Monday, September 8, 2008

PERUBAHAN IKLIM DI LUMBUNG PANGAN


Makassar, 4/9 (ANTARA) - Perubahan iklim yang terjadi saat ini, tidak terlepas dari pemanasan global yang kini menjadi isu sentral baik negara maju hingga negara miskin sekalipun.
Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berpenduduk sekitar 8 juta jiwa, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian.
Dengan produksi rata-rata 2,5 juta ton beras per tahun, telah menempatkan Sulsel sebagai daerah penyangga pangan nasional terbesar kedua setelah Jawa Timur (Jatim).
Terkait dengan perubahan iklim di daerah lumbung pangan ini, disadari atau tidak telah memberikan pengaruh yang signifikan. Kenaikan suhu yang relatif lebih panas dibanding lima atau sepuluh tahun silam, pergeseran musim tanam, munculnya hama tanaman yang didukung oleh iklim dan sebagainya.
"Bulan Agustus - September biasanya masih merupakan musim kemarau, namun kali ini masuk kategori musim kemarau 'basah' sehingga hujan di beberapa daerah di Sulsel kerap terjadi," jelas Hanafi Asnan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Makassar menanggapi adanya pergeseran musim yang terkait dengan perubahan iklim.
Adanya perubahan iklim yang disinyalir merupakan siklus 30 tahunan, menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Sulsel, Lutfi Halide, turut memicu tingginya curah hujan pada musim penghujan.
Namun, tidak akan terlalu berpengaruh pada target produksi beras sedikitnya 2,5 juta ton tahun ini dari optimalisasi lahan sawah sekitar 890 hektare (ha), katanya.
Kendati ada sikap optimistik dari pemerintah di daerah ini, namun Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Rahman Daeng Tayang mengatakan, semua pihak tidak terkecuali pemerintah harus realistis melihat dan membaca kondisi pertanian saat ini.
"Lahan pertanian kita makin menyempit setiap tahun, karena alih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pabrik dan sebagainya. Sementara petani terus dituntut meningkatkan produksi dengan segala keterbatasan," katanya.
Lebih lanjut dikatakannya, keterbatasan itu misalnya daya beli sarana produksi yang masih rendah, karena dipicu oleh tingkat kesejahteraan petani yang masih minim.
Sebagai gambaran, harga beras dunia terus meningkat, sementara harga beras di tingkat petani sesuai dengan Harga Pokok Pemerintah (HPP) masih belum berimbang dengan biaya operasional yang harus ditanggung petani.
Petani pun tidak berdaya menghadapi dampak dari perubahan iklim seperti banjir bandang yang kemudian memicu longsor dan bencana alam lainnya, karena selama ini petani tetap dibiarkan dengan persepsinya bahwa bencana alam yang terjadi itu sebagai musibah atau takdir yang harus diterima.
"Sosialisasi tentang adanya bencana alam, karena faktor kelalaian manusia, juga karena kerusakan lingkungan dan upaya mengantisipasinya masih sangat minim," katanya.
Hal itu dibenarkan Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, Mustam Arif. Menurutnya, selama ini yang menyosialisasikan pentingnya mitigasi masih proaktif dilakukan pihak Lembaga non Pemerintah (NGO's).
Sementara pemerintah lebih cenderung kepada penanganan bencananya pasca terjadi kasus, bukan pada upaya pencegahan atau antisipasi. Mitigasi dan Adaptasi Dalam menghadapi perubahan iklim sebagai bagian dari pemanasan global (global warming) bagi negara/daerah, khususnya daerah agraris seperti Sulsel dilakukan melalui mitigasi dan adaptasi.
"Kedua cara itulah yang dapat ditempuh agar bisa tetap 'survive' atau bertahan," jelas Dr Suppakorn Chinvanno, Koordinator Proyek Penelitian pada Souteast ASIA START Regional Center (SEA START RC), Chulalongkorn University, Thailand pada Climate Change Media Workshop di Manila, Filipina, Agustus 2008 lalu yang juga diikuti Koresponden ANTARA, Suriani Mappong.
Menurutnya, resiko perubahan iklim di Asia Tenggara sebagai implikasi dari pemanasan global dengan peningkatan suhu permukaan laut sekitar dua hingga empat derajat Celcius, tidak perlu terlalu ditakuti, sepanjang mampu melakukan kedua hal itu (mitigasi dan adaptasi).
Sebagai contoh kasus, resiko banjir dari luapan delta Sungai Mekong di Thailand ke depan merupakan gabungan dampak dari alam dan pengaruh perubahan iklim. Karena itu, resiko bencana tersebut seharusnya mampu ditekan. Hal itu bisa tercapai jika menggunakan pandangan dan pendekatan yang menyeluruh (holistik).
"Yang lebih utama adalah merangkul stakeholder untuk menyamakan persepsi dalam menghadapi skenario bencana ke depan," katanya.
Sementara itu, Head of The Department of Economics at Jadavpur University, Kolkuta, India, Dr Joyashree Roy pada kesempatan yang sama mengatakan, negara sedang berkembang di Asia rata-rata masih menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian, sementara industri dan tansportasinya masih sulit menekan gas emisi yang akan memicu perubahan iklim dan pemanasan global.
"Padahal jika suatu negara mampu melakukan adaptasi dengan mengurangi pencemaran lingkungan misalnya untuk menciptakan standar hidup yang lebih baik, terbuka peluang lebar untuk mendapatkan 'capasity building' maupun 'Carbon Credit' dari donatur dunia yang peduli lingkungan," ungkapnya.
Hal tersebut dibenarkan Director Energy, Transport and Water Division, Asian Developmen Bank (ADB), Mr Woochong Um.
Menurut dia, ADB yang didirikan pada tahun 1966 dan beranggotakan 76 negara, 48 diantaranya dari Asia dan Pasifik, sejak tahun 2004 -2007 menyalurkan dana sekitar enam hingga sepuluh miliar dolar Amerika per tahun untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup.
"Salah satunya dengan memberikan kredit bagi industri yang mampu menurunkan gas emisinya atau ramah lingkungan," katanya dan melanjutkan, termasuk mendorong pengembangan potensi suatu daerah.
Apabila merunut semua itu dan merefleksikan pada posisi Sulsel sebagai daerah penyanggah pangan nasional, Gubernur Sulsel, H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, untuk pengembangan sektor pertanian di daerah ini sedikitnya dibutuhkan dana sekitar Rp750 miliar.
Namun untuk mendapatkan dana tersebut dari APBN atau pun donatur asing, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya dibutuhkan komitmen dari "hulu hingga hilir" dalam pemerintahan dan masyarakat Sulsel untuk saling mendukung mengelola potensi yang ada. Sehingga donatur mau melirik daerah ini.
Termasuk bagaimana mengantisipasi perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Sulsel. Tentunya, semua itu dapat diraih dengan tidak meninggalkan kearifan lokal. ***6*** (U.K-SUR/F003/B/Z003)(T.K-SUR/B/Z003/Z003) 04-09-2008 11:47:34

No comments: