, karena itu pemerintah pusat hingga daerah harus bersama-sama menyatukan muara program GNRHL itu sehingga kelemahan program GNRHL yang sudah berjalan selama lima tahun ini tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. (ant)

Friday, May 18, 2007

BULOG DALAM TANTANGAN SERBA KOMPLEKS

Makassar -- Momentum bulan Mei merupakan kalender yang spesial untuk Badan Usaha Logistik (Bulog), karena selain memperingati hari jadi yang jatuh pada tanggal 10 Mei, juga bulan itu adalah penutupan dari puncak panen raya di tanah air.
Dengan status Bulog yang empat tahun terakhir telah menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2003, Dirut Bulog Mustafa Abubakar dalam kunjungannya di Makassar menekankan kepada jajarannya untuk mengemban dua amanah sebagai fungsi logistik.
"Di sayap kanan kita mengemban fungsi sosial, yakni menstabilkan harga beras di pasaran, melakukan Operasi Pasar (OP), mengadakan beras untuk masyarakat Miskin (Raskin) dan menyiapkan logistik untuk bencana alam," ujar putra berdarah Aceh ini.
Sementara tugas jajaran Bulog di sayap kiri yang terkait dengan fungsi komersil, lanjutnya, berupaya membantu pemerintah dalam memberikan konstribusi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di sini, jajaran Bulog harus pandai dalam melihat peluang bisnis di sektor pangan maupun sektor lainnya yang masih terkait dengan kepentingan masyarakat umum.
Terkait dua peranan Bulog tersebut, pada semester pertama tahun 2007 ini merupakan tahun ujian bagi Mustafa Abubakar sebagai Dirut baru.
Pasalnya, per 1 April 2007 jabatan baru yang disandangnya bersamaan dengan terbitnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Dalam Inpres nomor 3 tahun 2007, pemerintah menetapkan HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) Rp2.000 per kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp2.575 per kilogram dan beras Rp4.000 per kilogram atau mengalami kenaikan sekitar Rp300 - Rp450 per kilogramdibandingkan HPP sebelumnya yang dituangkan dalam Inpres nomor 13 tahun 2005.
Sebenarnya diakui Dirut Bulog, penerbitan HPP per 1 April 2007 terbilang telat. Karena lazimnya, HPP terbit sebelum masa panen, sementara masa panen puncaknya jatuh pada April - Mei. Sebagai contoh, sebagian besar daerah di Jawa, khususnya Jawa Timur sudah selesai panen ketika HPP baru terbit. Begitu pula dengan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang merupakan basis pangan nasional setelah Jawa Timur.
Dengan fenomena seperti itu, otomatis pengadaan dalam negeri agak sulit terkejar pada semerter pertama ini. Pasalnya, harga produksi petani sudah lebih awal diborong oleh spekulan-spekulan yang memanfaatkan momentum melimpahnya produksi dengan berlindung dibalik hukum ekonomi. Artinya, pada saat produksi melimpah, harga turun. Sementara petani dalam kondisi seperti itu, hanya sedikit mendapatkan keuntungan.
"Sebelum Bulog turun, kami sudah menjual gabah kami pada pedagang pengumpul, juga pada penggilingan di tempat kami," ungkap Ilyas, salah seorang petani di Kecamatan Lau, Kabupaten Maros. Padahal menurutnya, saat penjualan gabah jenis GKP itu hanya dibeli seharga Rp1.800 per kilogram atau lebih murah dari HPP untuk GKP yakni Rp2.000 per kilogram.
Alasan rata-rata petani yang menjual produksinya yang terkesan terburu-buru itu, karena untuk menutupi biaya sarana produksi (Sparodi) pra panen maupun pasca panen. Belum lagi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anaknya yang membutuhkan talangan dana.

Putuskan Mata Rantai

Salah satu penyebab sulitnya petani menikmati HPP di lapangan, karena panjangnya mata rantai pembelian Bulog selama ini. Sekaitan dengan hal tersebut, kini Bulog membentuk Satgas untuk memutus mata rantai yang panjang itu.
"Kalau selama ini, Bulog hanya mengandalkan jalur kemitraan, kini sudah dibentuk Satgas yang berfungsi sebagai pembeli yang langsung menjemput produksi petani di lapangan," imbuh Abdul Karim Pati, Kepala Divre Bulog Sulsel yang mencoba menjabarkan kebijakan Bulog di daerah lumbung beras ini.
Dijelaskan, Satgas tersebut berasal dari sarjana-sarjana pertanian yang sengaja direkrut oleh Bulog untuk membantu pengadaan dalam negeri. Dalam hal ini, Bulog Sulsel bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang menyiapkan tenaga-tenaga sarjana pertaniannya.
Keberadaan Satgas itu di lapangan, diakui sebagian besar petani di Sulsel sudah cukup membantu untuk mendapatkan harga yang layak.
Mursalam (35), salah seorang petani di Desa Manggempang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru misalnya, mengaku sangat terbantu dengan adanya Satgas di daerahnya. Pasalnya, ia tidak perlu repot-repot mengangkut gabahnya ke penggilingan atau ke lokasi pembeli. Selain itu, bisa mendapatkan dana 'cash' secara langsung.
"Menjual GKP ke Satgas lebih nyaman. Karena tidak perlu repot mengakut dan menjemur gabah dulu, disamping itu dapat bayaran langsung, tanpa perlu menunggu beberapa hari seperti yang biasa dilakukan pihak penggilingan jika kehabisan uang tunai," ungkap bapak berputra satu orang dan mengaku masih numpang di rumah mertua ini.
Dengan adanya Satgas dan sekitar 300 mitra Bulog Sulsel di lapangan, Kadivre Bulog optimis pengadaan Sulsel tahun 2007 sebanyak 232 ribu ton dapat terpenuhi, meskipun pada musim panen April - Mei 2007 ini baru mencapai sekitar 30 persen dari prognosa.
"Dengan melihat proyeksi 2006 lalu, realisasi pengadaan Divre Bulog Sulsel yang membawahi Provinsi Sulsel dan Sulbar ini, mencapai 280 ribu ton gabah setara beras," ujarnya sembari menambahkan, Divre Sulsel ketika itu tercatat sebagai satu-satunya Divre Bulog di tanah air yang memenuhi prognosa pengadaan.
Menyikapi hal tesebut, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Abdul Rahman Daeng Tayang mengatakan, keberhasilan itu belum dapat disahkan jika Bulog belum mampu menyerap sebagian besar produksi petani, sehingga produksi petani tidak jatuh ditangan tengkulak atau spekulan.
Karena itu, lanjutnya, tantangan Bulog ke depan adalah harus menjadi 'dewa penyelamat' bagi petani dengan menyerap produksi petani sebanyak-banyaknya dengan harga yang pantas. Sehingga beras dalam negeri tidak lagi dilarikan ke luar negeri dan kemudian pemerintah kerepotan mengadakan beras impor dari negeri tetangga misalnya Thailand dan Vietnam.
"Sulsel sendiri sebagai daerah penyanggah pangan nasional mampu memproduksi sekitar 2,5 juta ton beras per tahun, dan sekitar 1,5 juta ton diantaranya adalah surplus. Mengapa itu tidak dimanfaatkan oleh Bulog?" tandasnya.
Ia menambahkan, selama ini yang dapat diserap Bulog tidak sampai separuh dari total produksi, sehingga produksi petani di daerah ini lebih banyak diantarpulaukan, bahkan dikirim ke luar negeri lewat Nunukan yang berbatasan dengan Negara Malaysia.
Terkait dengan semua persoalan yang ada di lapangan, di usia yang keempat dengan status Perum ini, sudah sepatutnya Bulog semakin berbenah diri dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks, baik dalam tugasnya sebagai fungsi sosial, juga menghadapi persoalan pengadaan dalam negeri dan persaingan dalam pasar global yang nota bene membonceng persoalan beras impor.

PERTARUNGAN KESELAMATAN DI ATAS KAPAL MOTOR

MAKASSAR -- Memilih transportasi laut dengan kapal motor kayu menuju pulau-pulau kecil, dibutuhkan nyali yang cukup besar. Pasalnya, pertarungan keselamatan akan tergelar saat menaiki perahu bermesin satu hingga tiga, dengan kecepatan 7 mil per jam.
Setidaknya itulah yang terjadi pada warga yang berada di pulau-pulau
kecil untuk mencapai ibu kota seperti Kota Makassar, demikian pula sebaliknya.
Keberadaan transportasi antar pulau-pulau kecil yang menggunakan kapal
motor kayu selama ini, tak satupun yang memiliki jaminan keselamatan bagi penumpangnya, mulai dari ketersediaan sarana pelampung, sistem perkarcisan, daftar penumpang hingga asuransi.
Nasrun, salah seorang warga Pulau Kodingngareng misalnya, mengaku sudah dua puluh tahun lebih mondar-mandir dari tempat domisilinya hingga ke Kota Makassar dengan kapal motor kayu, tidak pernah mendapatkan kapal motor yang lengkap pelampungnya yang umumnya hanya menggunakan ban mobil
bekas.
"Kalaupun ada, paling banyak sepuluh buah ban saja, sementara penumpang bisa mencapai 50 orang dalam satu kapal," katanya sembari memberikan
gambaran, kapal yang dimaksud adalah kapal yang bermesin dua hingga tiga
unit dengan panjang kapal 15 - 17 meter. Kapal motor kayu itu lebih dikenal masyarakat di Makassar dan sekitarnya sebagai 'pete-pete'.
Kondisi itu diakui para pemilik pete-pete yang melayani penumpang di 13 pulau yang ada di Wilayah Kota Makassar. Ke-13 pulau itu adalah tujuh pulau berada di Wilayah Kecamatan Ujung Tanah, tiga pulau di Kecamatan Ujungpadang dan selebihnya berada di Kecamatan Tallo.
"Sudah hampir dua puluh lima tahun saya sebagai nakhoda sekaligus pemilik kapal, tidak menggunakan karcis dan mendata penumpang yang naik atau pun turun. Itu sudah terjadi sejak turun-temurun," jelas H Sampara pemilik
pete-pete Untung Abadi yang melayani rute Pulau Kodingngareng-Makassar PP.
Menurutnya, para penumpang yang naik umumnya sudah dikenal, karena adalah penduduk asli pulau, kalaupun ada penumpang baru, itu hanya pendatang.
Karena itu, tidak perlu ada daftar, cukup mengandalkan ingatan saja dalam hal mendata penumpang.
Mengenai sistem pembayarannya, baik H Sampara maupun H Abu Zainal pemilik PM Novita Sari yang melayani rute Pulau Barrang Lompo - Makassar PP, mengaku tidak ada sistem pembayaran via karcis. Melainkan cukup menarik
langsung ke penumpang secara tunai.
Adapun tarif penumpang untuk rute Pulau Barrang Lompo - Makassar sebesar Rp6.000 per orang, sedang untuk rute Pulau Kodingngareng Rp7.500 per
orang. Sedangkan tarif barang dipungut bervariasi sesuai dengan besar dan beratnya. Sebagai contoh, untuk kursi Rp2.000 dan lemari Rp5.000 per unit.
Sedang tarif untuk pulau yang lebih jauh dari Pulau Kodingngareng yang
berjarak sekitar tujuh mil (1,5 jam) dari garis pantai di Makassar, akan
lebih mahal lagi seperti Pulau Lumu-Lumu yang membutuhkan waktu sekitar empat jam dari Kota Makassar.

Belum Miliki Regulasi
Terkait dengan keselamatan penumpang di bidang transportasi laut,
khususnya kapal motor yang bertonase kecil, seperti 'pete-pete' yang melayani penumpang antar pulau-pulau kecil di sekitar Selat Makassar, hingga saat ini belum memiliki regulasi.
Hal itu diungkapkan Muchtar Kasim, Kepala Dinas Perhubungan Kota
Makassar. Menurutnya, dinas yang dipimpinnya baru seminggu itu, memiliki
dua bidang yang belum ada regulasinya. Kedua bidang tersebut adalah Bidang Kepelabuhanan dan Bidang Pos dan telekomunikasi (Postel).
"Untuk membuat regulasi yang nantinya sudah termasuk di dalamnya tentang jaminan keselamatan penumpang, dan standar kapal yang layak sebagai
transportasi penumpang, kami baru akan belajar di Jakarta," jelasnya.
Setelah itu, lanjutnya, pihaknya akan menggelar workshop bagi jajaran
bidang kepelabuhanan, agar mengetahui tugas dan fungsinya. Pasalnya, bidang tersebut hingga kini belum memiliki kerja nyata dalam menertibkan
kapal-kapal ataupun mengatur sistem transportasi laut berskala pelabuhan
rakyat, karena tidak memiliki regulasi selama ini.
Karena itu, Dinas Perhubungan Kota Makassar menargetkan kedua bidang yang dibawahinya, khususnya Bidang Kepelabuhanan sudah memiliki regulasi pada tahun 2007.
"Jadi nanti, semua kapal penumpang itu sudah harus menyiapkan sarana keselamatan penumpang seperti pelampung, dan alat komunikasi, sehingga
koordinasi dengan pihak syahbandar di pelabuhan atau dermaga dapat berjalan dengan baik, termasuk untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan
di laut," ujarnya sembari menambahkan, dengan memiliki alat komunikasi pihak syahbandar atau navigator dapat mengarahkan pemilik atau nakhoda kapal jika terjadi cuaca buruk dan sebagainya.
Menyikapi bakal adanya regulasi kepelabuhanan itu, Subaedah, salah
seorang warga Pulau Barrang Lompo yang berprofesi sebagai pedagang kelontongan merasa gembira.
"Selama ini, kami bolak-balik menggunakan 'pete-pete' dengan rasa
was-was, karena tidak ada jaminan keselamatan. Mudah-mudahan nanti,
selain ada jaminan keselamatan, juga para penumpang diasuransikan," katanya.