Makassar, 22/5 (ANTARA) - Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan sejak tahun 2003, hingga kini pencapaiannya masih sebatas harapan.
Kondisi hutan sebagai kawasan penyangga air dan pencegah bencana alam, hingga saat ini masih dibayangi degradasi dan eksploitasi besar-besaran, sehingga tidak mampu mengimbangi GNRHL yang berjalan seperti siput.
"Semua itu terjadi karena kebijakan pemerintah terkait elayanan terhadap investasi dan modal untuk mengeksploatasi hutan, lebih besar ketimbang pelayanan dan pemeliharaan terhadap alam," ungkap Indah Pattinaware, salah seorang aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulsel.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulsel diketahui bahwa luas kawasan hutan di daerah ini mencapai 2.121.948 hektare atau 46,54 persen dari luas daratannya. Dari hasil penafsiran citra landsat, sebanyak 30,6 persen dari luas kawasan hutan tersebut mengalami degradasi (kritis).
Buruknya pengelolaan hutan ini telah mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di Sinjai tahun 2006.
Sekaitan dengan hal tersebut, Indah menilai, bencana pada setiap musim hujan berupa banjir dan longsor selalu menanti. Sedang pada musim kemarau, kekeringan, krisis air, kebakaran hutan dan lahan serta gagal panen selalu menjadi 'paket bencana' setiap tahun.
Menurut cacatan WALHI Sulsel, di pesisir Sulawesi Selatan pada kurun waktu tiga tahun terakhir, bencana banjir bandang dan abrasi pantai semakin menjadi-jadi. Salah satu contoh kasus pada Juni 2006 lalu, empat kabupaten di Sulsel yakni Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto dihantar banjir bandang yang menyebabkan lebih dari 200 nyawa penduduk melayang.
“Persoalan ini merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut,” ujar Indah sembari menambahkan, ancaman signifikan terjadi pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan, dan energi.
Untuk air, di Makassar, lanjutnya, kebutuhan urgen ini sudah sulit diakses masyarakat. Rusaknya ekosistem di hulu Sungai Jeneberang berakibat kualitas air menjadi menurun.
Sementara di sektor pangan, di daerah yang menyandang predikat 'lumbung pangan' ini, masih ditemukan kasus kelaparan dan kekurangan gizi. Implikasi lainnya, petani tidak lagi makan beras berkualitas, nelayan tidak lagi makan ikan segar, dan buruh tidak lagi bekerja di lingkungan yang sehat.
"Semua ini merupakan bukti nyata dari bencana ekologis,” tandasnya.
Sementara itu, Ir Bacrianto, aktivis lingkungan yang juga adalah dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, setidaknya ada tiga langkah utama untuk mengantisipasi bencana ekologis di Sulsel.
Pertama, aktivitas konkrit dan mengembangkan budaya cinta lingkungan (enviromentalist) dari kelompok masyarakat terkecil agar terhindar dari bencana ekologis.
Sedang langkah kedua, dengan membangun kesadaran kritis masyarakat (critical mass) untuk bersama-sama mengarifi ekologi yang ada di sekitar manusia.
"Langkah terakhir adalah mempromosikan pendekatan bioregion sebagai prasyarat perubahan paradigma yang utama," katanya.
Konsep bioregion adalah suatu konsep yang tak lagi berciri satu wilayah, melainkan keseluruhan wilayah dalam perspektif ekologis. Misalnya, bencana di Sulawesi Selatan tidak hanya menjadi persoalan di Sulsel, melainkan menjadi problem di Pulau Sulawesi.
Banyak pintu
Kurang optimalnya pelaksanaan GNRHL di Sulsel dinilai karena terlalu banyak pintu yang menangani upaya merehabilitasi hutan dan lahan kritis di daerah ini.
Kepala Dinas Kehutanan Sulsel, A Idris Syukur mengemukakan, pengelolaan dan pendanaan GNRHL ini tidak satu pintu tetapi ada sejumlah instansi terkait yang terliabt di dalamnya.
Sebagai contoh, pada tahun 2006, Sulsel menerima dana GNRHL sebanyak Rp167 miliar lebih untuk 23 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut hanya sekitar Rp2,8 miliar yang dikelola Dinas Kehutanan Sulsel untuk empat program kegiatan dan sel;ebihnya tersebar di departemen, dinas dan lembaga lainnya.
"Keempat program kegiatan itu tercakup di dalam kegiatan pembangunan tanaman pada poros jalan Makassar menuju Parepare sepanjang 50 kilo meter," jelasnya.
Menyikapi banyaknya pihak yang menangani pengelolaan dan pengamanan hutan di daerah ini, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Taufik Kosaming mengatakan, semestinya harapan yang diinginkan lebih mudah tercapai.
Namun kenyataannya, program pengelolaan, rehabilitasi dan pengamanan hutan itu yang ditangani instansi lain selain Dinas Kehutanan, justeru saling berharap satu sama lain.
Di sisi lain, program yang ada saling tumpang-tindih dan akhirnya dana-dana yang dikucurkan untuk GNRHL dan yang terkait dengan persoalan penangan hutan pun menjadi bias bahkan tidak berbekas kemana 'larinya'.
"Sementara hasilnya sungguh tidak sesuai dengan program yang tertulis rapi di atas kertas," ujarnya sembari menambahkan, karena itu pemerintah pusat hingga daerah harus bersama-sama menyatukan muara program GNRHL itu sehingga kelemahan program GNRHL yang sudah berjalan selama lima tahun ini tidak terulang lagi pada masa yang akan datang. (ant)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment