Wednesday, September 10, 2008

PERJALANAN PANJANG MENUJU PENDIDIKAN GRATIS

Makassar, 28/3 (ANTARA) - Pemerataan pendidikan di seluruh pelosok tanah air melalui program Wajib Belajar (Wajar) enam tahun kemudian ditambah menjadi sembilan tahun, berjenjang dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), sudah dicanangkan pada masa Orde Baru (Orba).

Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah pasca Orba dan beralih ke era reformasi, keberpihakan pada dunia pendidikan khususnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, sudah menjadi suatu tuntutan yang mendesak.

Mulailah dengan tuntutan pengalokasian anggaran di tingkat APBN hingga APBD kabupaten/kota agar mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 20 persen dalam bentuk kebijakan. Namun dalam pengiplementasiannya, masih saja sulit dicapai, dengan alasan masih ada sektor lain selain pendidikan dianggap jauh lebih mendesak.

Dibalik polemik keberpihakan dalam pengalokasian anggaran pada sektor pendidikan, ada juga daerah yang nekat menjalankannya. Contoh daerah yang dinilai berhasil adalah Kabupaten Jembrana di Bali. Daerah ini kemudian menjadi tempat studi banding bagi daerah lainnya di Indonesia, termasuk Kota Makassar.

Dibawah duet kepemimpinan H Ilham Arief Sirajuddin dan Andi Herry Iskandar, Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar mencoba memperlihatkan keberpihakannya pada sektor pendidikan. Pada tahun 2007 sebanyak 18 sekolah masing-masing 15 SD dan 3 SMP negeri dan sederajat yang dinominasi siswa dari keluarga kurang mampu, mendapat subsidi penuh dalam mengecap pendidikan.

"Dari 89 sekolah di Makassar yang menjadi target subsidi Pemkot Makassar, sudah terealisasi 18 sekolah dengan menggunakan dana APBD 2007 sebesar Rp2 miliar," jelas H Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sembari mengimbuhkan, sedang untuk periode 2008 Pemkot menambah 48 sekolah bersubsidi lagi yang diprioritas di kantong-kantong warga miskin di Makassar, di antaranya Kecamatan Manggala, Antang dan Mariso yang berada di daratan.

Sementara sekolah yang berada di wilayah pesisir Kota Makassar seperti Pulau Barrang Lompo, Kodingareng dan Lumu-Lumu sudah dibebaskan dari biaya dan pungutan sekolah tahun 2007 lalu.

Mengenai target pendidikan dasar di kota yang berjulukan "Anging Mammiri" ini, Muhammad Nasir Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar mengatakan, akan digenapkan jumlahnya mencapai 100 sekolah yang mendapat akses pendidikan gratis.

"Target itu diharapkan sudah terpenuhi pada akhir 2009 dengan total anggaran dari APBD Kota Makassar sebesar Rp10 miliar," katanya sembari mengimbuhkan, dengan anggaran tersebut diharapkan dapat menjangkau sekitar 19 ribu orang siswa SD dan 2.500 orang siswa SMP yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Masih Ada Pungutan

Meskipun puluhan sekolah di Kota Makassar sudah digratiskan, namun masih ada keluhan dari sejumlah wali siswa mengenai pungutan sekolah yang dinilai memberatkan.

Hal tersebut terungkap pada musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) di Kantor Balaikota Makassar baru-baru ini. Sejumlah wali siswa dan Lembaga Pemberdayaan Musyawarah (LPM) mengkritisi program pendidikan gratis yang dijalankan Pemkot Makassar yang dinilai tidak sepenuhnya gratis.

Sikap kritis itu dibenarkan Syamsu Niang, anggota DPRD Kota Makassar yang berlatarbelakang dari dunia pendidikan. Menurutnya, Pemkot sudah mencoba membuat kebijakan untuk membantu masyarakat kurang mampu dalam mengakses pendidikan, namun penjabarannya di lapangan, masih ada saja kebijakan pihak sekolah yang membebani wali siswa dengan biaya-biaya tertentu, misalnya uang jaminan buku paket yang dipinjamkan.

"Padahal sekolah itu mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan anggaran APBD kota," katanya.

Hasnah, salah seorang wali siswa SD Borong Jambu di kawasan Antang misalnya mengungkapkan, anaknya dibebankan uang jaminan buku paket senilai buku yang dipinjam dari sekolah. Padahal setahunya dana BOS dan program pendidikan gratis itu, menanggung semua buku siswa.

Menanggapi hal tersebut, salah seorang guru di sekolah itu yang enggan disebut jati dirinya mengatakan, uang jaminan buku adalah suatu hal yang wajar. Hal itu dimaksudkan untuk membuat siswa lebih bertanggung jawab terhadap buku yang dipakainya.

"Jika buku itu awet kan masih bisa dimanfaatkan oleh adik-adik kelasnya, namun jika buku itu sobek atau rusak, maka yang memegang buku itu berkewajiban menggantinya," ujarnya sembari mengimbuhkan uang jaminan itulah sebagai kompensasinya.

Melihat fenomena upaya pelaksanaan pendidikan gratis itu yang sejalan dengan program unggulan pasangan gubernur terpilih di Sulsel yakni Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang, Roslaeli, Ketua Yayasan Pendidikan Makassar yang juga pengamat pendidikan di kota ini mengatakan, penerapan pendidikan gratis ini bukan suatu hal yang mudah, karena bukan untuk program satu - dua tahun saja.

"Ini merupakan program yang diharapkan berkesinambungan sehingga membutuhkan anggaran yang tidak main-main besarnya," katanya.

Terkait dengan hal tersebut, pelayanan pendidikan gratis di Kota Makassar pada khususnya dan Sulsel pada umumnya, masih butuh waktu yang panjang. Paling tidak, diprediksi 20 tahun yang akan datang baru akan terwujud. Kecuali jika para pengambil kebijakan di daerah ini berani 'all out' menganggarkan APBD yang lebih berpihak pada sektor pendidikan. Pasalnya, fenomena yang ada diketahui, dari sekitar Rp1,6 triliun APBD Sulsel, pembiayaan di sektor pendidikan tidak mencapai lima persen dari anggaran yang ada.

Sementara APBD Kota Makassar senilai Rp400 miliar lebih nampaknya hanya nekat menganggarkan dana sektor pendidikan hampir 20 persen. Namun ternyata dana itu belum mampu menutupi semua persoalan di sektor pendidikan, termasuk untuk program pendidikan gratis.

No comments: