Thursday, May 24, 2007

SAMPAH DI MAKASSAR SUDAH JADI UANG

Makassar, 14/4 (ANTARA) - Dulu sampah dipandang sebelah mata, karena dianggap barang tak berguna. Kini sampah di Kota Makassar sudah memiliki nilai dan bisa menghasilkan uang.
Setidaknya itulah yang terjadi pasca kehadiran PT Original Organic Recovery Group Indonesia (ORGI) yang mengelola sampah Kota Makassar menjadi pupuk kompos sejak tahun 2000 lalu.
Timbunan sampah selama bertahun-tahun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang di Makassar, telah dapat diolah menjadi pupuk kompos yang dapat digunakan di sektor pertanian, perikanan dan pertambangan.
"Daur ulang sampah ini, turut membantu program Makassar bersih, sekaligus memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitar pengelolaan sampah tersebut," ungkap H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar yang telah memberikan perpanjangan izin bagi perusahaan yang tercatat di Indonesia, Makassar menjadi daerah pertama memiliki pabrik olahan sampah.
Kontrak karya PT Orgi dengan Pemkot Makassar, menurut Direktur PT Orgi Sukardy, awalnya hanya sepanjang 2000-2015, namun setelah melihat perkembangannya beberapa tahun terakhir, akhirnya disepakati memperpanjang kerjasama tersebut hingga 2026.
Sementara itu, Emi Widayani, National Business Manager PT ORGI mengimbuhkan, cabang perusahaan pertambangan asal Australia ini, memiliki kemampuan produksi pupuk organik atau kompos rata-rata 100 ton per hari atau sekitar 1.000 ton per bulan dalam kondisi normal (kemarau). Namun jika musim penghujan, produksi cenderung menurun, karena kesulitan mengolah bahan baku yang basah yang berumur tiga hingga lima tahun.
"Selain itu, biaya mengeringkan bahan baku juga jauh lebih mahal dari pada produksinya," katanya sembari menambahkan, investasi awal pada saat pendirian pabrik yang mempekerjakan 22 orang karyawan itu, sekitar Rp4 miliar.
Keberadaan PT Orgi dalam kurun enam tahun terakhir, telah memberdayakan masyarakat lokal untuk mengoperasikan dua mesin pengolah yang diimpor dari Amerika dengan kapasitas 100 ton per hari. Produksi pupuk organik yang dihasilkan selama ini telah dikirim ke daerah Sulbar, Sulteng dan Perusahaan Tambang PT Inco, Tbk.
Pabrik ini juga menerapkan sistem pengolahan yang ramah lingkungan. Artinya, ORGI tidak mengambil atau mencari lahan baru untuk kemudian mendatangkan sampahnya seperti kasus Bojong di Bogor.
"ORGI-lah yang 'mendatangi' TPA, sementara kawah dari hasil galian bahan baku yang sudah tertimbun bertahun-tahun akan menjadi lokasi penimbunan sampah yang baru sehingga tidak perlu mencari lokasi untuk TPA baru sehingga para pemulung yang beraktivitas setiap hari di lokasi itu tidak perlu kehilangan lahan mencari hidup," ujarnya.
Mengenai nilai jual kompos yang dihasilkan PT Orgi, Emi mengatakan, kompos ini dijual lebih murah dibanding pupuk kimia. Sebagai perbandingan jika pupuk urea ditebus petani seharga Rp1.500 - Rp2.000 per kilogram, maka pupuk kompos ini jauh lebih murah yakni hanya sekitar Rp500 per kilogram.
Kebijakan harga murah ini dimaksudkan untuk membantu para petani, peternak dan pengelola pertambangan untuk membeli pupuk yang ramah lingkungan. Sementara dari sisi perusahaan sendiri, harga jual itu belum mampu menutupi biaya investasi yang ditanamkan.
"Namun kita optimistis usaha ini suatu saat akan mendatangkan keuntungan jika produksi telah berkesinambungan dan pasarnya makin meluas," ujarnya.

Saling Dukung

Pengelolaan sampah yang semakin berkembang, diharapkan dapat saling mendukung dengan penciptaan imej Kota Makassar sebagai kota yang bersih.
"Apalagi ke depan, setelah produksi pupuk organik ini berkembang, akan ditingkatkan lagi untuk mengolah sampah plastik dan gas metal dari sampah-sampah buangan," ungkap walikota menanggapi sinergitas kerjasama PT Orgi dan Pemkot Makassar.
Untuk membantu kelancaran suplai bahan baku yang akan ditimbun sekian tahun, selanjutnya dijadikan pupuk kompos, ia mengatakan, Pemkot melalui Dinas Dinas Lingkungan Hidup (LH) dan Keindahan Pemkot Makassar menyiapkan 117 armada angkutan sampah dan 186 kontainer sampah di Makassar.
"Fasilitas ini juga akan digunakan pada saat peringatan Program Makassar Bersih yang ketiga tahun pada 15 Mei mendatang, sekaligus menjai momen rangkaian peringatan keempat abad Kota Makassar," jelasnya sembari menambahkan, sedikitnya sekitar 4.000 warga akan turun bersama aparat pemerintah pada saat itu.
Menyikapi gencarnya Pemkot mewujudkan target program Makassar bersih itu, Rahman salah seorang pemulung di TPA Antang yang lebih akrab disapa Aco mengatakan, upaya pemerintah itu sangat baik, karena sejumlah pemulung dapat diserap bekerja di perusahaan yang juga mengolah sampah.
"Jadi kami tidak asing dengan pekerjaan itu, karena memang selama ini kami bergelut dengan sampah," katanya sembari menambahkan, sampah baginya sangat berarti karena bisa mendatangkan uang untuk menyambung hidup.
Sebagai karyawan, ia mengaku mendapat penghasilan diatas Upaha Minimum Provinsi (UMP) dengan mengantongi Rp750 ribu per bulan. Di sisi lain, waktu-waktu senggangnya masih dapat digunakan untuk memulung sampah-sampah yang bisa didaur ulang, misalnya plastik dan karton yang dapat menghasilkan yang Rp20 ribu per hari.

Wednesday, May 23, 2007

GNRHL DI SULSEL MASIH SEBATAS HARAPAN

Makassar, 22/5 (ANTARA) - Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan sejak tahun 2003, hingga kini pencapaiannya masih sebatas harapan.
Kondisi hutan sebagai kawasan penyangga air dan pencegah bencana alam, hingga saat ini masih dibayangi degradasi dan eksploitasi besar-besaran, sehingga tidak mampu mengimbangi GNRHL yang berjalan seperti siput.
"Semua itu terjadi karena kebijakan pemerintah terkait elayanan terhadap investasi dan modal untuk mengeksploatasi hutan, lebih besar ketimbang pelayanan dan pemeliharaan terhadap alam," ungkap Indah Pattinaware, salah seorang aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulsel.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulsel diketahui bahwa luas kawasan hutan di daerah ini mencapai 2.121.948 hektare atau 46,54 persen dari luas daratannya. Dari hasil penafsiran citra landsat, sebanyak 30,6 persen dari luas kawasan hutan tersebut mengalami degradasi (kritis).
Buruknya pengelolaan hutan ini telah mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di Sinjai tahun 2006.

Sekaitan dengan hal tersebut, Indah menilai, bencana pada setiap musim hujan berupa banjir dan longsor selalu menanti. Sedang pada musim kemarau, kekeringan, krisis air, kebakaran hutan dan lahan serta gagal panen selalu menjadi 'paket bencana' setiap tahun.
Menurut cacatan WALHI Sulsel, di pesisir Sulawesi Selatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir, bencana banjir bandang dan abrasi pantai semakin menjadi-jadi. Salah satu contoh kasus pada Juni 2006 lalu, empat kabupaten di Sulsel yakni Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto dihantar banjir bandang yang menyebabkan lebih dari 200 nyawa penduduk melayang.
“Persoalan ini merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut,” ujar Indah sembari menambahkan, ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan, dan energi.
Untuk air, di Makassar, lanjutnya, kebutuhan urgen ini sudah sulit diakses masyarakat. Rusaknya ekosistem di hulu Sungai Jeneberang berakibat kualitas air menjadi menurun.
Sementara di sektor pangan, di daerah yang menyandang predikat 'lumbung pangan' ini, masih ditemukan kasus kelaparan dan kekurangan gizi. Implikasi lainnya, petani tidak lagi makan beras berkualitas, nelayan tidak lagi makan ikan segar, dan buruh tidak lagi bekerja di lingkungan yang sehat.
"Semua ini merupakan bukti nyata dari bencana ekologis,” tandasnya.
Sementara itu, Ir Bacrianto, aktivis lingkungan yang juga adalah dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, setidaknya ada tiga langkah utama untuk mengantisipasi bencana ekologis di Sulsel.
Pertama, aktivitas konkrit dan mengembangkan budaya cinta lingkungan (enviromentalist) dari kelompok masyarakat terkecil agar terhindar dari bencana ekologis.
Sedang langkah kedua, dengan membangun kesadaran kritis masyarakat (critical mass) untuk bersama-sama mengarifi ekologi yang ada di sekitar manusia.
"Langkah terakhir adalah mempromosikan pendekatan bioregion sebagai prasyarat perubahan paradigma yang utama," katanya.
Konsep bioregion adalah suatu konsep yang tak lagi berciri satu wilayah, melainkan keseluruhan wilayah dalam perspektif ekologis. Misalnya, bencana di Sulawesi Selatan tidak hanya menjadi persoalan di Sulsel, melainkan menjadi problem di Pulau Sulawesi.

Banyak pintu

Kurang optimalnya pelaksanaan GNRHL di Sulsel dinilai karena terlalu banyak pintu yang menangani upaya merehabilitasi hutan dan lahan kritis di daerah ini.
Kepala Dinas Kehutanan Sulsel, A Idris Syukur mengemukakan, pengelolaan dan pendanaan GNRHL ini tidak satu pintu tetapi ada sejumlah instansi terkait yang terliabt di dalamnya.
Sebagai contoh, pada tahun 2006, Sulsel menerima dana GNRHL sebanyak Rp167 miliar lebih untuk 23 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut hanya sekitar Rp2,8 miliar yang dikelola Dinas Kehutanan Sulsel untuk empat program kegiatan dan sel;ebihnya tersebar di departemen, dinas dan lembaga lainnya.
"Keempat program kegiatan itu tercakup di dalam kegiatan pembangunan tanaman pada poros jalan Makassar menuju Parepare sepanjang 50 kilo meter," jelasnya.
Menyikapi banyaknya pihak yang menangani pengelolaan dan pengamanan hutan di daerah ini, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Taufik Kosaming mengatakan, semestinya harapan yang diinginkan lebih mudah tercapai.
Namun kenyataannya, program pengelolaan, rehabilitasi dan pengamanan hutan itu yang ditangani instansi lain selain Dinas Kehutanan, justeru saling berharap satu sama lain.
Di sisi lain, program yang ada saling tumpang-tindih dan akhirnya dana-dana yang dikucurkan untuk GNRHL dan yang terkait dengan persoalan penangan hutan pun menjadi bias bahkan tidak berbekas kemana 'larinya'.
"Sementara hasilnya sungguh tidak sesuai dengan program yang tertulis rapi di atas kertas," ujarnya sembari menambahkan, karena itu pemerintah pusat hingga daerah harus bersama-sama menyatukan muara program GNRHL itu sehingga kelemahan program GNRHL yang sudah berjalan selama lima tahun ini tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. (ant)

Friday, May 18, 2007

BULOG DALAM TANTANGAN SERBA KOMPLEKS

Makassar -- Momentum bulan Mei merupakan kalender yang spesial untuk Badan Usaha Logistik (Bulog), karena selain memperingati hari jadi yang jatuh pada tanggal 10 Mei, juga bulan itu adalah penutupan dari puncak panen raya di tanah air.
Dengan status Bulog yang empat tahun terakhir telah menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2003, Dirut Bulog Mustafa Abubakar dalam kunjungannya di Makassar menekankan kepada jajarannya untuk mengemban dua amanah sebagai fungsi logistik.
"Di sayap kanan kita mengemban fungsi sosial, yakni menstabilkan harga beras di pasaran, melakukan Operasi Pasar (OP), mengadakan beras untuk masyarakat Miskin (Raskin) dan menyiapkan logistik untuk bencana alam," ujar putra berdarah Aceh ini.
Sementara tugas jajaran Bulog di sayap kiri yang terkait dengan fungsi komersil, lanjutnya, berupaya membantu pemerintah dalam memberikan konstribusi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di sini, jajaran Bulog harus pandai dalam melihat peluang bisnis di sektor pangan maupun sektor lainnya yang masih terkait dengan kepentingan masyarakat umum.
Terkait dua peranan Bulog tersebut, pada semester pertama tahun 2007 ini merupakan tahun ujian bagi Mustafa Abubakar sebagai Dirut baru.
Pasalnya, per 1 April 2007 jabatan baru yang disandangnya bersamaan dengan terbitnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Dalam Inpres nomor 3 tahun 2007, pemerintah menetapkan HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) Rp2.000 per kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp2.575 per kilogram dan beras Rp4.000 per kilogram atau mengalami kenaikan sekitar Rp300 - Rp450 per kilogramdibandingkan HPP sebelumnya yang dituangkan dalam Inpres nomor 13 tahun 2005.
Sebenarnya diakui Dirut Bulog, penerbitan HPP per 1 April 2007 terbilang telat. Karena lazimnya, HPP terbit sebelum masa panen, sementara masa panen puncaknya jatuh pada April - Mei. Sebagai contoh, sebagian besar daerah di Jawa, khususnya Jawa Timur sudah selesai panen ketika HPP baru terbit. Begitu pula dengan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang merupakan basis pangan nasional setelah Jawa Timur.
Dengan fenomena seperti itu, otomatis pengadaan dalam negeri agak sulit terkejar pada semerter pertama ini. Pasalnya, harga produksi petani sudah lebih awal diborong oleh spekulan-spekulan yang memanfaatkan momentum melimpahnya produksi dengan berlindung dibalik hukum ekonomi. Artinya, pada saat produksi melimpah, harga turun. Sementara petani dalam kondisi seperti itu, hanya sedikit mendapatkan keuntungan.
"Sebelum Bulog turun, kami sudah menjual gabah kami pada pedagang pengumpul, juga pada penggilingan di tempat kami," ungkap Ilyas, salah seorang petani di Kecamatan Lau, Kabupaten Maros. Padahal menurutnya, saat penjualan gabah jenis GKP itu hanya dibeli seharga Rp1.800 per kilogram atau lebih murah dari HPP untuk GKP yakni Rp2.000 per kilogram.
Alasan rata-rata petani yang menjual produksinya yang terkesan terburu-buru itu, karena untuk menutupi biaya sarana produksi (Sparodi) pra panen maupun pasca panen. Belum lagi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anaknya yang membutuhkan talangan dana.

Putuskan Mata Rantai

Salah satu penyebab sulitnya petani menikmati HPP di lapangan, karena panjangnya mata rantai pembelian Bulog selama ini. Sekaitan dengan hal tersebut, kini Bulog membentuk Satgas untuk memutus mata rantai yang panjang itu.
"Kalau selama ini, Bulog hanya mengandalkan jalur kemitraan, kini sudah dibentuk Satgas yang berfungsi sebagai pembeli yang langsung menjemput produksi petani di lapangan," imbuh Abdul Karim Pati, Kepala Divre Bulog Sulsel yang mencoba menjabarkan kebijakan Bulog di daerah lumbung beras ini.
Dijelaskan, Satgas tersebut berasal dari sarjana-sarjana pertanian yang sengaja direkrut oleh Bulog untuk membantu pengadaan dalam negeri. Dalam hal ini, Bulog Sulsel bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang menyiapkan tenaga-tenaga sarjana pertaniannya.
Keberadaan Satgas itu di lapangan, diakui sebagian besar petani di Sulsel sudah cukup membantu untuk mendapatkan harga yang layak.
Mursalam (35), salah seorang petani di Desa Manggempang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru misalnya, mengaku sangat terbantu dengan adanya Satgas di daerahnya. Pasalnya, ia tidak perlu repot-repot mengangkut gabahnya ke penggilingan atau ke lokasi pembeli. Selain itu, bisa mendapatkan dana 'cash' secara langsung.
"Menjual GKP ke Satgas lebih nyaman. Karena tidak perlu repot mengakut dan menjemur gabah dulu, disamping itu dapat bayaran langsung, tanpa perlu menunggu beberapa hari seperti yang biasa dilakukan pihak penggilingan jika kehabisan uang tunai," ungkap bapak berputra satu orang dan mengaku masih numpang di rumah mertua ini.
Dengan adanya Satgas dan sekitar 300 mitra Bulog Sulsel di lapangan, Kadivre Bulog optimis pengadaan Sulsel tahun 2007 sebanyak 232 ribu ton dapat terpenuhi, meskipun pada musim panen April - Mei 2007 ini baru mencapai sekitar 30 persen dari prognosa.
"Dengan melihat proyeksi 2006 lalu, realisasi pengadaan Divre Bulog Sulsel yang membawahi Provinsi Sulsel dan Sulbar ini, mencapai 280 ribu ton gabah setara beras," ujarnya sembari menambahkan, Divre Sulsel ketika itu tercatat sebagai satu-satunya Divre Bulog di tanah air yang memenuhi prognosa pengadaan.
Menyikapi hal tesebut, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Abdul Rahman Daeng Tayang mengatakan, keberhasilan itu belum dapat disahkan jika Bulog belum mampu menyerap sebagian besar produksi petani, sehingga produksi petani tidak jatuh ditangan tengkulak atau spekulan.
Karena itu, lanjutnya, tantangan Bulog ke depan adalah harus menjadi 'dewa penyelamat' bagi petani dengan menyerap produksi petani sebanyak-banyaknya dengan harga yang pantas. Sehingga beras dalam negeri tidak lagi dilarikan ke luar negeri dan kemudian pemerintah kerepotan mengadakan beras impor dari negeri tetangga misalnya Thailand dan Vietnam.
"Sulsel sendiri sebagai daerah penyanggah pangan nasional mampu memproduksi sekitar 2,5 juta ton beras per tahun, dan sekitar 1,5 juta ton diantaranya adalah surplus. Mengapa itu tidak dimanfaatkan oleh Bulog?" tandasnya.
Ia menambahkan, selama ini yang dapat diserap Bulog tidak sampai separuh dari total produksi, sehingga produksi petani di daerah ini lebih banyak diantarpulaukan, bahkan dikirim ke luar negeri lewat Nunukan yang berbatasan dengan Negara Malaysia.
Terkait dengan semua persoalan yang ada di lapangan, di usia yang keempat dengan status Perum ini, sudah sepatutnya Bulog semakin berbenah diri dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks, baik dalam tugasnya sebagai fungsi sosial, juga menghadapi persoalan pengadaan dalam negeri dan persaingan dalam pasar global yang nota bene membonceng persoalan beras impor.

PERTARUNGAN KESELAMATAN DI ATAS KAPAL MOTOR

MAKASSAR -- Memilih transportasi laut dengan kapal motor kayu menuju pulau-pulau kecil, dibutuhkan nyali yang cukup besar. Pasalnya, pertarungan keselamatan akan tergelar saat menaiki perahu bermesin satu hingga tiga, dengan kecepatan 7 mil per jam.
Setidaknya itulah yang terjadi pada warga yang berada di pulau-pulau
kecil untuk mencapai ibu kota seperti Kota Makassar, demikian pula sebaliknya.
Keberadaan transportasi antar pulau-pulau kecil yang menggunakan kapal
motor kayu selama ini, tak satupun yang memiliki jaminan keselamatan bagi penumpangnya, mulai dari ketersediaan sarana pelampung, sistem perkarcisan, daftar penumpang hingga asuransi.
Nasrun, salah seorang warga Pulau Kodingngareng misalnya, mengaku sudah dua puluh tahun lebih mondar-mandir dari tempat domisilinya hingga ke Kota Makassar dengan kapal motor kayu, tidak pernah mendapatkan kapal motor yang lengkap pelampungnya yang umumnya hanya menggunakan ban mobil
bekas.
"Kalaupun ada, paling banyak sepuluh buah ban saja, sementara penumpang bisa mencapai 50 orang dalam satu kapal," katanya sembari memberikan
gambaran, kapal yang dimaksud adalah kapal yang bermesin dua hingga tiga
unit dengan panjang kapal 15 - 17 meter. Kapal motor kayu itu lebih dikenal masyarakat di Makassar dan sekitarnya sebagai 'pete-pete'.
Kondisi itu diakui para pemilik pete-pete yang melayani penumpang di 13 pulau yang ada di Wilayah Kota Makassar. Ke-13 pulau itu adalah tujuh pulau berada di Wilayah Kecamatan Ujung Tanah, tiga pulau di Kecamatan Ujungpadang dan selebihnya berada di Kecamatan Tallo.
"Sudah hampir dua puluh lima tahun saya sebagai nakhoda sekaligus pemilik kapal, tidak menggunakan karcis dan mendata penumpang yang naik atau pun turun. Itu sudah terjadi sejak turun-temurun," jelas H Sampara pemilik
pete-pete Untung Abadi yang melayani rute Pulau Kodingngareng-Makassar PP.
Menurutnya, para penumpang yang naik umumnya sudah dikenal, karena adalah penduduk asli pulau, kalaupun ada penumpang baru, itu hanya pendatang.
Karena itu, tidak perlu ada daftar, cukup mengandalkan ingatan saja dalam hal mendata penumpang.
Mengenai sistem pembayarannya, baik H Sampara maupun H Abu Zainal pemilik PM Novita Sari yang melayani rute Pulau Barrang Lompo - Makassar PP, mengaku tidak ada sistem pembayaran via karcis. Melainkan cukup menarik
langsung ke penumpang secara tunai.
Adapun tarif penumpang untuk rute Pulau Barrang Lompo - Makassar sebesar Rp6.000 per orang, sedang untuk rute Pulau Kodingngareng Rp7.500 per
orang. Sedangkan tarif barang dipungut bervariasi sesuai dengan besar dan beratnya. Sebagai contoh, untuk kursi Rp2.000 dan lemari Rp5.000 per unit.
Sedang tarif untuk pulau yang lebih jauh dari Pulau Kodingngareng yang
berjarak sekitar tujuh mil (1,5 jam) dari garis pantai di Makassar, akan
lebih mahal lagi seperti Pulau Lumu-Lumu yang membutuhkan waktu sekitar empat jam dari Kota Makassar.

Belum Miliki Regulasi
Terkait dengan keselamatan penumpang di bidang transportasi laut,
khususnya kapal motor yang bertonase kecil, seperti 'pete-pete' yang melayani penumpang antar pulau-pulau kecil di sekitar Selat Makassar, hingga saat ini belum memiliki regulasi.
Hal itu diungkapkan Muchtar Kasim, Kepala Dinas Perhubungan Kota
Makassar. Menurutnya, dinas yang dipimpinnya baru seminggu itu, memiliki
dua bidang yang belum ada regulasinya. Kedua bidang tersebut adalah Bidang Kepelabuhanan dan Bidang Pos dan telekomunikasi (Postel).
"Untuk membuat regulasi yang nantinya sudah termasuk di dalamnya tentang jaminan keselamatan penumpang, dan standar kapal yang layak sebagai
transportasi penumpang, kami baru akan belajar di Jakarta," jelasnya.
Setelah itu, lanjutnya, pihaknya akan menggelar workshop bagi jajaran
bidang kepelabuhanan, agar mengetahui tugas dan fungsinya. Pasalnya, bidang tersebut hingga kini belum memiliki kerja nyata dalam menertibkan
kapal-kapal ataupun mengatur sistem transportasi laut berskala pelabuhan
rakyat, karena tidak memiliki regulasi selama ini.
Karena itu, Dinas Perhubungan Kota Makassar menargetkan kedua bidang yang dibawahinya, khususnya Bidang Kepelabuhanan sudah memiliki regulasi pada tahun 2007.
"Jadi nanti, semua kapal penumpang itu sudah harus menyiapkan sarana keselamatan penumpang seperti pelampung, dan alat komunikasi, sehingga
koordinasi dengan pihak syahbandar di pelabuhan atau dermaga dapat berjalan dengan baik, termasuk untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan
di laut," ujarnya sembari menambahkan, dengan memiliki alat komunikasi pihak syahbandar atau navigator dapat mengarahkan pemilik atau nakhoda kapal jika terjadi cuaca buruk dan sebagainya.
Menyikapi bakal adanya regulasi kepelabuhanan itu, Subaedah, salah
seorang warga Pulau Barrang Lompo yang berprofesi sebagai pedagang kelontongan merasa gembira.
"Selama ini, kami bolak-balik menggunakan 'pete-pete' dengan rasa
was-was, karena tidak ada jaminan keselamatan. Mudah-mudahan nanti,
selain ada jaminan keselamatan, juga para penumpang diasuransikan," katanya.