Monday, July 16, 2007

GELIAT MAKASSAR DALAM EMPAT ABAD

Makassar, 11/7 (ANTARA) - Kota Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan pada 9 November 2007 nanti akan genap berusia 400 tahun.

Dalam perjalanan sejarah selama empat abad itu, kota terbesar di Kawasan Timur Indonesia ini telah mengalami puncak-puncak kejayaan dan 'pasang-surut' dalam kehidupan masyarakatnya. Sejarah Kota Makassar sendiri berawal ketika muara Sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecilnya menjadi salah satu bandar yang diperhitungkan di dunia pada penghujung abad XV. Saat itu, wilayah Bandar Makassar berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang di sekitar Kabupaten Pangkep. Namun pada awal abad XVI melepaskan diri dan berada dalam wilayah Kerajaan Gowa-Tallo.

Dalam perkembangannya, Bandar Makassar kemudian dipindahkan ke muara Sungai Jeneberang dan di sekitar lokasi itu kemudian dibangun Benteng Somba Opu. Hanya dalam seabad saja, inti Kota Makassar yang berpenduduk sekitar 100.000 jiwa saat itu berkembang menjadi kota niaga dan akhirnya menjadi pusat utama jaringan perdagangan internasional di kawasan Timur pasca jaringan perdagangan di Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511.

Ketika Malaka diambil alih oleh Kompeni Dagang Belanda (VOC), penjajah asal Portugis pun berpindah ke Makassar. Sejak saat itu hingga menjelang pertengahan abad XVII, terjadi perlawanan hebat dari raja-raja di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Makassar (Kerajaaan Gowa) pada khususnya, hingga akhirnya tentara Portugis berhasil diusir, namun kemudian penjajah baru masuk ke Makassar yang berasal dari Belanda.

Bersamaan dengan itu, hubungan Makassar dengan dunia Islam pun mulai terbangun yang dirintis Raja Gowa XIV I-Mangngarangi Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin (memerintah 1593-1639), setelah diislamkan oleh Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau yang tiba di Tallo pada September 1605.

Selain mengislamkan Sultan Alauddin, Dato' Ri Bandang juga mengislamkan Raja Tallo I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka. Kedua raja inilah yang menjadi pemeluk agama Islam pertama di Sulsel. Bertepatan pada hari Jumat, 9 November 1607 dilaksanakanlah salat Jumat dan kemudian kedua raja menyatakan bahwa agama Islam adalah agama resmi bagi penduduk di kedua kerajaan itu.

Pelaksanaan salat Jumat itu bersamaan dengan salat Jumat yang digelar di Masjid Mangallekana di Somba Opu dan momen itulah yang kemudian dijadikan landasan peringatan Hari Jadi Kota Makassar sejak tahun 2000.

Proses Panjang
Pasca masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Agama Islam, Bandar Makassar berubah menjadi pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Ini dibuktikan dengan banyaknya koleksi buku dan peta terkumpul di Makassar.

Salah satu bukti sejarah adalah karangan buku La Galigo yang terkenal di seluruh dunia dan dapat melampaui karangan buku Mahabaratha. Kondisi seperti itu pada zamanya di Eropa masih sangat langka.

Sementara upaya untuk terus memperluas kekuasaan dan menguasai perdagangan saat itu, menyebabkan raja-raja Gowa-Tallo bersinggungan dengan VOC dan terjadilah pertempuran sengit.

Dengan taktik devide et empera (politik pecah belah) yang dijalan VOC, akhirnya tentara kolonial itu pada tahun 1669 berhasil meratakan Kota Makassar dan benteng terbesarnya yakni Benteng Somba Opu.
Seiring dengan kekalahan itu, waktu terus berjalan dan pada akhir abad XVIII, Pemerintah Kolonial Belanda jatuh bangkrut, sehingga melepaskan Makassar dan menjadikan bandarnya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Para pedagang dan raja-raja di Makassar mencoba bangkit kembali dan akhirnya pada abad XIX kota ini menjadi bandar internasional serta mendapat julukan "Kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" oleh Joseph Conrad, penulis Inggris-Polandia.

Menghirup udara bebas itu, tidak lama dinikmati masyarakat di Makassar, karena diawal abad XX Belanda kembali berhasil menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, dan menjadikan Makassar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Indonesia Timur.

Dalam penguasaan pemerintahan Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad itu, selain penduduk Makassar terus bertambah menjadi tiga kali lipat dari dua abad sebelumnya, wilayahnya pun semakin di perluas.

Tepat tahun 1906 Makassar kemudian dideklarasikan menjadi Kota Madya. Kemudian pasca kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1949 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di kota ini. Setahun kemudian Makassar dijadikan sebagai Ibukota Provinsi Sulsel.

Kini, Kota Makassar yang memiliki luas 175,77 kilometer persegi dengan 14 kecamatan dan 143 kelurahan, sudah memiliki penduduk sebanyak 1,3 juta jiwa.

"Kota Makassar merupakan satu wilayah tujuan investasi yang sangat menjanjikan," ungkap H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sembari menambahkan, pendapatan per kapita penduduknya rata-rata USD 1.729 (2006), jauh lebih tinggi dari per kapita nasional sebesar USD 1.600.

Kondisi tersebut diperkuat dengan laju pertumbuhan ekonomi Makassar yang mencapai 9 hingga 10 persen, meski laju investasinya masih dibawah 6 persen.

"Dengan indikator ekonomi seperti itu, Makassar jelas memiliki keunggulan yang menjanjikan bagi investor," tandasnya sembari menambahkan, karena itu Kantor Perwakilan Pemkot Makassar telah dibuka di Mess Pemkot Makassar, Jalan Kramat Kwitang I H nomor 7 Jakarta Pusat baru-baru ini.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan investor dengan sistem pelayanan Pemkot Makassar. Pasalnya, di tempat itu tersedia informasi, data dan tata cara menanamkan investasi di Kota Makassar, tanpa perlu datang langsung ke kota yang berjulukan kota "anging mammiri" ini.

Upaya itu adalah salah satu cara agar Kota Makassar masih terus bergeliat dan kembali meraih kejayaannya sebagai kota bandar niaga internasional dan pusat pelayanan Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti yang telah diraih pada empat abad yang lalu. Jadi 'Living Room' Dalam masa pemerintahan duet Ilham Arief Sirajuddin - Andi Herry Iskandar, keduanya bertekad mengembalikan kejayaan Kota Makassar pada masa lampau sebagai kota internasional dan kota perdagangan.

"Kita ingin membuat Kota Makassar bukan hanya sebagai pintu gerbang Indonesia timur, tetapi lebih dari itu, yakni sebagai ruang keluarga atau 'living room' Indonesia timur dalam hal bisnis dan perdagangan," jelas Ilham.

Menurutnya, kalau hanya sekadar 'gate' (pintu gerbang), itu percuma saja, karena Makassar hanya dijadikan tempat persinggahan. Berbeda jika dapat menjadi living room. Karena orang atau investor bisa berlama-lama tinggal di Makassar.

Untuk mencapai obsesi itu, walikota beserta perangkatnya, melakukan revitalisasi Pantai Losari yang mengangkat tema "save our Losari" sebagai ruang publik. Selain itu, gencar melakukan kampanye baik dalam dan luar negeri untuk menarik investor menanamkan investasi di kota ini. Termasuk membangun sarana dan prasarana yang dapat mendukung penanaman investasi, di antaranya memperlebar akses jalan raya, menata kawasan kumuh khususnya di Kecamatan Mariso, mengembangkan usaha retail dan berbagai akses pelayanan publik.

Khusus untuk mendukung akses pelayanan publik, Pemkot Makassar siap menggunakan sistem electronic-goverment (E-Goverment) melalui bantuan investor asal Korea. Sehingga ke depan basis pemerintahan dengan sistem Information, Communcination and Technology (ICT) bisa diterapkan di segala lini, dan tentunya akan memperluas akses informasi Pemkot Makassar baik di dalam maupun luar negeri, guna menarik para calon investor.

Selaku nakhoda Pemkot Makassar, walikota pun dengan partnernya memiliki pekerjaan rumah (PR) sebagai implikasi yang ditinggalkan walikota sebelumnya. Untuk masalah lingkungan misalnya, ancaman banjir, berkurangnya ruang terbuka untuk publik, dan menjamurnya rumah-rumah toko (Ruko) menjadi persoalan sendiri yang perlu diselasaikan. Bencana banjir merupakan ancaman terbesar Kota Makassar dari tahun ke tahun yang dipicu tata kota dan pemanfaatan ruang yang menyalahi ketentuan lingkungan.

Semua itu harus dibenahi, karena promosi besar-besaran tanpa dibarengi perbaikan tata ruang kota dan penyelamatan lingkungan hidup, tentu akan menyulitkan Pemkot Makassar mendapatkan investor. Pasalnya, investor yang jeli dan memiliki 'sense of invironmental' (peduli lingkungan) akan menjadikan hal itu sebagai indikator sebelum menanamkan modalnya, selain indikator pelayanan investasi yang tidak birokratis dan berbelit-belit.

HPP BARU MASIH BERLAKU DI ATAS KERTAS

Makassar, 7/4 (ANTARA) - Di penghujung April 2007, pemerintah menerbitkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang baru untuk membeli produksi petani. Kebijakan tersebut diharapkan dapat dinikmati oleh petani, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang mayoritas hidup dari lahan pertanian. Namun kenyataannya, HPP baru masih berlaku di atas kertas, belum sampai ke petani.
Setidaknya itulah yang terjadi di daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dikenal sebagai daerah penyanggah pangan nasional. Dengan jumlah penduduk sekitar 8 juta jiwa yang 70 persen di antaranya hidup dari sektor pertanian, HPP baru yang ditetapkan pemerintah, bukan jamin sebagai kabar gembira bagi mereka.
Daeng Ali, salah seorang warga Barandasi, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros Ilyas misalnya, hasil panennya pada musim rendeng ini hanya dibeli oleh pihak penggilingan (mitra Bulog) seharga Rp1.750 per kilogram (kg) untuk Gabah Kering Panen (GKP). Padahal harga GKP dalam HPP yang baru Rp2.000 per kg.
Harga tersebut emang sudah diatas GKP HHP lama yakni Rp1.730 per kilogram, namun masih sangat jauh dari HPP yang baru. Hal serupa juga diakui Nurdin, petani asal Kabupaten Pangkep. Menurutnya, harga sarana produksi (Saprodi) jauh lebih awal naik sebelum ada HPP baru dari pemerintah. Sehingga kenaikan HPP sekitar 17 persen itu tidak memiliki arti di kalangan petani.
"Biaya yang kami keluarkan sebelum memasuki panen jauh lebih banyak. Karena harga pupuk ataupun racun hama rata-rata naik sekitar Rp500 hingga Rp1.000, sementara kenaikan harga dari pemerintah hanya naik sekitar Rp300," katanya.
Kondisi yang dialami petani di dua kabupaten itu, tidak jauh beda dengan petani lainnya di Sulsel. Mereka mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sementara hasil panen yang diperoleh tidak berimbang. Bahkan lebih banyak apesnya. Namun tidak ada pilihan lain selain menjadi petani yang sudah digeluti secara turun-temurun.
"Untuk biaya pengarapan satu petak tanah seluas satu hektar misalnya, harus mengeluarkan biaya traktor sekitar Rp500 ribu, ditambah biaya pupuk yang juga ratusan ribu," katanya memaparkan untuk pupuk Urea semula masih Rp55 ribu per zak (50 kg), kini Rp60 per zak. Sedang pupuk TSP Rp75 ribu per zak naik menjadi Rp80 ribu per zak, SP36 dari Rp75 ribu per zak menjadi Rp77.500 per zak. Untuk racun serangga jenis Puradan ditebus dengan harga Rp18 ribu per dua kilogram.
Selain tingginya harga Saprodi yang dikeluhkan para petani, produksi petani pun banyak tergantung dari kondisi cuaca. Musim panen raya periode April 2007 ini, produksi petani kurang optimal, karena banyak gabah yang hampa yang dipicu oleh curah hujan yang tidak menentu.
"Menjelang panen, padi kami diguyur hujan, jadi bulir padinya agak hitam dan banyak juga yang tidak berisi (hampa)," tutur Sago, salah seorang petani di Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros.
Akibat dari kondisi tersebut, lanjutnya, kalau sepetak tanah biasanya menghasilkan rata-rata hingga 10 karung (100 kg) gabah, kini hanya sekitar enam karung gabah saja.

Pemangkasan Mekanisme
Menyikapi belum sepenuhnya HPP baru dapat dinikmati petani, Prof DR Halide, SE, Guru Besar Universitas Hasanuddin mengatakan, pemerintah harus melakukan pemangkasan mekanisme pembelian produksi petani. Selain itu memberikan fasilitas pendukung bagi petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya.
"Kalau mekanismenya masih panjang, artinya masih melalui perantara atau mitra, harga di tingkat petani masih bisa dipermaikan oleh si perantara itu," jelasnya.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga harus memberi peluang pada pihak usaha kecil seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau penggilingan kecil untuk turut membeli, sehingga pembelian gabah petani tidak hanya dikuasai oleh penggilingan berskala besar atau kontraktor yang bermodal besar.
Hal tersebut dinilai penting, untuk pemerataan penyerapan produksi petani, selain mengingat keterbatasan penyerapan dari pihak Bulog sendiri.
Ketidakmampuan bersaing menyerap produksi petani itu, diakui Baharuddin, Manajer KUD Allepolea Kabupaten Maros. Menurutnya, pihak Bulog hanya memberikan peluang bagi mitra yang memiliki penggilingan berkapasitan satu ton per jam dan memiliki dana segar sekitar Rp300 juta.
"Sementara KUD kami hanya memiliki penggilingan dengan kapasitas 500 kg per jam atau setengah dari yang dipersyarakatkan, otomatis tidak bisa menjadi mitra Bulog dalam membeli produksi petani," katanya seraya menambahkan, dari segi dana segarpun KUD yang dipimpinnya tidak mampu bersaing.
Akibat dari hal tersebut, lanjutnya, pihaknya hanya membeli seusai dengan kemampuan dan mengikuti harga pasar. Artinya, pada saat panen dengan produksi melimpah, pembelian gabah akan jatuh dan akan sangat jauh dari HPP. Sedangkan pada saat pertengahan musim tanah, produksi kurang, otomatis harga pembelian akan naik, bahkan dapat melebihi HPP yang ada.
Menanggapi kondisi tersebut di lapangan, Kepala seksi Tata usaha dan umum Bulog Divre VII Sulsel Muh Razak Djabbar mewakili Kadivre mengatakan, pihaknya hanya membeli produksi petani seusai dengan budget kucuran dana dari Bulog pusat atau yang dialokasikan dalam APBN.
"Kami memiliki keterbatasan dalam pembelian produksi, sehingga produksi petani tidak semuanya dapat terserap. Namun yang jelas, pada saat panen raya atau harga turun, kami akan tampil untuk membeli dengan harga yang pantas," ujarnya sembari menambahkan, namun pada saat produksi berkurang, petani dapat menikmati harga penjualannya, karena akan terkait dengan hukum pasar.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Maros, H. Burhanuddin mengemukakan, pada saat panen raya pihaknya menganjurkan kepada petani untuk menyimpan sebagian produksinya.
Sehingga masih ada kesempatan untuk mendaopatkan harga yang lebih baik pada saat pasca panen atau produksi tidak melimpah lagi.
"Namun kita juga memahami, banyak kebutuhan petani yang harus ditutupi. Termasuk menyiapkan dana saprodi untuk musim panen berikutnya," ujar Kepala Dinas yang wilayah kerjanya meliputi sekitar 25.225,05 ha lahan sawah yang tersebar pada 14 kecamatan di Kabupaten Maros ini.