Monday, July 16, 2007

HPP BARU MASIH BERLAKU DI ATAS KERTAS

Makassar, 7/4 (ANTARA) - Di penghujung April 2007, pemerintah menerbitkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang baru untuk membeli produksi petani. Kebijakan tersebut diharapkan dapat dinikmati oleh petani, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang mayoritas hidup dari lahan pertanian. Namun kenyataannya, HPP baru masih berlaku di atas kertas, belum sampai ke petani.
Setidaknya itulah yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dikenal sebagai daerah penyanggah pangan nasional. Dengan jumlah penduduk sekitar 8 juta jiwa yang 70 persen di antaranya hidup dari sektor pertanian, HPP baru yang ditetapkan pemerintah, bukan jamin sebagai kabar gembira bagi mereka.
Daeng Ali, salah seorang warga Barandasi, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros Ilyas misalnya, hasil panennya pada musim rendeng ini hanya dibeli oleh pihak penggilingan (mitra Bulog) seharga Rp1.750 per kilogram (kg) untuk Gabah Kering Panen (GKP). Padahal harga GKP dalam HPP yang baru Rp2.000 per kg.
Harga tersebut emang sudah diatas GKP HHP lama yakni Rp1.730 per kilogram, namun masih sangat jauh dari HPP yang baru. Hal serupa juga diakui Nurdin, petani asal Kabupaten Pangkep. Menurutnya, harga sarana produksi (Saprodi) jauh lebih awal naik sebelum ada HPP baru dari pemerintah. Sehingga kenaikan HPP sekitar 17 persen itu tidak memiliki arti di kalangan petani.
"Biaya yang kami keluarkan sebelum memasuki panen jauh lebih banyak. Karena harga pupuk ataupun racun hama rata-rata naik sekitar Rp500 hingga Rp1.000, sementara kenaikan harga dari pemerintah hanya naik sekitar Rp300," katanya.
Kondisi yang dialami petani di dua kabupaten itu, tidak jauh beda dengan petani lainnya di Sulsel. Mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sementara hasil panen yang diperoleh tidak berimbang. Bahkan lebih banyak apesnya. Namun tidak ada pilihan lain selain menjadi petani yang sudah digeluti secara turun-temurun.
"Untuk biaya pengarapan satu petak tanah seluas satu hektar misalnya, harus mengeluarkan biaya traktor sekitar Rp500 ribu, ditambah biaya pupuk yang juga ratusan ribu," katanya memaparkan untuk pupuk Urea semula masih Rp55 ribu per zak (50 kg), kini Rp60 per zak. Sedang pupuk TSP Rp75 ribu per zak naik menjadi Rp80 ribu per zak, SP36 dari Rp75 ribu per zak menjadi Rp77.500 per zak. Untuk racun serangga jenis Puradan ditebus dengan harga Rp18 ribu per dua kilogram.
Selain tingginya harga Saprodi yang dikeluhkan para petani, produksi petani pun banyak tergantung dari kondisi cuaca. Musim panen raya periode April 2007 ini, produksi petani kurang optimal, karena banyak gabah yang hampa yang dipicu oleh curah hujan yang tidak menentu.
"Menjelang panen, padi kami diguyur hujan, jadi bulir padinya agak hitam dan banyak juga yang tidak berisi (hampa)," tutur Sago, salah seorang petani di Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros.
Akibat dari kondisi tersebut, lanjutnya, kalau sepetak tanah biasanya menghasilkan rata-rata hingga 10 karung (100 kg) gabah, kini hanya sekitar enam karung gabah saja.

Pemangkasan Mekanisme
Menyikapi belum sepenuhnya HPP baru dapat dinikmati petani, Prof DR Halide, SE, Guru Besar Universitas Hasanuddin mengatakan, pemerintah harus melakukan pemangkasan mekanisme pembelian produksi petani. Selain itu memberikan fasilitas pendukung bagi petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya.
"Kalau mekanismenya masih panjang, artinya masih melalui perantara atau mitra, harga di tingkat petani masih bisa dipermaikan oleh si perantara itu," jelasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga harus memberi peluang pada pihak usaha kecil seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau penggilingan kecil untuk turut membeli, sehingga pembelian gabah petani tidak hanya dikuasai oleh penggilingan berskala besar atau kontraktor yang bermodal besar.
Hal tersebut dinilai penting, untuk pemerataan penyerapan produksi petani, selain mengingat keterbatasan penyerapan dari pihak Bulog sendiri.
Ketidakmampuan bersaing menyerap produksi petani itu, diakui Baharuddin, Manajer KUD Allepolea Kabupaten Maros. Menurutnya, pihak Bulog hanya memberikan peluang bagi mitra yang memiliki penggilingan berkapasitan satu ton per jam dan memiliki dana segar sekitar Rp300 juta.
"Sementara KUD kami hanya memiliki penggilingan dengan kapasitas 500 kg per jam atau setengah dari yang dipersyarakatkan, otomatis tidak bisa menjadi mitra Bulog dalam membeli produksi petani," katanya seraya menambahkan, dari segi dana segarpun KUD yang dipimpinnya tidak mampu bersaing.
Akibat dari hal tersebut, lanjutnya, pihaknya hanya membeli seusai dengan kemampuan dan mengikuti harga pasar. Artinya, pada saat panen dengan produksi melimpah, pembelian gabah akan jatuh dan akan sangat jauh dari HPP. Sedangkan pada saat pertengahan musim tanah, produksi kurang, otomatis harga pembelian akan naik, bahkan dapat melebihi HPP yang ada.
Menanggapi kondisi tersebut di lapangan, Kepala seksi Tata usaha dan umum Bulog Divre VII Sulsel Muh Razak Djabbar mewakili Kadivre mengatakan, pihaknya hanya membeli produksi petani seusai dengan budget kucuran dana dari Bulog pusat atau yang dialokasikan dalam APBN.
"Kami memiliki keterbatasan dalam pembelian produksi, sehingga produksi petani tidak semuanya dapat terserap. Namun yang jelas, pada saat panen raya atau harga turun, kami akan tampil untuk membeli dengan harga yang pantas," ujarnya sembari menambahkan, namun pada saat produksi berkurang, petani dapat menikmati harga penjualannya, karena akan terkait dengan hukum pasar.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Maros, H. Burhanuddin mengemukakan, pada saat panen raya pihaknya menganjurkan kepada petani untuk menyimpan sebagian produksinya.
Sehingga masih ada kesempatan untuk mendaopatkan harga yang lebih baik pada saat pasca panen atau produksi tidak melimpah lagi.
"Namun kita juga memahami, banyak kebutuhan petani yang harus ditutupi. Termasuk menyiapkan dana saprodi untuk musim panen berikutnya," ujar Kepala Dinas yang wilayah kerjanya meliputi sekitar 25.225,05 ha lahan sawah yang tersebar pada 14 kecamatan di Kabupaten Maros ini.

No comments: