Tuesday, September 16, 2008

MAKAM PENYEBAR ISLAM DI MAKASSAR TIDAK TERURUS



Makassar, 13/9 (ANTARA) - Makam penyebar Agama Islam di Makassar kebanyakan tidak terurus, seperti Kompleks Makam Lajangiru di Kecamatan Bontoala dan Makam Sitti Habiba, Raja Bone ke-14 di Kompleks Pasar Pannampu dan makam lainnya.

"Di Kompleks Makam Lajangiru ini, terdapat lima makam besar yang bangunannya berbentuk kubah masjid, mereka yang dimakamkan di sini adalah penyiar Agama Islam ratusan tahun silam," jelas juru kunci Kompleks Makam Rajangiru, Muh. Tahir di Makassar, Rabu.

Pada lima makam tersebut, sebagian bangunannya sudah lapuk di makan usia, dindingnya berlumut dan lantainya sudah buram.
Ke lima makam itu adalah makam Ince Habib Hasan wafat 1920, Habib Muhsin wafat 1278 Hijriyah (H), Habib Assegaf, Habib Ali Sihab dan Habib Adam Muri. Sedang yang masih terurus dibanding makam lainnya adalah makam Lajangiru bersama anggota keluarga. Lajangiru adalah tuan tanah pribumi pada zaman penjajahan Belanda yang mewakafkan lahannya untuk kompleks pemakaman.

"Sebelum ditangani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sulsel, kami hanya merawat makam ini secara turun-temurun secara sukarela," ungkap Tahir didampingi Abdul Rauf yang juga mengurusi makam tersebut.

Sementara saat ini, lanjutnya, meskipun sudah ditangani Disbudpar Sulsel, namun renovasi atau pemugaran belum pernah dilakukan, hanya memberi tembok sekeliling makam saja.

Makam lainnya yang berada di sebelah kompleks makam Lajangiru, terdapat sebuah makam keturunan Timur Tengah yang juga menyebarkan Agama Islam di daerah ini, yakni makam Yusuf Afandi. Makam turunan Turki tersebut terbuat dari batu marmer putih dengan hiasan kaligrafi dan tertera tahun wafat 1335 H.
Hanya saja makam yang sangat ekslusif pada zamannya itu, juga rupanya luput dari perawatan khusus pemerintah setempat.

Kondisi makam yang tidak terurus juga terlihat pada makam Sitti Habibah yang merupakan Raja Bone yang ke-24 sekitar 150 tahun silam. Uniknya, raja ini merupakan perempuan yang berwibawah dan menjadi salah satu penyiar Agama Islam di Sulsel.

"Makam ini jarang dikunjungi orang, dan pemerintah juga tidak memperlihatkan keseriusan melestarikan cagar budaya ini," ungkap salah seorang keturunan Bugis Bone, Daeng Bulan yang tinggal di kompleks makam Sitti Habibah.

Untuk merawat makam itu, dilakukan sukarela, karena konon ada bantuan atau biaya pemeliharaan makam dari Disbudpar, namun tidak sampai ke tangannya, melainkan ke pihak lain. Namun yang diberi tanggung jawab membersihkan dan merawat makam itu tidak kunjung datang.

Menanggapi banyaknya makam menyebar Agama Islam di kota ini yang terkesan terbengkalai, Kepala Disbudpar Kota Makassar Eddy Kosasi Parawansa mengakui hal itu.

Menurutnya, keterbatasan anggaran menjadi kendala utama pemugaran sejumlah cagar budaya.

"Karena itu, yang dapat dilakukan minimal tetap menjaga kebersihan makam oleh petugas penjaga makam yang telah mendapat tunjangan dari Disbudpar kota ataupun provinsi," katanya.

Mengenai tunjangan yang disebutkan itu, Tahir mengaku, ketika masih honorer hanya mendapat upah Rp45 ribu per tiga bulan, kemudian beberapa tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp400 ribu per tiga bulan, dan setelah terangkat menjadi PNS Disbudpar yang mengurusi makam cagar budaya, barulah gajinya mencapai Rp1 juta lebih.

"Dengan kondisi yang serba mahal seperti ini, gaji tersebut hanya dicukupkan saja untuk menutupi kebutuhan keluarga," ujarnya sembari mengimbuhkan, meskipun demikian, ia tetap semangat menjaga dan memelihara makam, karena profesi itu sudah turun-temurun dari kakeknya.

Wednesday, September 10, 2008

JUMINO, MANUSIA "SERIBU TUMOR"


Makassar -- Jumino (50), lelaki asal Desa Bumi Ayu, Kecamatan Wonomulyo, Sulawesi barat (Sulbar) tidak pernah menduga setelah 33 tahun menanti, akhirnya sebagian dari ratusan tumor yang ada di sekujur tubuhnya bisa dihilangkan setelah melalui operasi di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo (RSWS), Makassar.

Kasus Jumino ini, merupakan penyakit langka sama dengan kasus Dede yang bergelar “manusia akar”. Sementara lelaki yang berprofesi sebagai penggali kuburan di Wonomulyo ini, digelari “manusia seribu tumor” lantaran jumlah benjolan yang tersebar di tubuhnya mencapai 1.126 buah berdiameter satu hingga tujuh centimeter.

Sejak kehadiran Jumino 26 Februari lalu di RSWS atas bantuan Harian Fajar, media lokal yang membawanya bertemu dengan tim dokter yang terdiri dari 23 orang dan diketuai Dr. Anis Irawan, Kepala Bagian Kulit dan Kelamin RSWS, hingga kini sudah tiga kali menjalani operasi.

“Operasi pertama pada bagian wajah, menyusul selaput mata dan kemarin operasi untuk mengangkat tumor pada bagian tangan,” jelas Jumino yang senantiasa didampingi oleh adiknya, Boinah di ruang perawatan Lontara III RSWS.

Lelaki yang juga menjadi buruh tani disela-sela aktivitasnya menggali kubur ini pun menuturkan riwayat penyakitnya. Ketika beberusia 17 tahun, di sekujur tubuhnya timbul bentol-bentol merah, mirip gigitan semut. Namun kemudian bentol-bentol itu berubah menjadi benjolan seiring dengan waktu, hingga akhirnya ia berusia 33 tahun benjolan pada bagian wajah dan punggungnya diameternya ada yang sampai tujuh centimeter.

Sebenarnya, ungkap lelaki yang sempat minder karena penyakitnya itu, benjolan itu tidak terasa sakit, karena hanya berupa daging yang terasa lembek. Sehingga jika berbaring, ia tidak perlu khawatir. Hanya saja benjolan yang sebesar telur, cukup mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

Menurut Bonia, Junimo tidak pernah berobat medis maupun tradisional, lantaran tidak memiliki uang yang cukup. Selain itu, Jumino hanya pasrah menghadapi nasibnya yang dianggap tidak ada cara lagi untuk menyembuhkannya.

Untunglah, setelah diberitakan Harian Fajar, salah satu media lokal di Sulsel dan mendapat dukungan “dompet peduli” dari media itu, kepercayaan diri Jumino untuk sembuh tumbuh kembali.

Mengenai penyakit Jumino, Dr Anis mengatakan, berbeda dengan penyakit kutil akibat virus yang diderita Dede. Penyakit Jumino hanyalah faktor herediter (gen) yang nama latinnya Nero Fibromatous Multiple atau disebut juga Von Reclin Hauzen sindrom.

“Jadi, penyakit Jumino adalah hanya tumor ringan,” katanya sembari mengimbuhkan, untuk penyembuhannya cukup melalui pengobatan kosmetik berupa pembedahan atau mengeluarkan gumpalan daging yang ada di sekujur tubuh Jumino.Sementara mengenai pembiayaan rumah sakit Jumino, lanjutnya, akan ditanggung pemerintah karena Jumino termasuk keluarga yang tidak mampu dan penyakitnya terbilang langka. Kendati demikian, Harian Fajar yang mendampingi pengobatan Jumino sejak awal, juga membuka 'dompet peduli’ untuk membantu biaya perobatan lelaki asal Jawa yang keluarga ikut program transmigrasi di Sulbar seperempat abad silam.

PERJALANAN PANJANG MENUJU PENDIDIKAN GRATIS

Makassar, 28/3 (ANTARA) - Pemerataan pendidikan di seluruh pelosok tanah air melalui program Wajib Belajar (Wajar) enam tahun kemudian ditambah menjadi sembilan tahun, berjenjang dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), sudah dicanangkan pada masa Orde Baru (Orba).

Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah pasca Orba dan beralih ke era reformasi, keberpihakan pada dunia pendidikan khususnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, sudah menjadi suatu tuntutan yang mendesak.

Mulailah dengan tuntutan pengalokasian anggaran di tingkat APBN hingga APBD kabupaten/kota agar mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 20 persen dalam bentuk kebijakan. Namun dalam pengiplementasiannya, masih saja sulit dicapai, dengan alasan masih ada sektor lain selain pendidikan dianggap jauh lebih mendesak.

Dibalik polemik keberpihakan dalam pengalokasian anggaran pada sektor pendidikan, ada juga daerah yang nekat menjalankannya. Contoh daerah yang dinilai berhasil adalah Kabupaten Jembrana di Bali. Daerah ini kemudian menjadi tempat studi banding bagi daerah lainnya di Indonesia, termasuk Kota Makassar.

Dibawah duet kepemimpinan H Ilham Arief Sirajuddin dan Andi Herry Iskandar, Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mencoba memperlihatkan keberpihakannya pada sektor pendidikan. Pada tahun 2007 sebanyak 18 sekolah masing-masing 15 SD dan 3 SMP negeri dan sederajat yang dinominasi siswa dari keluarga kurang mampu, mendapat subsidi penuh dalam mengecap pendidikan.

"Dari 89 sekolah di Makassar yang menjadi target subsidi Pemkot Makassar, sudah terealisasi 18 sekolah dengan menggunakan dana APBD 2007 sebesar Rp2 miliar," jelas H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sembari mengimbuhkan, sedang untuk periode 2008 Pemkot menambah 48 sekolah bersubsidi lagi yang diprioritas di kantong-kantong warga miskin di Makassar, di antaranya Kecamatan Manggala, Antang dan Mariso yang berada di daratan.

Sementara sekolah yang berada di wilayah pesisir Kota Makassar seperti Pulau Barrang Lompo, Kodingareng dan Lumu-Lumu sudah dibebaskan dari biaya dan pungutan sekolah tahun 2007 lalu.

Mengenai target pendidikan dasar di kota yang berjulukan "Anging Mammiri" ini, Muhammad Nasir Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar mengatakan, akan digenapkan jumlahnya mencapai 100 sekolah yang mendapat akses pendidikan gratis.

"Target itu diharapkan sudah terpenuhi pada akhir 2009 dengan total anggaran dari APBD Kota Makassar sebesar Rp10 miliar," katanya sembari mengimbuhkan, dengan anggaran tersebut diharapkan dapat menjangkau sekitar 19 ribu orang siswa SD dan 2.500 orang siswa SMP yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Masih Ada Pungutan

Meskipun puluhan sekolah di Kota Makassar sudah digratiskan, namun masih ada keluhan dari sejumlah wali siswa mengenai pungutan sekolah yang dinilai memberatkan.

Hal tersebut terungkap pada musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) di Kantor Balaikota Makassar baru-baru ini. Sejumlah wali siswa dan Lembaga Pemberdayaan Musyawarah (LPM) mengkritisi program pendidikan gratis yang dijalankan Pemkot Makassar yang dinilai tidak sepenuhnya gratis.

Sikap kritis itu dibenarkan Syamsu Niang, anggota DPRD Kota Makassar yang berlatarbelakang dari dunia pendidikan. Menurutnya, Pemkot sudah mencoba membuat kebijakan untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam mengakses pendidikan, namun penjabarannya di lapangan, masih ada saja kebijakan pihak sekolah yang membebani wali siswa dengan biaya-biaya tertentu, misalnya uang jaminan buku paket yang dipinjamkan.

"Padahal sekolah itu mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan anggaran APBD kota," katanya.

Hasnah, salah seorang wali siswa SD Borong Jambu di kawasan Antang misalnya mengungkapkan, anaknya dibebankan uang jaminan buku paket senilai buku yang dipinjam dari sekolah. Padahal setahunya dana BOS dan program pendidikan gratis itu, menanggung semua buku siswa.

Menanggapi hal tersebut, salah seorang guru di sekolah itu yang enggan disebut jati dirinya mengatakan, uang jaminan buku adalah suatu hal yang wajar. Hal itu dimaksudkan untuk membuat siswa lebih bertanggung jawab terhadap buku yang dipakainya.

"Jika buku itu awet kan masih bisa dimanfaatkan oleh adik-adik kelasnya, namun jika buku itu sobek atau rusak, maka yang memegang buku itu berkewajiban menggantinya," ujarnya sembari mengimbuhkan uang jaminan itulah sebagai kompensasinya.

Melihat fenomena upaya pelaksanaan pendidikan gratis itu yang sejalan dengan program unggulan pasangan gubernur terpilih di Sulsel yakni Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang, Roslaeli, Ketua Yayasan Pendidikan Makassar yang juga pengamat pendidikan di kota ini mengatakan, penerapan pendidikan gratis ini bukan suatu hal yang mudah, karena bukan untuk program satu - dua tahun saja.

"Ini merupakan program yang diharapkan berkesinambungan sehingga membutuhkan anggaran yang tidak main-main besarnya," katanya.

Terkait dengan hal tersebut, pelayanan pendidikan gratis di Kota Makassar pada khususnya dan Sulsel pada umumnya, masih butuh waktu yang panjang. Paling tidak, diprediksi 20 tahun yang akan datang baru akan terwujud. Kecuali jika para pengambil kebijakan di daerah ini berani 'all out' menganggarkan APBD yang lebih berpihak pada sektor pendidikan. Pasalnya, fenomena yang ada diketahui, dari sekitar Rp1,6 triliun APBD Sulsel, pembiayaan di sektor pendidikan tidak mencapai lima persen dari anggaran yang ada.

Sementara APBD Kota Makassar senilai Rp400 miliar lebih nampaknya hanya nekat menganggarkan dana sektor pendidikan hampir 20 persen. Namun ternyata dana itu belum mampu menutupi semua persoalan di sektor pendidikan, termasuk untuk program pendidikan gratis.

Tuesday, September 9, 2008

SURO'BACA TRADISI MENJELANG RAMADAN


Makassar -- Suro'baca atau berdoa bersama untuk para leluhur menjelang Ramadhan merupakan tradisi turun-temurun di kalangan suku Bugis Makassar di Sulawesi Selatan (Sulsel).Acara tradisi ini biasanya dilakukan mulai sepekan hingga satu hari sebelum bulan suci Ramadhan (H-7 sampai H-1 Ramadhan).


Tradisi yang masih tetap terjaga baik di kalangan masyarakat pedesaan hingga perkotaan ini, biasanya diselenggarakan baik per rumah tangga ataupun berkelompok.Sebelum menggelar suro'baca, keluarga mempersiapkan aneka hidangan atau masakan seperti ayam gagape' (mirip opor ayam), ikan bandeng bakar yang dibelah dan diberi cabe dan garam yang sudah dihaluskan, lawa' (urap) dari pisang batu, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan ekonomi si empunya hajatan.Untuk kue pencuci mulutnya, dipilih kue-kue tradisional misalnya kue lapis, onde-onde, dan cucuru' bayao.


Setelah semua hidangan tersebut siap disantap, terlebih dahulu diatur sedemikian rupa di ruangan yang disiapkan untuk membaca doa bersama yang dipimpin oleh seorang guru baca atau tokoh adat.Seluruh anggota keluarga akan duduk bersila di depan aneka hidangan sambil mengikuti guru baca berdoa dengan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an serta mendoakan bagi almarhum (leluhur) mendapat keselamatan di akhirat dan keluarga yang ditinggalkan juga mendapatkan keselamatan, kesehatan dan dimudahkan rezekinya.

Prosesi serupa juga dilakukan jika suro'baca dilakukan berkelompok, artinya satu orang sebagai koordinator yang mengumpulkan pendanaan komsumsi, kemudian bersama-sama dengan anggota keluarga besar membuat aneka hidangan yang akan disajikan pada acara suro'baca pada bulan Sya'ban itu.Setelah semuanya siap, maka semua anggota keluarga besar berdoa bersama dipimpin guru baca. Selanjutnya, bersalam-salaman seraya saling memaafkan sebelum memasuki bulan Ramadhan, kemudian besantap siang bersama.


"Makna dari suro'baca ini, agar yang masih hidup tetap mengingat leluhurnya dan mengingat bahwa suatu saat juga akan ke akhirat. Selain itu, acara ini juga menjadi ajang silaturrahim untuk mempererat persaudaraan," jelas Daeng Mappong (75), guru baca yang sudah sepuluh tahun lebih memimpin tradisi suro'baca setiap menjelang Ramadhan di lingkungan suku Bugis Makassar di Kabupaten Maros, Sulsel.


Sementara Daeng Ngalusu (63) yang berperan sebagai bendahara tradisi itu mengatakan, setiap keluarga akan memberikan uang komsumsi sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya. Jadi tidak ditentukan besarannya. Bahkan yang tidak memiliki uang lebih, namun memiliki ternak ayam, biasanya menyumbang beberapa ekor ayam saja. Begitu pula yang berprofesi sebagai petani biasanya memberikan beberapa liter beras untuk berpartisipasi.


Tradisi lain yang mengikuti acara suro'baca ini, bagi kalangan Bugis Makassar yang masih memegang filosofi adat dan tarekattradisional terkait dengan Agama Islam, juga memanfaatkan bulan Sya'ban atau menjelang Ramadhan untuk mengajak putra-putrinya yang sudah akil balik memahami dan mendalami ajaran Islam lebih dekat.Guru tarekat yang sebagian besar adalah penganut tarekat Khalwatiah Syekh Jusuf -- salah seorang penyebar Agama Islam dan pahlawan nasional -- di Sulsel, akan menjadi penuntun bagi putra-putri Bugis Makassar mempelajari mulai tata cara berwudhu, shalat hingga mempersiapkan diri mencari bekal ke alam akhirat.

Begitu pula ziarah kubur menjelang Ramadhan, seakan sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sulsel yang masih kental dengan tradisinya.Ketiga tradisi itulah yang masih dapat dijumpai di kalangan keluarga Bugis Makassar di Sulsel yang berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa. Suatu tradisi yang memiliki makna yang mendalam yang intinya memupuk rasa kebersamaan, mengingat kematian dan mengajak berbuat kebajikan.

Monday, September 8, 2008

PERUBAHAN IKLIM DI LUMBUNG PANGAN


Makassar, 4/9 (ANTARA) - Perubahan iklim yang terjadi saat ini, tidak terlepas dari pemanasan global yang kini menjadi isu sentral baik negara maju hingga negara miskin sekalipun.
Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berpenduduk sekitar 8 juta jiwa, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian.
Dengan produksi rata-rata 2,5 juta ton beras per tahun, telah menempatkan Sulsel sebagai daerah penyangga pangan nasional terbesar kedua setelah Jawa Timur (Jatim).
Terkait dengan perubahan iklim di daerah lumbung pangan ini, disadari atau tidak telah memberikan pengaruh yang signifikan. Kenaikan suhu yang relatif lebih panas dibanding lima atau sepuluh tahun silam, pergeseran musim tanam, munculnya hama tanaman yang didukung oleh iklim dan sebagainya.
"Bulan Agustus - September biasanya masih merupakan musim kemarau, namun kali ini masuk kategori musim kemarau 'basah' sehingga hujan di beberapa daerah di Sulsel kerap terjadi," jelas Hanafi Asnan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Makassar menanggapi adanya pergeseran musim yang terkait dengan perubahan iklim.
Adanya perubahan iklim yang disinyalir merupakan siklus 30 tahunan, menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Sulsel, Lutfi Halide, turut memicu tingginya curah hujan pada musim penghujan.
Namun, tidak akan terlalu berpengaruh pada target produksi beras sedikitnya 2,5 juta ton tahun ini dari optimalisasi lahan sawah sekitar 890 hektare (ha), katanya.
Kendati ada sikap optimistik dari pemerintah di daerah ini, namun Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Rahman Daeng Tayang mengatakan, semua pihak tidak terkecuali pemerintah harus realistis melihat dan membaca kondisi pertanian saat ini.
"Lahan pertanian kita makin menyempit setiap tahun, karena alih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pabrik dan sebagainya. Sementara petani terus dituntut meningkatkan produksi dengan segala keterbatasan," katanya.
Lebih lanjut dikatakannya, keterbatasan itu misalnya daya beli sarana produksi yang masih rendah, karena dipicu oleh tingkat kesejahteraan petani yang masih minim.
Sebagai gambaran, harga beras dunia terus meningkat, sementara harga beras di tingkat petani sesuai dengan Harga Pokok Pemerintah (HPP) masih belum berimbang dengan biaya operasional yang harus ditanggung petani.
Petani pun tidak berdaya menghadapi dampak dari perubahan iklim seperti banjir bandang yang kemudian memicu longsor dan bencana alam lainnya, karena selama ini petani tetap dibiarkan dengan persepsinya bahwa bencana alam yang terjadi itu sebagai musibah atau takdir yang harus diterima.
"Sosialisasi tentang adanya bencana alam, karena faktor kelalaian manusia, juga karena kerusakan lingkungan dan upaya mengantisipasinya masih sangat minim," katanya.
Hal itu dibenarkan Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, Mustam Arif. Menurutnya, selama ini yang menyosialisasikan pentingnya mitigasi masih proaktif dilakukan pihak Lembaga non Pemerintah (NGO's).
Sementara pemerintah lebih cenderung kepada penanganan bencananya pasca terjadi kasus, bukan pada upaya pencegahan atau antisipasi. Mitigasi dan Adaptasi Dalam menghadapi perubahan iklim sebagai bagian dari pemanasan global (global warming) bagi negara/daerah, khususnya daerah agraris seperti Sulsel dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi.
"Kedua cara itulah yang dapat ditempuh agar bisa tetap 'survive' atau bertahan," jelas Dr Suppakorn Chinvanno, Koordinator Proyek Penelitian pada Souteast ASIA START Regional Center (SEA START RC), Chulalongkorn University, Thailand pada Climate Change Media Workshop di Manila, Filipina, Agustus 2008 lalu yang juga diikuti Koresponden ANTARA, Suriani Mappong.
Menurutnya, resiko perubahan iklim di Asia Tenggara sebagai implikasi dari pemanasan global dengan peningkatan suhu permukaan laut sekitar dua hingga empat derajat Celcius, tidak perlu terlalu ditakuti, sepanjang mampu melakukan kedua hal itu (mitigasi dan adaptasi).
Sebagai contoh kasus, resiko banjir dari luapan delta Sungai Mekong di Thailand ke depan merupakan gabungan dampak dari alam dan pengaruh perubahan iklim. Karena itu, resiko bencana tersebut seharusnya mampu ditekan. Hal itu bisa tercapai jika menggunakan pandangan dan pendekatan yang menyeluruh (holistik).
"Yang lebih utama adalah merangkul stakeholder untuk menyamakan persepsi dalam menghadapi skenario bencana ke depan," katanya.
Sementara itu, Head of The Department of Economics at Jadavpur University, Kolkuta, India, Dr Joyashree Roy pada kesempatan yang sama mengatakan, negara sedang berkembang di Asia rata-rata masih menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian, sementara industri dan tansportasinya masih sulit menekan gas emisi yang akan memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
"Padahal jika suatu negara mampu melakukan adaptasi dengan mengurangi pencemaran lingkungan misalnya untuk menciptakan standar hidup yang lebih baik, terbuka peluang lebar untuk mendapatkan 'capasity building' maupun 'Carbon Credit' dari donatur dunia yang peduli lingkungan," ungkapnya.
Hal tersebut dibenarkan Director Energy, Transport and Water Division, Asian Developmen Bank (ADB), Mr Woochong Um.
Menurut dia, ADB yang didirikan pada tahun 1966 dan beranggotakan 76 negara, 48 diantaranya dari Asia dan Pasifik, sejak tahun 2004 -2007 menyalurkan dana sekitar enam hingga sepuluh miliar dolar Amerika per tahun untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup.
"Salah satunya dengan memberikan kredit bagi industri yang mampu menurunkan gas emisinya atau ramah lingkungan," katanya dan melanjutkan, termasuk mendorong pengembangan potensi suatu daerah.
Apabila merunut semua itu dan merefleksikan pada posisi Sulsel sebagai daerah penyanggah pangan nasional, Gubernur Sulsel, H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, untuk pengembangan sektor pertanian di daerah ini sedikitnya dibutuhkan dana sekitar Rp750 miliar.
Namun untuk mendapatkan dana tersebut dari APBN atau pun donatur asing, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya dibutuhkan komitmen dari "hulu hingga hilir" dalam pemerintahan dan masyarakat Sulsel untuk saling mendukung mengelola potensi yang ada. Sehingga donatur mau melirik daerah ini.
Termasuk bagaimana mengantisipasi perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Sulsel. Tentunya, semua itu dapat diraih dengan tidak meninggalkan kearifan lokal. ***6*** (U.K-SUR/F003/B/Z003)(T.K-SUR/B/Z003/Z003) 04-09-2008 11:47:34

Sunday, September 7, 2008

BLT, PELEPAS DAHAGA SESAAT


Makassar, 22/5 (ANTARA) - Tidur dibawah kolongrumah panggung yang sudah reot, tidak membuat Jaizahdan suaminya, Arifuddin sekhawatir ketika mendengarisu bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM lagi.
"Sekarang saja sudah susah mendapatkan minyaktanah, dan harganya mahal pula. Bagaimana kalaupemerintah menaikkan harga BBM lagi?" ujar Jaizahkepada suaminya dengan mata berkaca-kaca.
Pasangan suami isteri itu hidup di rumahkontrakan bersama tiga orang anaknya di Jalan PettaPonggawa, Kelurahan Kalukuang, Makassar, telahmerasakan himpitan ekonomi sebelum adanya kenaikanharga BBM. Kini, sudah mulai terbayang bagaimanahimpitan ekonomi itu akan berlipat ganda pada saatharga BBM dinaikkan.
"Tapi pemerintah akan berikan BLT bu, bantuanyang sama 2005 lalu," kata Arifuddin menimpalipernyataan isterinya.
Isterinya yang terbaring di ranjang kayuukuran 2 x 1 meter itu, karena penyakit yang dideritasejak tiga bulan lalu, hanya mengusap peluh didahinya. Dalam hati ia berharap, bantuan yang akanditerima keluarganya itu dapat meringankan biaya hidupsehari-hari mereka. Roda ekonomi keluarga Arifuddin yangberprofesi sebagai buruh serabutan, masih cukupterbantu ketika Jaizah masih mampu berkeliling kampungmenjual jasa sebagai tukang pijat. Namun sudah tigabulan terakhir, perempuan paruh baya itu tidak lagimampu menggerakkan badannya. Pernah diopname di rumahsakit pemerintah selama sebulan, namun tidak adaperubahan sehingga terpaksa dipulangkan ke rumahkontrakannya.
Ini adalah salah satu potret rumah tanggamiskin (RTM) di Kota Makassar yang akan menjadisasaran program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagaikompensasi dari kenaikan harga BBM yang sebentar lagiditetapkan oleh pemerintah.
Jumlah RTM yang dinyatakan oleh WalikotaMakassar H Ilham Arief Sirajuddin akan menerima BLTsebanyak 70.160 RTM. Padahal sebelumnya, menurutKepala Dinas Sosial Makassar Ibrahim Saleh sesuairapat koordinasi dengan instansi terkait, jumlah RTMyang akan menerima BLT 2008 turun sekitar 2.000 RTMsetelah dilakukan verifikasi data di lapangan.Artinya, yang ideal menerima BLT hanya berkisar 68.000RTM.
Menanggapi hal tersebut, Murad Munsyir LurahKalukuang, Kecamatan Tallo, Makassar mengakui, jikadata BLT yang digunakan itu masih data BLT 2005 yangmerupakan hasil data BPS. Namun kebijakan pemerintah,untuk data BLT tahun ini diharapkan peran aktif pihakkelurahan.
"Hanya saja waktu yang diberikan sangatmendadak, sementara untuk mencapai validitas dataitu tidak cukup dalam seminggu," katanya sembarimengimbuhkan, kartu BLT baru diterima kemarin, dandiminta mendata ulang yang berhak menerima dalamsehari saja. Karena rencananya, dalam dua tiga hari kedepan BLT sudah akan dicairkan.
Ketidaksiapan dalam verifikasi data BLT dilapangan, juga diakui 142 lurah lainnya yang tersebardi 14 kecamatan di Makassar. Namun karena kondisi yangmemaksakan, mau tidak mau data lama masih akandijadikan rujukan utama dalam penentuan penerima BLT. Tidak Mendidik
Menanggapi program BLT yang akan diberikankepada RTM sebagai penangkal gejolak pada saat hargaBBm dinaikkan, Prof DR Halide, pengamat ekonomi dansosial dari Universitas Hasanuddin menilai, programtersebut tidak mendidik, karena hanya memicumasyarakat RTM menjadi komsumtif dan memilikiketergantungan yang sangat tinggi.
"Seharusnya, pemerintah lebih fokus sajamemberikan modal produktif dan bekal keterampilan padaRTM, itu jauh lebih mendidik daripada program BLT yangibarat hanya sebagai pelepas dahaga sesaat," katanya.
Alasannya, biasanya dana BLT yang diterima akandihabiskan dalam satu hari saja, seperti pengalamanBLT sebelumnya. RTM cenderung membeli barang yangbukan untuk kebutuhan sehari-harinya.
Hal senada dikemukakan Sekretaris YayasanLembaga Konsumen Sulawesi Selatan (YLKSS) YudiRahardjo. Menurutnya, pemerintah harus belajar dariprogram BLT sebelumnya yang banyak tidak tepat sasarandan cenderung dimanfaatkan oleh oknum yang tidakbertanggung jawab untuk mencari keuntungan.
"Kalaupun itu terpaksa dijalankan, tentuharus dipertimbangkan nilai bantuannya, sistematikapenyalurannya dan pengawasannya," ujarnya sembarimengimbuhkan, nilai bantuannya saat ini ternyata tetapsama dengan BLT sebelumnya, sementara semua hargabarang sudah sangat berbeda dengan kondisi 2005 lalu.
Sistem pengawasannya pun belum jelas,lanjutnya. Padahal itu sangat penting untukmengantisipasi adanya 'permainan' di lapangan.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Kantor PTPos Wilayah X Sulawesi Alosius mengatakan, untukpenyaluran BLT di Makassar, pihaknya sudah menyiapkansembilan kantor pos dan mengatur penjadwalanmasing-masing kecamatan.
"Yang menerima BLT harus orang yangbersangkutan, tidak boleh diwakili seperti padapenerimaan BLT sebelumnya. Hal ini untuk menghindariadanya penerima BLT yang bukan miliknya atau milikkeluarganya," paparnya sembari mengimbuhkan, bagipemegang kartu BLT yang sakit, akan ditunggu hinggasembuh dan batas pengambilan BLTnya bisa hingga akhir2008.