Saturday, January 31, 2015

CU PAMMASE SELAMATKAN “PEJUANG DEVISA” BONE


Oleh Suriani Mappong 

    Menyandang gelar sebagai “pa’sompe” (perantau) bagi warga di tanah Bugis menjadi kebanggaan tersendiri. Perbedaan nilai mata uang dengan negara tetangga, khususnya Malaysia tentu menjadi impian manis bagi pa’sompe yang istilah umumnya adalah buruh migran. 
     Impian itu kemudian diperkuat ketika ada anggota keluarga, tetangga ataupun kerabat yang kembali ke kampung halaman dengan membawa kesuksesan yang terjabar dari materi yang berhasil dikumpulkan, maupun gaya hidup yang lebih “wah”.
     “Kalau selama ini, hidup kami pas-pasan saja, tentu kami ingin mendapat lebih agar bisa hidup lebih sejahtera dan bisa ke tanah suci,” kata salah seorang warga Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Sab’ina (38).
    Karena itulah, suaminya Ridwan (40) pun merantau ke negeri Jiran Malaysia dengan harapan dapat mengubah nasib, meskipun harus meninggalkan isteri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
    Menurut perempuan yang aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan di Kantor Desa Mallari ini, karena suaminya hanya terbiasa melaut mencari ikan, maka pekerjaan yang digelutinya di negara tetangga juga sebagai nelayan dalam satu tahun terakhir.
    Sementara warga lainnya, Hj Nurjannah mengaku sudah sekitar 15 tahun ditinggalkan suami H Muh Arif untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia. Sebelumnya pernah ikut merantau bersama suami di Malaysia, namun akhirnya pulang kampung untuk menyekolahkan keempat anaknya.
    Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan mengadalkan kiriman dari suami tidaklah cukup, karena bisa saja kiriman belum tiba sementara kebutuhan konsumsi atau sekolah anak sudah  mendesak. Hal itulah yang pernah dialami Nurjannah, sehingga memutuskan untuk membudidayakan rumput laut di pesisir pantai, tak jauh dari rumahnya.
    “Dalam membudidayakan rumput laut, saya membutuhkan dana Rp1,5 juta untuk membeli bibit rumput laut dan tali. Ditengah kebingungan mencari modal, untunglah Bu Sab’ina memberikan informasi jika Credit Union (CU) Pammase yang dibina Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Kabupaten Bone dapat meminjamkan kredit modal usaha,” katanya.
    Tanpa melalui prosedur yang panjang dan agunan, kebutuhan dana itupun akhir tertutupi dan bididaya  rumput lautnya mulai berkembang. Dari hasil penjualan rumput laut yang umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul seharga Rp15 ribu per kilogram, selanjutnya sebagian dari penjualan rumput laut itu digunakan membayar cicilan kredit Rp142 ribu per bulan  selama 12 bulan.
     Mirip dengan kisah Hj Nurjannah, warga Mallari lainnya yakni Hj Syamsidar juga sempat merantau ke Malaysia dan menjadi buruh mirgran, namun dua tahun lalu memilih kembali ke kampungnya untuk menyekolahkan anak dan menjadi “single parent”, karena suaminya masih bertahan di Malaysia dalam 20 tahun terakhir. Kini, dua dari tiga anaknya sudah duduk di perguruan tinggi, yang tertua menuntut ilmu di Akademi Pelayaran Barombong, Makassar dan anak keduanya di STAIN, Bone.
    Hal serupa juga dialami Hj Mardiati yang harus rela berpisah dengan suaminya, Alimuddin yang bekerja di pelabuhan ataupun di pabrik kilang, Malaysia dalam kurun waktu 20 tahun. Begitupun Rosmiati yang harus menanggung beban keluarga dan menyekolahkan ketiga orang anaknya.
    “Untuk membatu biaya pelengkapan sekolah anak, saya pinjam ke CU Pammase Rp2 juta dan kemudian membayar cicilan itu dari hasil upah budidaya rumput laut milik saudara,” katanya.
    Sementara Hj Nursidah mengaku, meskipun belum pernah meminjam ke CU Pammase, namun manfaat yang diperolehnya sangat banyak sebagai anggota koperasi itu. Alasannya, selain dapat mengajak untuk gemar menabung, juga membantu menerima kiriman dari suaminya di luar negeri melalui program “Delima”.
    Manfaat lainnya, anggota CU Pammase baik senior maupun yunior akan mendapatkan santunan kematiaan (Soka). Cukup membayar iuran Rp20 ribu per tahun, ahli waris mendapatkan santunan Rp1 juta. Khusus santunan rawat inap, iurannya Rp50 ribu dalam 10 hari dalam setahun.  
     Hal tersebut dibenarkan Kepala Desa Mallari A Wahyuli, Spd. yang memimpin lima dusun di wilayah kerjanya. Menurut dia, dari sekitar 650 kepala keluarga (KK) sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.
     “Kelompok perempuan atau ibu-ibu juga turut bertani, baik padi maupun rumput laut, disesuaikan dengan musimnya saja. Khusus perempuan buruh migran, sekembalinya di kampung mereka memilih membudidayakan rumput laut, baik diusahakan sendiri maupun hanya sebagai buruh upahan,” katanya.
     Keberadaan LPP dengan CU Pammase ini, diakui sangat membantu pemberdayaan perempuan di desanya, khususnya dari sisi peningkatan ekonomi keluarga yang berdampak pada upaya mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan anak usia sekolah.

 Membangun Kesadaran
     Bangunan sederhana tipe 36 di BTN Sodang’e Nomor 4, Kecamatan Tanete Riattang, Watampone, Kabupaten Bone, Sulsel menjadi wadah untuk membangun kesadaran para buruh migran, sekaligus melindungi buruh migran di “Bumi Arupalakka”.
     Di tempat itulah CU Pammase yang berbadan Hukum dididirikan setelah mengantongi Akta Notaris No. 14 tanggal 18 Agustus 2011. Secara struktural organisasi, koperasi simpan pinjam ini terhubung dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D) Makassar yang selanjutnya berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) di Jakarta.
    Kemudian BK3I tergabung dalam ASIAN Confederation of Credit Union (ACCU) yang berpusat di Bangkok dan didirikan pada 1969. Kemudian ACCU berada dibawah jaringan World Council of Credit Union (WOCCU) yang berpusat di WINCOUNSIL, Amerika Serikat dan berdiri pada 20 Oktober 1948.
    “Kehadiran CU Pammase ini, berangkat dari keinginan membantu para mantan atau yang masih aktif sebagai buruh migran untuk menyelamatkan kiriman uangnya dari luar negeri,” kata Dewan Pendiri/Pembina LPP Bone Asia A Pananrangi. 
     Kiriman uang lewat calo, teman ataupun kerabat buruh migran, kerap tidak sampai ke tangan keluarga penitip, sehingga pengelola LPP menginisiasi membentuk CU Pammase yang diprioritaskan untuk para buruh migran setelah melakukan identifikasi masalah pada kantong-kantong buruh migran di Kabupaten Bone.
     Menurut Asia, target pertama dari pembentukan koperasi itu pada 2011 adalah menekan praktik penipuan pada “pejuang devisa”. Melalui kredit mikro itu, dapat memfasilitasi buruh migran atau keluarga mantan buruh migran dalam mengirim dan menerima uang, termasuk dapat meminjam jika membutuhkan dana, baik untuk kebutuhan keluarga, kebutuhan sekolah maupun modal usaha.
     Khusus mengenai persoalan buruh migran di Bone yang ditaksir hampir separuh dari sekitar 600 ribu jiwa penduduknya merantau ke luar negeri, wakil ketua DPRD Kabupaten Bone ini mengatakan, pemerintah daerah sulit mengindentifikasi, karena sebagian berangkat dengan alasan hanya akan ke Nunukan, Kalimantan.
     “Dari lokasi itulah kemudian mereka lewat “samping” masuk ke Malaysia tanpa dokumen resmi dan hanya main kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.
    Asia mengatakan, dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan terhadap mantan buruh migran diketahui, sebagian besar tidak memiliki dokumen resmi untuk mejadi tenaga kerja di luar negeri, karena tidak memiliki dana untuk mengurus dokumen melalui calo atau orang tertentu. Sementara untuk mengurus sendiri mereka tidak tahu mekanismenya.
     Menyikapi kondisi itu, LPP Bone bersama mitranya yakni Maju Perempuan Indonesia (MAMPU) – BaKTI  mencoba menjembatani dengan mengadakan diskusi rutin mempertemukan konstituen dengan Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) terkait serta pihak legislator selaku pembuat legislasi.
     Mengenai hal itu dibenarkan Program Manager MAMPU – BaKTI Lusia Palulungan yang didampingi Program Officernya Junardi Jufri. Upaya itu diakui telah didorong mulai dari tingkat desa, kemudian membentuk Forum Kecamatan untuk mendiskusikan masalah di lapangan bersama perwakilan rakyat di masing-masing daerah pemilihan.
    “Juga intens mendiskusikan lima tema yang diusung MAMPU yakni membuka akses perempuan miskin pada program perlindungan sosial, akses pekerjaan dan menghapus diskriminasi di tempat kerja,” kata Lusia.
     Selain itu, meningkatkan kondisi tenaga kerja perempuan ke luar negeri, juga meningkatan kepemimpinan perempuan untuk kesehatan reproduksi yang lebih baik dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan.
     “Jadi melalui forum itu, masalah yang dihadapi konstituen dapat disampaikan langsung ke pihak legislator, sebalikya legislator juga dapat menyosialisasikan hal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat,” katanya.
     Dengan demikian, melalui program kemitraan dengan semua “stakeholder” itu diharapkan, akan terbangun kesadaran masyarakat untuk lebih memberdayakan diri dan tidak mudah diiming-imingi dengan kehidupan materi yang belum tentu benar dalam proses pencapainnya.
    Karena itu, bagi buruh migran maupun mantan buruh migran hendaknya dapat merenungkan pepatah kuno yang menyebutkan, “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih lebih baik di negeri sendiri.” Hanya saja, pepatah itu masih perlu disempurnakan, bahwa hujan batu di negeri sendiri harus dapat diubah menjadi hujan emas dengan giat berusaha dan mampu bersinergi dengan pihak lain. CU Pammase

Sunday, December 4, 2011

ODHA JUGA MANUSIA


Makassar, 3/11 (ANTARA) - Menjadi penyandang Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tentu tidak ada yang menginginkan, karena bermimpi menjadi ODHA akan berhadapan dengan 1.001 macam persoalan yang tidak menyenangkan.
Disalahkan, dikucilkan, dihina dan perlakuan buruk lainnya akan menjadi teman perjalanan dalam menjalani sisa hidup sebagian besar ODHA.
"Bahkan yang tragis, ada yang dikurung dalam sebuah gubuk di desa, kemudian mendapatkan makanan apabila ada yang memberi, itupun dilempar dari jauh karena warga takut terjangkiti," kata Kepala Biro Bina Narkotika Psitropika Zat Aditif (Napza) dan HIV/AIDS Sulsel Sri Endang Sukarsih.
Dia mengatakan, itu hanya contoh kasus perlakuan terhadap ODHA di sebuah perkampungan di perbatasan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng, Sulsel.
Adanya perlakuan yang tidak manusiawi itu, lanjut dia, karena sebagian masyarakat belum mengetahui penularan virus HIV/AIDS, penyebabnya dan upaya penanggulangan ataupun pencehagannya.
"Kalau saja masyarakat tahu semua itu, ODHA tidak perlu diisolasi, pergaulan tetap manusiawi," katanya.
Penyakit yang sangat ditakuti ini, menurut konsultan kasus HIV/AIDS di Sulsel Prof DR dr Alimin Maidin, HIV adalah virus yang membunuh sel darah putih (CD4) di dalam tubuh. Padahal peranan sel darah putih adalah membantu melawan infeksi dan penyakit yang masuk ke dalam tubuh.
Sedangkan AIDS terjadi setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dan berusaha menghancurkan sistem kekebalan tubuh.
"Ketika sistem kekebalan tubuh seseorang sudah rusak, maka tubuh akan mudah terserang penyakit yang ada di sekitarnya, khususnya penyakit TBC dan Hepatitis," kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini.
Mengenai penularan HIV/AIDS, lanjut dia, perlu sosialisasi yang gencar, karena masih ada stigma jika HIV/AIDS dapat menular melalui kontak sosial atau pergaulan biasa misalnya pacaran "biasa", makanan/minuman, melalui udara, ludah dan kotoran.
Termasuk melalui kolam renang, telepon, toilet, gigitan nyamuk atau serangga. Padahal semua itu tidak benar.
Virus HIV hanya menular melalui jarum suntik, seks bebas dan bayi yang ibunya positif HIV.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu waspada jika orang di sekitar kita mengalami gejala-gejala HIV/AIDS yakni rasa lelah dan sakit kepala yang berlangsung terus-menerus (kontinyu).
Selain itu, juga demam kontinyu, penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah bening, batuk berat dan tidak sembuh-sembuh, diare kontinyu, mudah mengalami pendarahan dan mudah terserang penyakit.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sulsel diketahui, kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS adalah homoseksual, pengguna narkoba, pekerja seks komersial, penerima transfusi darah, petugas kesehatan, pelancong atau wisatawan, serta yang berusia produktif yakni 20 - 34 tahun.
Adapun jumlah penderita HIV di Sulsel pada 2011 mencapai 3.118 orang dan AIDS 1.163 orang. Padahal 2008 penderita HIV/AIDS masih 2.366 orang.
Dari jumlah penderita HIV/AIDS 2011, khusus Kota Makassar terdapat penderita HIV sekitar 2.700 orang, sedang yang menderita AIDS mencapai 874 orang.

Gunung Es

Mencermati peningkatan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun, kondisi itu dinilai sangat mengkhawatirkan karena kasus tersebut merupakan fenomena gunung es.
"Artinya jika ditemukan satu penderita, maka tidak tertutup kemungkinan ada 10, 100 bahkan ribuan penderita yang belum ditemukan atau terdeteksi," kata Kabiro Bina Napza dan HIV/AIDS Sulsel Sri.
Mengenai kondisi tersebut, lanjut dia, karena ada sejumlah kendala di lapangan diantaranya keterbatasan anggaran pemerintah, jumlah sumber daya manusia (SDM) atau relawan untuk mencari ODHA.
Selain itu, belum ada kesadaran dari ODHA untuk memeriksakan diri atau melapor ke sejumlah tempat konseling seperti rumah sakit dan puskesmas yang sudah memiliki layanan Volunteer Conseling Treatment (VCT).
Hal itu juga diakui Asisten II Pemkot Makassar Burhanuddin
ketika Rakernas Penanggulangan HIV/AIDS pada awal Oktober 2011 di Yogyakarta.
Menurut dia, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit sangat rendah, sehingga menyulitkan pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS ataupun mencegah adanya korban baru. "Kasus HIV/AIDS akan menjadi permasalahan besar di Makassar," katanya.
Rendahnya partisipasi ODHA memeriksakan diri, lanjut dia, mungkin karena malu, padahal pemerintah sudah menyiapkan lima puskesmas sebagai tempat pemeriksaan, ditambah dua RS pemerintah yakni RS Wahidin dan Labuang Baji.
Kendala lain yang dihadapi Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Makassar adalah minimnya APBD yang dialokasikan untuk penanggulangan HIV/AIDS.
Dia mengatakan, minimnya anggaran yang dialokasikan dari APBN maupun APBD menjadi keluhan hampir semua KPA Kota/Kabupaten se-Indonesia.
Kendati demikian, KPA tetap berkomitmen untuk menjalankan program penanggulangan kasus HIV/AIDS dengan memperkuat Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) di lapangan.

Empati

Setumpuk persoalan kasus HIV/AIDS yang melilit hampir semua kota bahkan hingga ke pelosok desa, hendaknya disikapi secara arif dengan pendekatan empati pada ODHA.
"Itu adalah salah satu upaya yang paling manusiawi untuk menekan kasus HIV/AIDS," kata aktivis penanggulangan HIV/AIDS Sulsel yang akrab disapa Zul.
Menurut dia, sejumlah relawan yang diturunkan mencoba bersosialisasi dengan ODHA dengan pendekatan empati.
Bahkan, juga sejumlah rumah singgah yang menangani ODHA telah membentuk kampanye KIE melalui teman baya. Sistem ini dinilai lebih cepat bersosialisasi baik dengan ODHA maupun dengan sasaran kampanye.
"Fenomena di lapangan menunjukkan, sebagian besar ODHA tidak mau terbuka dengan keluarganya, tapi justeru terbuka pada sahabat atau teman sebayanya," katanya.
Hal itu diakui salah seorang ODHA yang memiliki nama samaran Andi.
Menurut dia, ketika mengetahui dirinya mengidap HIV maka yang pertama kali diberitahu adalah sahabatnya. Sementara keluarganya baru mengetahui kondisinya dari sabahatnya setelah beberapa bulan kemudian.
Alasan dia tidak mengungkapkan statusnya sebagai ODHA pada keluarga, karena takut kena marah, disiksa bahkan diusir dari lingkungan keluarga.
Padahal, dalam kondisi terpuruk seperti itu, dia membutuhkan dukungan moril dari orang-orang di sekelilingnya untuk menghadapi kehidupannya ke depan, termasuk untuk tidak menularkan penyakitnya pada orang lain.
Jadi, kalau ada pelantun lagu yang menyanyikan "Roker Juga Manusia", maka untuk ODHA juga berharap ada lagu yang bersyair "ODHA Juga Manusia" yang membutuhkan perlakuan yang wajar dan cinta kasih dari lingkungannya.***4***

(S036)

Friday, July 1, 2011

Trace i la galigo in leiden


After watching theatrical performances and dance about the epic I La Galigo at 23 - 24 April 2011 in Fort Rotterdam, Makassar. I'm interested to see first hand the ancient manuscripts from South Sulawesi in the library of Leiden University in The Netherlands.

The third world’s most expensive director, Robert Wilson raised the epic story of the Bugis culture of this land which is the most complete story on an international scale, because an accumulation of art, culture and science.

The manuscript is the longest in world literature with 6,000 pages - the length exceeds the literary Indian "Mahabharata". The epic tells the story of heroic protagonist Sawerigading and its manuscripts scattered and hardly ever lost.

King Paccana, Colliq PujiE (1812-1876) is the person who collected them back and rewrited into 12 volumes with a total of 2.851 pages.

In the 1800s, Dutch scientist Dr. Benjamin Frederik Matthes had carried 15 manuscripts I La Galigo to the Netherlands. The original manuscript written on sheets of papyrus (lontarak) is then stored in the Library of the Leiden University, The Netherlands.

La Galigo manuscript collections in this library is the most comprehensive in the world. Even Indonesia did not have it complete as this.

Therefore, one of my dreams when arrive in the Netherlands is like knowing a lot about that. Moreover, the manuscript until now has not returned to Indonesia, because of limited facilities and funds to preserve the ancient texts such as literary works I la Galigo.

Monday, May 31, 2010

Lipsus - Ketika Konversi Gas Elpiji Menelan Korban Oleh Suriani Mappong

Makassar, 29/5 (ANTARA) - Ketersediaan minyak tanah yang berasal dari fosil, dari tahun ke tahun kian menipis.

Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji pada 2008.

Sejumlah provinsi di Indonesia menjadi proyek percontohan pada awal penerapan kebijakan itu, termasuk Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang menjadi salah satu daerah rintisan.


Setelah dua tahun kebijakan pemerintah itu diterapkan, Kota Makassar yang menjadi pionir penggunaan kompor dan tabung gas ukuran tiga kilogram (kg) bagi daerah lainnya di Sulsel, ternyata sepanjang 2010 harus mencatat sekitar 21 kasus ledakan tabung gas.


"Saya sekarang takut menggunakan kompor gas, setelah banyak kasus ledakan tabung gas di Makassar," kata salah seorang warga Pampang, Makassar Daeng Sanneng.

Kasus terakhir terjadi pada 6 Mei 2010 pada rumah warga di Jl Pampang II, Lorong V, RT A/RW IV, Kelurahan Pampang, Kecamatan Panakkukang, Makassar.


Pada kasus ini, dua bocah usia belasan tahun tewas terpanggang. Dua unit rumah dan satu sepeda motor ludes terbakar.


Sementara kasus lainnya, meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun korbannya harus mengalami kecatatan fisik, karena mengalami luka bakar.


Menanggapi fenomena tersebut, salah seorang pengamat sosial dari Universitas Sawerigading, Makassar Mohammad Yahya Mustafa mengatakan, sosialisasi yang minim dari program pemerintah untuk konversi minyak tanah ke penggunaan gas, sangat merugikan mayoritas pengguna tabung gas.


Masyarakat mungkin ada di antaranya baru pertama kali gunakan kompor gas, setelah turun temurun menggunakan kompor minyak tanah.


Akibatnya, lanjut dia, peralihan alat memasak dari kompor minyak tanah ke kompor gas yang kurang maksimal dan mendetail diinformasikan itu, harus menelan korban yang umumnya masyarakat ekonomi lemah.

Sementara itu, Hidayat Nahwi Rasul dari Centre of Information and Communication Studies (CICS) Sulsel menilai, maraknya kasus ledakan tabung gas di Makassar itu disebabkan tiga faktor.


"Lemahnya "quality control" (pengawasan kualitas) produk yang disalurkan ke masyarakat sasaran, kelembagaan kontrol konsumen juga tidak bekerja secara efektif dan masyarakat pengguna yang awam pengetahuannya terhadap penggunaan gas elpiji merupakan faktor pemicu," katanya.


Untuk mengantisipasi adanya kasus baru lagi, lanjutnya, maka yang diperlukan adalah sinergitas antara pemasok, Pertamina, lembaga konsumen untuk membicarakan soal mutu produk, pengawasan kualitas, proses distribusi serta sosialisasi penggunaan elpiji melalui media massa secara luas.


Sementara Yahya mengatakan, pihak PT Pertamina Region V selaku operator selain harus memperluas informasi dan sosialiasisasi penggunaan kompor gas itu secara mendetail dan terperinci melalui media massa, juga perlu turun langsung ke tengah masyarakat memberi penyuluhan sekaligus praktek penggunaan kompor gas itu.


Material dievaluasi

Menyikapi banyaknya kasus ledakan tabung gas ukuran tiga kg di Makassar, Kepala Administrasi Penjualan Gas Domestik PT Pertamina Region V Muhammad Tahir mengatakan, material paket konversi gas elpiji tiga kg yang disalurkan PT Pertamina Region V yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua sedang dievaluasi.

"Material itu kini dievaluasi di pusat. Jadi untuk sementara belum ada penyaluran material yang terdiri dari kompor dan tabung gas serta perangkatnya seperti selang dan regulator," katanya.

Menurut dia, pihak Pertamina tidak yakin jika kasus ledakan tabung gas itu disebabkan oleh material yang dibagikan, karena sudah mendapat pengakuan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Bisa saja material yang digunakan itu sudah diganti, karena biasanya sejumlah pengguna tabung gas tiga kg terbujuk promosi pihak swasta untuk mengganti materialnya yang dinilai lebih aman," katanya.

Selain itu, lanjutnya, kecelakaan ledakan tabung gas, dapat pula disebabkan oleh tiga faktor yakni kelalaian manusia, hubungan arus pendek dan tidak adanya ventilasi yang mendukung untuk sirkulasi udara di sekitar tempat alat memasak itu.

Dengan demikian, dia mengatakan, tidak semata-mata kasus ledakan tabung gas itu disebabkan oleh material yang dibagikan itu.

"Untuk menghindari adanya korban, kami juga memberikan selebaran yang berisi petunjuk penggunaan dan pemeliharaan kompor dan tabung gas," ujarnya.

Hanya saja, di lapangan tidak semua masyarakat yang dibagikan material itu mampu memahami selebaran yang diberikan PT Pertamina Region V, karena kendala keterbelakangan pendidikan, bahasa atau waktu luang yang terbatas.

Kini, realisasi program konversi minyak tanah ke gas elpiji sudah mencapai 98 persen untuk menjangkau 24 kabupaten/kota di Sulsel dan diharapkan akhir 2010 program pemerintah itu sudah rampung.

Masyarakat kalangan menengah ke bawah hanya memiliki satu harapan, agar buah kebijakan pemerintah itu tidak membuat mereka makin sengsara dan "phobia" menggunakan alat masak yang dinilai lebih modern dan praktis.

"Kami hanya ingin agar alat masak itu aman digunakan dan pasokan gasnya tidak sulit didapatkan. Jangan sampai minyak tanah semakin langka, kemudian nanti setelah pindah ke gas sedikit demi sedikit gas juga dinaikkan harganya," kata warga Kelurahan Cambayya, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar Daeng Hasanah.

Monday, February 23, 2009

Menjaga Kebebasan Pers sebagai Pilar Demokrasi


Kemerdekaan Pers sesungguhnya bukanlah persoalan pers semata-mata. Kemerdekaan Pers adalah hak warga negara yang berdaulat, yaitu hak untuk bebas mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta hak untuk memperoleh informasi (public right to know).Oleh sebab itu, perjuangan penyadaran menegakkan kebebasan pers, menjadi tanggung jawab semua pihak.


SAAT ini, di berbagai negara di dunia, berlomba-lomba melakukan upaya perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik. Di Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, bahkan telah memproklamirkan diri sebagai negara penganut politik hukum yang melindungi pers. Dalam hal ini Politik Hukum Dekriminalisasi Pers. Yaitu penghapusan penjeratan pasal-pasal kriminal bagi karya-karya jurnalistik. Bahkan Uni Eropa, sudah memasukkan syarat, bahwa jika suatu negara berkeinginan bergabung ke Uni Eropa, maka negara tersebut tidak boleh mengkriminalkan pers.


Malah negara-negara berkembang, seperti India, Srilanka, Ghana, Uganda,Kroasia, Togo, dan Republik Afrika Tengah, telah menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel) dan kabar bohong (false news) bagi karya jurnalistik yang dibuat dengan niat baik (in good faith) dan demi kepentingan umum (public interest), dan mengubahnya menjadi hukum perdata, dengan sanksi denda yang proporsional. Di saat masyarakat belahan dunia lain, berlomba-lomba membebaskan jurnalis dari segala tuntutan pidana, termasuk Timor Leste (dulu Timor Timur) yang menetapkan pasal-pasal penghinaan bukan sebagai tindak pidana, hal sebaliknya terjadi di daerah ini.


Di Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia, justru terjadi suatu kondisi yang kontraproduktif dalam sebuah iklim demokrasi, yaitu dibangunnya sistem politik kriminalisasi pers. Jika menilik perjalanan panjang lahirnya Undang Undang Pers di saat era reformasi, politik hukum yang dianut UU Pers No 40/1999 sebenarnya menolak kriminalisasi pers, dan menganut dekriminalisasi pers. Salah satu indikatornya adalah bila sebuah berita melanggar UU Pers dan Kode Etik Jurnalis, sanksinya sebenarnya sudah jelas.


Pertama, kesalahan kata-kata diselesaikan dengan kata-kata (mekanisme hak jawab). Bila media menolak melayani hak jawab, maka sesuai dengan UU Pers No 40/1999 Pasal 18 ayat 2 media didenda Rp 500 juta. Kedua, pentingnya pemanfaatan peran Dewan Pers, sesuai Pasal 15 ayat 2 yang mengatur tentang fungsi dewan pers. Pada pasal tersebut disebutkan, Dewan Pers melaksanakan fungsi: Pertama, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;


Kedua , memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Penyelesaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel. Mekanismenya jelas. Kesalahan kata-kata semestinya diselesaikan dengan kata-kata pula. Kasus Makassar Apa yang diperjuangkan jurnalis di Makassar saat ini, yang bersengketa dengan Irjen Pol Sisno Adiwinoto, mantan Kapolda Sulselbar, sebenarnya adalah upaya untuk mewujudkan Dekriminalisasi Pers atau Anti Kriminalisasi Pers. Bahasa filosofisnya, melindungi kerja jurnalis dan media dari pasal-pasal KUHP Pidana, terkait kegiatan jurnalistik. Fungsinya, agar jurnalis dan media bisa menjalankan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi. Karena itu, pers harus bebas dari segala intimidasi?bebas dari kriminalisasi-- sehingga bisa menyampaikan informasi secara jujur dan fair kepada masyarakat.Pers harus bebas melakukan fungsi kontrol namun bertanggung jawab sesuai kode etik dan UU Pers itu sendiri. Meski pada akhirnya, koordinator Koalisi Tolak Kriminalisasi Pers, dikriminalkan dan saat ini menyandang status terdakwa saat menyuarakan pentingnya semangat kebebasan, itu adalah risiko.


Dan, kami menilainya sebagai bentuk pengekangan baru dalam era reformasi. Bagaimana mungkin sebuah kebebasan berpendapat untuk menyuarakan kebebasan pers harus dibungkam dengan pasal-pasal pidana warisan kolonial Belanda. Tapi inilah faktanya. Sebuah paradoks demokrasi sedang terjadi di Makassar. Dan kita semua, harus bangkit melawan kondisi ini. Kebebasan pers yang terancam tidak bisa kita biarkan, meski jalan panjang dan berliku akan kita lewati. Bisa jadi, Makassar hanya sebuah contoh kasus, dan tidak menutup kemungkinan akan ada Makassar-Makassar baru di daerah lain. Coba kita lihat dalam rentang waktu satu tahun terakhir, lima jurnalis Makassar sudah dipanggil polisi terkait beritanya. Belum termasuk sejumlah jurnalis yang mendapat ancaman dan tindak kekerasan fisik saat liputan, dan juga intervensi pejabat publik ke ruang-ruang redaksi.


Pertama, pemanggilan Jumadi Mappanganro, wartawan Tribun Timur yang dipanggil Polsekta Tamalate, terkait berita hilangnya salah seorang bocah. Kedua, pemanggilan Erwin Bahar, Mukhlis Amans Hady, jurnalis Harian Fajar, dan Andi Amriani serta Andi Ichsan Pasinringi, wartawan Seputar Indonesia. Keempat jurnalis ini dipanggil sebagai saksi pada 12 Desember 2008, atas berita mereka tentang pernyataan Irjen Pol Sisno Adiwinoto, mantan Kapolda Sulselbar yang dimuat di koran mereka. Sabam Leo Batubara, wakil ketua Dewan Pers, dalam pertemuan dengan jurnalis di Makassar beberapa waktu lalu, malah mengingatkan akan munculnya kasus-kasus serupa di Makassar jika ini dibiarkan. Dan ini akan menjadi catatan penting bagi semua elemen demokrasi di Indonesia, Asia bahkan Dunia. Dan sangat wajar jika banyak pihak berharap Makassar bisa menjadi contoh perlawanan penegakan kebebasan pers di tanah air.


Tingginya ekspektasi Dewan Pers, bisa dimaklumi. Sebab saat ini ada kecenderungan akan semakin meningkatnya ancaman kriminalisasi pers. Ancaman itu bahkan datang dari pemerintah dan DPR. Ancaman yang patut dicermati adalah Pertama, UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) dapat memenjarakan wartawan paling lama enam tahun dan atau mendendanya paling banyak satu miliar rupiah bila informasi elektroniknya memuat penghinaan dan pencemaran nama baik. Kedua, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 51 dapat memenjarakan wartawan sebagai pengguna informasi publik paling lama setahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta.


Ketiga, UU No 44/2008 tentang Pornografi, sejumlah pasal-pasal karet berpotensi memenjarakan wartawan dan media antara enam bulan dan 12 tahun dan atau mendendanya antara Rp 250 juta hingga Rp 6 miliar.


Keempat, UU No 10/2008 tentang Pemilu, Pasal 99 ayat (1) menyatakan izin penerbitan pers bisa dicabut jika berita dan wawancara serta pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu tidak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan berimbang. Kelima, Pemerintah sedangkan merampungkan RUU KUHP, yang jumlah pasalnya meningkat dari 37 Pasal menjadi 61 Pasal yang dapat memenjarakan wartawan dan ancaman penjara dan atau dendanya lebih berat dari KUHP warisan kolonial Belanda.


Dan seperti yang sering penulis nyatakan, jurnalis boleh kalah satu kali, tapi musuh kebebasan pers akan kalah berkali-kali. Mereka mungkin bisa saja memenjarakan tubuh dan raga penulis dan pekerja jurnalis lainnya, tapi tidak dengan jiwa kami.


Mereka bisa saja meneror, merampas pekerjaan, kebahagiaan dan kebebasan kami tapi tidak dengan idealisme kami. Meminjam istilah Ketua Dewan Pers, Prof Dr Ichlasul Amal "...Dewan Pers tentu tidak dapat mencegah masyarakat atau penegak hukum yang tidak mau menggunakan mekanisme yang disediakan UU Pers. Namun sekalipun pengugat itu menang dalam proses hukum, tetap akan dicap sebagai orang yang tidak memiliki kemauan baik, sebab motif gugatannya bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk membunuh kebebasan pers dan demokrasi...". Lawan Kriminalisasi Pers. Bravo Pers Bebas!

Wednesday, January 7, 2009

10 MUHARRAM DI SULSEL DIPERINGATI DENGAN 'BUBUR SYURA'


Makassar, 7/1 (ANTARA) - Bertepatan 10 Muharram 1430 Hijriah di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Kota Makassar pada khususnya diperingati dengan pembuatan 'bubur sura' dan doa dzikir.

"Tradisi bubur syura ini sudah turun-temurun pada 10 Muharram, karena pada momen itulah merupakan hari kemenangan Islam setelah melakukan pertempuran pada zaman Rasulullah Muhammad SAW dan Khalifah Ali bin Abu Thalib," jelas salah seorang warga di Kelurahan Timungang Lompoa, Kecamatan Bontoala, Kota Makassar, Daeng Sitti, Rabu.

Menurutnya, bubur syura yang dibuat dari beras, kemudian diberi aneka lauk-pauk seperti telur, udang, ikan goreng, dan aneka buah-buahan yang dipotong-potong kecil seperti jeruk, nenas, salak dan buah delima, sebenarnya mengandung makna kebersamaan dan solidaritas dengan sesama.

"Karena seusai doa bersama, maka bubur syura tersebut dibagi-bagikan ke tetangga, utamanya bagi mereka yang kurang mampu," katanya.

Sementara itu, salah seorang warga di Kabupaten Maros, Sulsel, Daeng Tonji mengatakan, bagi yang tidak mampu membuat bubur syura dengan lauk-pauk yang lengkap, maka bisa membuat bubur syura dengan versi bubur merah putih. Artinya bubur yang dihidangkan diatas piring itu dua lapisan bubur. Lapisan pertama bubur berwarna putih, kemudian diatasnya diberi lagi bubur dengan bentuk bulat yang berwarna merah kecoklatan, karena diberi gula aren atau gula merah.

"Bubur syura merah putih ini lebih mudah pengerjaannya dan tidak perlu biaya besar," ujarnya.

Kendati bahan baku bubur syura dalam kondisi seperti ini relatif mahal, karena harga ikan cukup mahal pada musim hujan, namun sebagian besar umat Islam di Sulsel masih memegang tradisi ini, sehingga tidak pernah alpa membuat bubur syura pada 10 Muharram.

Tradisi lainnya yang masih diyakini sebagian besar umat Islam di daerah ini, lanjut Tonji, adalah membeli alat-alat dapur yang berbentuk wadah seperti wajan, baskom, ember dan sebagainya. Hal itu mengandung nilai filosofis bahwa yang membeli memiliki harapan besar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik ke depan.

"Harapan mudah mendapat rezeki, sehat dan senantiasa hidup damai," katanya.

Sedang menurut Mappong, salah seorang 'guru baca' yang biasa memimpin doa dzikir pada bulan Muharram mengatakan, inti dari peringatan 10 Muharram atau dikenal dengan 'syura' ini adalah memohon ampunan kepada Allah SWT dan meminta agar dihindarkan dari segala mara bahaya dan penyakit. (ant)

Tuesday, September 16, 2008

MAKAM PENYEBAR ISLAM DI MAKASSAR TIDAK TERURUS



Makassar, 13/9 (ANTARA) - Makam penyebar Agama Islam di Makassar kebanyakan tidak terurus, seperti Kompleks Makam Lajangiru di Kecamatan Bontoala dan Makam Sitti Habiba, Raja Bone ke-14 di Kompleks Pasar Pannampu dan makam lainnya.

"Di Kompleks Makam Lajangiru ini, terdapat lima makam besar yang bangunannya berbentuk kubah masjid, mereka yang dimakamkan di sini adalah penyiar Agama Islam ratusan tahun silam," jelas juru kunci Kompleks Makam Rajangiru, Muh. Tahir di Makassar, Rabu.

Pada lima makam tersebut, sebagian bangunannya sudah lapuk di makan usia, dindingnya berlumut dan lantainya sudah buram.
Ke lima makam itu adalah makam Ince Habib Hasan wafat 1920, Habib Muhsin wafat 1278 Hijriyah (H), Habib Assegaf, Habib Ali Sihab dan Habib Adam Muri. Sedang yang masih terurus dibanding makam lainnya adalah makam Lajangiru bersama anggota keluarga. Lajangiru adalah tuan tanah pribumi pada zaman penjajahan Belanda yang mewakafkan lahannya untuk kompleks pemakaman.

"Sebelum ditangani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sulsel, kami hanya merawat makam ini secara turun-temurun secara sukarela," ungkap Tahir didampingi Abdul Rauf yang juga mengurusi makam tersebut.

Sementara saat ini, lanjutnya, meskipun sudah ditangani Disbudpar Sulsel, namun renovasi atau pemugaran belum pernah dilakukan, hanya memberi tembok sekeliling makam saja.

Makam lainnya yang berada di sebelah kompleks makam Lajangiru, terdapat sebuah makam keturunan Timur Tengah yang juga menyebarkan Agama Islam di daerah ini, yakni makam Yusuf Afandi. Makam turunan Turki tersebut terbuat dari batu marmer putih dengan hiasan kaligrafi dan tertera tahun wafat 1335 H.
Hanya saja makam yang sangat ekslusif pada zamannya itu, juga rupanya luput dari perawatan khusus pemerintah setempat.

Kondisi makam yang tidak terurus juga terlihat pada makam Sitti Habibah yang merupakan Raja Bone yang ke-24 sekitar 150 tahun silam. Uniknya, raja ini merupakan perempuan yang berwibawah dan menjadi salah satu penyiar Agama Islam di Sulsel.

"Makam ini jarang dikunjungi orang, dan pemerintah juga tidak memperlihatkan keseriusan melestarikan cagar budaya ini," ungkap salah seorang keturunan Bugis Bone, Daeng Bulan yang tinggal di kompleks makam Sitti Habibah.

Untuk merawat makam itu, dilakukan sukarela, karena konon ada bantuan atau biaya pemeliharaan makam dari Disbudpar, namun tidak sampai ke tangannya, melainkan ke pihak lain. Namun yang diberi tanggung jawab membersihkan dan merawat makam itu tidak kunjung datang.

Menanggapi banyaknya makam menyebar Agama Islam di kota ini yang terkesan terbengkalai, Kepala Disbudpar Kota Makassar Eddy Kosasi Parawansa mengakui hal itu.

Menurutnya, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama pemugaran sejumlah cagar budaya.

"Karena itu, yang dapat dilakukan minimal tetap menjaga kebersihan makam oleh petugas penjaga makam yang telah mendapat tunjangan dari Disbudpar kota ataupun provinsi," katanya.

Mengenai tunjangan yang disebutkan itu, Tahir mengaku, ketika masih honorer hanya mendapat upah Rp45 ribu per tiga bulan, kemudian beberapa tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp400 ribu per tiga bulan, dan setelah terangkat menjadi PNS Disbudpar yang mengurusi makam cagar budaya, barulah gajinya mencapai Rp1 juta lebih.

"Dengan kondisi yang serba mahal seperti ini, gaji tersebut hanya dicukupkan saja untuk menutupi kebutuhan keluarga," ujarnya sembari mengimbuhkan, meskipun demikian, ia tetap semangat menjaga dan memelihara makam, karena profesi itu sudah turun-temurun dari kakeknya.