Oleh Suriani Mappong
Menyandang gelar
sebagai “pa’sompe” (perantau) bagi warga di tanah Bugis menjadi kebanggaan
tersendiri. Perbedaan nilai mata uang dengan negara tetangga, khususnya
Malaysia tentu menjadi impian manis bagi pa’sompe yang istilah umumnya adalah
buruh migran.
Impian itu
kemudian diperkuat ketika ada anggota keluarga, tetangga ataupun kerabat yang
kembali ke kampung halaman dengan membawa kesuksesan yang terjabar dari materi
yang berhasil dikumpulkan, maupun gaya hidup yang lebih “wah”.
“Kalau selama
ini, hidup kami pas-pasan saja, tentu kami ingin mendapat lebih agar bisa hidup
lebih sejahtera dan bisa ke tanah suci,” kata salah seorang warga Desa Mallari,
Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Sab’ina (38).
Karena itulah,
suaminya Ridwan (40) pun merantau ke negeri Jiran Malaysia dengan harapan dapat
mengubah nasib, meskipun harus meninggalkan isteri dan kedua anaknya yang masih
duduk di bangku sekolah dasar.
Menurut perempuan
yang aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan di Kantor Desa Mallari ini, karena
suaminya hanya terbiasa melaut mencari ikan, maka pekerjaan yang digelutinya di
negara tetangga juga sebagai nelayan dalam satu tahun terakhir.
Sementara warga
lainnya, Hj Nurjannah mengaku sudah sekitar 15 tahun ditinggalkan suami H Muh
Arif untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia. Sebelumnya
pernah ikut merantau bersama suami di Malaysia, namun akhirnya pulang kampung
untuk menyekolahkan keempat anaknya.
Untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, dengan mengadalkan kiriman dari suami tidaklah cukup,
karena bisa saja kiriman belum tiba sementara kebutuhan konsumsi atau sekolah
anak sudah mendesak. Hal itulah yang
pernah dialami Nurjannah, sehingga memutuskan untuk membudidayakan rumput laut
di pesisir pantai, tak jauh dari rumahnya.
“Dalam
membudidayakan rumput laut, saya membutuhkan dana Rp1,5 juta untuk membeli
bibit rumput laut dan tali. Ditengah kebingungan mencari modal, untunglah Bu
Sab’ina memberikan informasi jika Credit Union (CU) Pammase yang dibina Lembaga
Pemberdayaan Perempuan (LPP) Kabupaten Bone dapat meminjamkan kredit modal
usaha,” katanya.
Tanpa melalui
prosedur yang panjang dan agunan, kebutuhan dana itupun akhir tertutupi dan
bididaya rumput lautnya mulai
berkembang. Dari hasil penjualan rumput laut yang umumnya dibeli oleh pedagang
pengumpul seharga Rp15 ribu per kilogram, selanjutnya sebagian dari penjualan
rumput laut itu digunakan membayar cicilan kredit Rp142 ribu per bulan selama 12 bulan.
Mirip dengan
kisah Hj Nurjannah, warga Mallari lainnya yakni Hj Syamsidar juga sempat
merantau ke Malaysia dan menjadi buruh mirgran, namun dua tahun lalu memilih
kembali ke kampungnya untuk menyekolahkan anak dan menjadi “single parent”,
karena suaminya masih bertahan di Malaysia dalam 20 tahun terakhir. Kini, dua
dari tiga anaknya sudah duduk di perguruan tinggi, yang tertua menuntut ilmu di
Akademi Pelayaran Barombong, Makassar dan anak keduanya di STAIN, Bone.
Hal serupa juga
dialami Hj Mardiati yang harus rela berpisah dengan suaminya, Alimuddin yang
bekerja di pelabuhan ataupun di pabrik kilang, Malaysia dalam kurun waktu 20
tahun. Begitupun Rosmiati yang harus menanggung beban keluarga dan
menyekolahkan ketiga orang anaknya.
“Untuk membatu
biaya pelengkapan sekolah anak, saya pinjam ke CU Pammase Rp2 juta dan kemudian
membayar cicilan itu dari hasil upah budidaya rumput laut milik saudara,”
katanya.
Sementara Hj
Nursidah mengaku, meskipun belum pernah meminjam ke CU Pammase, namun manfaat
yang diperolehnya sangat banyak sebagai anggota koperasi itu. Alasannya, selain
dapat mengajak untuk gemar menabung, juga membantu menerima kiriman dari
suaminya di luar negeri melalui program “Delima”.
Manfaat lainnya,
anggota CU Pammase baik senior maupun yunior akan mendapatkan santunan
kematiaan (Soka). Cukup membayar iuran Rp20 ribu per tahun, ahli waris
mendapatkan santunan Rp1 juta. Khusus santunan rawat inap, iurannya Rp50 ribu
dalam 10 hari dalam setahun.
Hal tersebut
dibenarkan Kepala Desa Mallari A Wahyuli, Spd. yang memimpin lima dusun di
wilayah kerjanya. Menurut dia, dari sekitar 650 kepala keluarga (KK) sebagian
besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.
“Kelompok
perempuan atau ibu-ibu juga turut bertani, baik padi maupun rumput laut,
disesuaikan dengan musimnya saja. Khusus perempuan buruh migran, sekembalinya
di kampung mereka memilih membudidayakan rumput laut, baik diusahakan sendiri
maupun hanya sebagai buruh upahan,” katanya.
Keberadaan LPP
dengan CU Pammase ini, diakui sangat membantu pemberdayaan perempuan di
desanya, khususnya dari sisi peningkatan ekonomi keluarga yang berdampak pada
upaya mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan anak usia
sekolah.
Membangun Kesadaran
Bangunan
sederhana tipe 36 di BTN Sodang’e Nomor 4, Kecamatan Tanete Riattang,
Watampone, Kabupaten Bone, Sulsel menjadi wadah untuk membangun kesadaran para
buruh migran, sekaligus melindungi buruh migran di “Bumi Arupalakka”.
Di tempat itulah
CU Pammase yang berbadan Hukum dididirikan setelah mengantongi Akta Notaris No.
14 tanggal 18 Agustus 2011. Secara struktural organisasi, koperasi simpan
pinjam ini terhubung dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D)
Makassar yang selanjutnya berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Indonesia (BK3I) di Jakarta.
Kemudian BK3I
tergabung dalam ASIAN Confederation of Credit Union (ACCU) yang berpusat di
Bangkok dan didirikan pada 1969. Kemudian ACCU berada dibawah jaringan World
Council of Credit Union (WOCCU) yang berpusat di WINCOUNSIL, Amerika Serikat
dan berdiri pada 20 Oktober 1948.
“Kehadiran CU
Pammase ini, berangkat dari keinginan membantu para mantan atau yang masih
aktif sebagai buruh migran untuk menyelamatkan kiriman uangnya dari luar
negeri,” kata Dewan Pendiri/Pembina LPP Bone Asia A Pananrangi.
Kiriman uang
lewat calo, teman ataupun kerabat buruh migran, kerap tidak sampai ke tangan
keluarga penitip, sehingga pengelola LPP menginisiasi membentuk CU Pammase yang
diprioritaskan untuk para buruh migran setelah melakukan identifikasi masalah
pada kantong-kantong buruh migran di Kabupaten Bone.
Menurut Asia,
target pertama dari pembentukan koperasi itu pada 2011 adalah menekan praktik
penipuan pada “pejuang devisa”. Melalui kredit mikro itu, dapat memfasilitasi
buruh migran atau keluarga mantan buruh migran dalam mengirim dan menerima
uang, termasuk dapat meminjam jika membutuhkan dana, baik untuk kebutuhan
keluarga, kebutuhan sekolah maupun modal usaha.
Khusus mengenai
persoalan buruh migran di Bone yang ditaksir hampir separuh dari sekitar 600
ribu jiwa penduduknya merantau ke luar negeri, wakil ketua DPRD Kabupaten Bone
ini mengatakan, pemerintah daerah sulit mengindentifikasi, karena sebagian
berangkat dengan alasan hanya akan ke Nunukan, Kalimantan.
“Dari lokasi
itulah kemudian mereka lewat “samping” masuk ke Malaysia tanpa dokumen resmi
dan hanya main kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.
Asia mengatakan,
dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan terhadap mantan buruh
migran diketahui, sebagian besar tidak memiliki dokumen resmi untuk mejadi
tenaga kerja di luar negeri, karena tidak memiliki dana untuk mengurus dokumen
melalui calo atau orang tertentu. Sementara untuk mengurus sendiri mereka tidak
tahu mekanismenya.
Menyikapi kondisi
itu, LPP Bone bersama mitranya yakni Maju Perempuan Indonesia (MAMPU) –
BaKTI mencoba menjembatani dengan
mengadakan diskusi rutin mempertemukan konstituen dengan Satuan Perangkat Kerja
Daerah (SKPD) terkait serta pihak legislator selaku pembuat legislasi.
Mengenai hal itu
dibenarkan Program Manager MAMPU – BaKTI Lusia Palulungan yang didampingi
Program Officernya Junardi Jufri. Upaya itu diakui telah didorong mulai dari
tingkat desa, kemudian membentuk Forum Kecamatan untuk mendiskusikan masalah di
lapangan bersama perwakilan rakyat di masing-masing daerah pemilihan.
“Juga intens
mendiskusikan lima tema yang diusung MAMPU yakni membuka akses perempuan miskin
pada program perlindungan sosial, akses pekerjaan dan menghapus diskriminasi di
tempat kerja,” kata Lusia.
Selain itu,
meningkatkan kondisi tenaga kerja perempuan ke luar negeri, juga meningkatan
kepemimpinan perempuan untuk kesehatan reproduksi yang lebih baik dan
mengurangi kekerasan terhadap perempuan.
“Jadi melalui
forum itu, masalah yang dihadapi konstituen dapat disampaikan langsung ke pihak
legislator, sebalikya legislator juga dapat menyosialisasikan hal yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan masyarakat,” katanya.
Dengan demikian,
melalui program kemitraan dengan semua “stakeholder” itu diharapkan, akan
terbangun kesadaran masyarakat untuk lebih memberdayakan diri dan tidak mudah
diiming-imingi dengan kehidupan materi yang belum tentu benar dalam proses
pencapainnya.
Karena itu, bagi
buruh migran maupun mantan buruh migran hendaknya dapat merenungkan pepatah
kuno yang menyebutkan, “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri
sendiri, masih lebih baik di negeri sendiri.” Hanya saja, pepatah itu masih
perlu disempurnakan, bahwa hujan batu di negeri sendiri harus dapat diubah
menjadi hujan emas dengan giat berusaha dan mampu bersinergi dengan pihak lain. CU Pammase
No comments:
Post a Comment