MAKASSAR -- Memilih transportasi laut dengan kapal motor kayu menuju pulau-pulau kecil, dibutuhkan nyali yang cukup besar. Pasalnya, pertarungan keselamatan akan tergelar saat menaiki perahu bermesin satu hingga tiga, dengan kecepatan 7 mil per jam.
Setidaknya itulah yang terjadi pada warga yang berada di pulau-pulau
kecil untuk mencapai ibu kota seperti Kota Makassar, demikian pula sebaliknya.
Keberadaan transportasi antar pulau-pulau kecil yang menggunakan kapal
motor kayu selama ini, tak satupun yang memiliki jaminan keselamatan bagi penumpangnya, mulai dari ketersediaan sarana pelampung, sistem perkarcisan, daftar penumpang hingga asuransi.
Nasrun, salah seorang warga Pulau Kodingngareng misalnya, mengaku sudah dua puluh tahun lebih mondar-mandir dari tempat domisilinya hingga ke Kota Makassar dengan kapal motor kayu, tidak pernah mendapatkan kapal motor yang lengkap pelampungnya yang umumnya hanya menggunakan ban mobil
bekas.
"Kalaupun ada, paling banyak sepuluh buah ban saja, sementara penumpang bisa mencapai 50 orang dalam satu kapal," katanya sembari memberikan
gambaran, kapal yang dimaksud adalah kapal yang bermesin dua hingga tiga
unit dengan panjang kapal 15 - 17 meter. Kapal motor kayu itu lebih dikenal masyarakat di Makassar dan sekitarnya sebagai 'pete-pete'.
Kondisi itu diakui para pemilik pete-pete yang melayani penumpang di 13 pulau yang ada di Wilayah Kota Makassar. Ke-13 pulau itu adalah tujuh pulau berada di Wilayah Kecamatan Ujung Tanah, tiga pulau di Kecamatan Ujungpadang dan selebihnya berada di Kecamatan Tallo.
"Sudah hampir dua puluh lima tahun saya sebagai nakhoda sekaligus pemilik kapal, tidak menggunakan karcis dan mendata penumpang yang naik atau pun turun. Itu sudah terjadi sejak turun-temurun," jelas H Sampara pemilik
pete-pete Untung Abadi yang melayani rute Pulau Kodingngareng-Makassar PP.
Menurutnya, para penumpang yang naik umumnya sudah dikenal, karena adalah penduduk asli pulau, kalaupun ada penumpang baru, itu hanya pendatang.
Karena itu, tidak perlu ada daftar, cukup mengandalkan ingatan saja dalam hal mendata penumpang.
Mengenai sistem pembayarannya, baik H Sampara maupun H Abu Zainal pemilik PM Novita Sari yang melayani rute Pulau Barrang Lompo - Makassar PP, mengaku tidak ada sistem pembayaran via karcis. Melainkan cukup menarik
langsung ke penumpang secara tunai.
Adapun tarif penumpang untuk rute Pulau Barrang Lompo - Makassar sebesar Rp6.000 per orang, sedang untuk rute Pulau Kodingngareng Rp7.500 per
orang. Sedangkan tarif barang dipungut bervariasi sesuai dengan besar dan beratnya. Sebagai contoh, untuk kursi Rp2.000 dan lemari Rp5.000 per unit.
Sedang tarif untuk pulau yang lebih jauh dari Pulau Kodingngareng yang
berjarak sekitar tujuh mil (1,5 jam) dari garis pantai di Makassar, akan
lebih mahal lagi seperti Pulau Lumu-Lumu yang membutuhkan waktu sekitar empat jam dari Kota Makassar.
Belum Miliki Regulasi
Terkait dengan keselamatan penumpang di bidang transportasi laut,
khususnya kapal motor yang bertonase kecil, seperti 'pete-pete' yang melayani penumpang antar pulau-pulau kecil di sekitar Selat Makassar, hingga saat ini belum memiliki regulasi.
Hal itu diungkapkan Muchtar Kasim, Kepala Dinas Perhubungan Kota
Makassar. Menurutnya, dinas yang dipimpinnya baru seminggu itu, memiliki
dua bidang yang belum ada regulasinya. Kedua bidang tersebut adalah Bidang Kepelabuhanan dan Bidang Pos dan telekomunikasi (Postel).
"Untuk membuat regulasi yang nantinya sudah termasuk di dalamnya tentang jaminan keselamatan penumpang, dan standar kapal yang layak sebagai
transportasi penumpang, kami baru akan belajar di Jakarta," jelasnya.
Setelah itu, lanjutnya, pihaknya akan menggelar workshop bagi jajaran
bidang kepelabuhanan, agar mengetahui tugas dan fungsinya. Pasalnya, bidang tersebut hingga kini belum memiliki kerja nyata dalam menertibkan
kapal-kapal ataupun mengatur sistem transportasi laut berskala pelabuhan
rakyat, karena tidak memiliki regulasi selama ini.
Karena itu, Dinas Perhubungan Kota Makassar menargetkan kedua bidang yang dibawahinya, khususnya Bidang Kepelabuhanan sudah memiliki regulasi pada tahun 2007.
"Jadi nanti, semua kapal penumpang itu sudah harus menyiapkan sarana keselamatan penumpang seperti pelampung, dan alat komunikasi, sehingga
koordinasi dengan pihak syahbandar di pelabuhan atau dermaga dapat berjalan dengan baik, termasuk untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan
di laut," ujarnya sembari menambahkan, dengan memiliki alat komunikasi pihak syahbandar atau navigator dapat mengarahkan pemilik atau nakhoda kapal jika terjadi cuaca buruk dan sebagainya.
Menyikapi bakal adanya regulasi kepelabuhanan itu, Subaedah, salah
seorang warga Pulau Barrang Lompo yang berprofesi sebagai pedagang kelontongan merasa gembira.
"Selama ini, kami bolak-balik menggunakan 'pete-pete' dengan rasa
was-was, karena tidak ada jaminan keselamatan. Mudah-mudahan nanti,
selain ada jaminan keselamatan, juga para penumpang diasuransikan," katanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment