Saturday, January 31, 2015

CU PAMMASE SELAMATKAN “PEJUANG DEVISA” BONE


Oleh Suriani Mappong 

    Menyandang gelar sebagai “pa’sompe” (perantau) bagi warga di tanah Bugis menjadi kebanggaan tersendiri. Perbedaan nilai mata uang dengan negara tetangga, khususnya Malaysia tentu menjadi impian manis bagi pa’sompe yang istilah umumnya adalah buruh migran. 
     Impian itu kemudian diperkuat ketika ada anggota keluarga, tetangga ataupun kerabat yang kembali ke kampung halaman dengan membawa kesuksesan yang terjabar dari materi yang berhasil dikumpulkan, maupun gaya hidup yang lebih “wah”.
     “Kalau selama ini, hidup kami pas-pasan saja, tentu kami ingin mendapat lebih agar bisa hidup lebih sejahtera dan bisa ke tanah suci,” kata salah seorang warga Desa Mallari, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan Sab’ina (38).
    Karena itulah, suaminya Ridwan (40) pun merantau ke negeri Jiran Malaysia dengan harapan dapat mengubah nasib, meskipun harus meninggalkan isteri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
    Menurut perempuan yang aktif mengikuti kegiatan kemasyarakatan di Kantor Desa Mallari ini, karena suaminya hanya terbiasa melaut mencari ikan, maka pekerjaan yang digelutinya di negara tetangga juga sebagai nelayan dalam satu tahun terakhir.
    Sementara warga lainnya, Hj Nurjannah mengaku sudah sekitar 15 tahun ditinggalkan suami H Muh Arif untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia. Sebelumnya pernah ikut merantau bersama suami di Malaysia, namun akhirnya pulang kampung untuk menyekolahkan keempat anaknya.
    Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dengan mengadalkan kiriman dari suami tidaklah cukup, karena bisa saja kiriman belum tiba sementara kebutuhan konsumsi atau sekolah anak sudah  mendesak. Hal itulah yang pernah dialami Nurjannah, sehingga memutuskan untuk membudidayakan rumput laut di pesisir pantai, tak jauh dari rumahnya.
    “Dalam membudidayakan rumput laut, saya membutuhkan dana Rp1,5 juta untuk membeli bibit rumput laut dan tali. Ditengah kebingungan mencari modal, untunglah Bu Sab’ina memberikan informasi jika Credit Union (CU) Pammase yang dibina Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Kabupaten Bone dapat meminjamkan kredit modal usaha,” katanya.
    Tanpa melalui prosedur yang panjang dan agunan, kebutuhan dana itupun akhir tertutupi dan bididaya  rumput lautnya mulai berkembang. Dari hasil penjualan rumput laut yang umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul seharga Rp15 ribu per kilogram, selanjutnya sebagian dari penjualan rumput laut itu digunakan membayar cicilan kredit Rp142 ribu per bulan  selama 12 bulan.
     Mirip dengan kisah Hj Nurjannah, warga Mallari lainnya yakni Hj Syamsidar juga sempat merantau ke Malaysia dan menjadi buruh mirgran, namun dua tahun lalu memilih kembali ke kampungnya untuk menyekolahkan anak dan menjadi “single parent”, karena suaminya masih bertahan di Malaysia dalam 20 tahun terakhir. Kini, dua dari tiga anaknya sudah duduk di perguruan tinggi, yang tertua menuntut ilmu di Akademi Pelayaran Barombong, Makassar dan anak keduanya di STAIN, Bone.
    Hal serupa juga dialami Hj Mardiati yang harus rela berpisah dengan suaminya, Alimuddin yang bekerja di pelabuhan ataupun di pabrik kilang, Malaysia dalam kurun waktu 20 tahun. Begitupun Rosmiati yang harus menanggung beban keluarga dan menyekolahkan ketiga orang anaknya.
    “Untuk membatu biaya pelengkapan sekolah anak, saya pinjam ke CU Pammase Rp2 juta dan kemudian membayar cicilan itu dari hasil upah budidaya rumput laut milik saudara,” katanya.
    Sementara Hj Nursidah mengaku, meskipun belum pernah meminjam ke CU Pammase, namun manfaat yang diperolehnya sangat banyak sebagai anggota koperasi itu. Alasannya, selain dapat mengajak untuk gemar menabung, juga membantu menerima kiriman dari suaminya di luar negeri melalui program “Delima”.
    Manfaat lainnya, anggota CU Pammase baik senior maupun yunior akan mendapatkan santunan kematiaan (Soka). Cukup membayar iuran Rp20 ribu per tahun, ahli waris mendapatkan santunan Rp1 juta. Khusus santunan rawat inap, iurannya Rp50 ribu dalam 10 hari dalam setahun.  
     Hal tersebut dibenarkan Kepala Desa Mallari A Wahyuli, Spd. yang memimpin lima dusun di wilayah kerjanya. Menurut dia, dari sekitar 650 kepala keluarga (KK) sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.
     “Kelompok perempuan atau ibu-ibu juga turut bertani, baik padi maupun rumput laut, disesuaikan dengan musimnya saja. Khusus perempuan buruh migran, sekembalinya di kampung mereka memilih membudidayakan rumput laut, baik diusahakan sendiri maupun hanya sebagai buruh upahan,” katanya.
     Keberadaan LPP dengan CU Pammase ini, diakui sangat membantu pemberdayaan perempuan di desanya, khususnya dari sisi peningkatan ekonomi keluarga yang berdampak pada upaya mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan anak usia sekolah.

 Membangun Kesadaran
     Bangunan sederhana tipe 36 di BTN Sodang’e Nomor 4, Kecamatan Tanete Riattang, Watampone, Kabupaten Bone, Sulsel menjadi wadah untuk membangun kesadaran para buruh migran, sekaligus melindungi buruh migran di “Bumi Arupalakka”.
     Di tempat itulah CU Pammase yang berbadan Hukum dididirikan setelah mengantongi Akta Notaris No. 14 tanggal 18 Agustus 2011. Secara struktural organisasi, koperasi simpan pinjam ini terhubung dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D) Makassar yang selanjutnya berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) di Jakarta.
    Kemudian BK3I tergabung dalam ASIAN Confederation of Credit Union (ACCU) yang berpusat di Bangkok dan didirikan pada 1969. Kemudian ACCU berada dibawah jaringan World Council of Credit Union (WOCCU) yang berpusat di WINCOUNSIL, Amerika Serikat dan berdiri pada 20 Oktober 1948.
    “Kehadiran CU Pammase ini, berangkat dari keinginan membantu para mantan atau yang masih aktif sebagai buruh migran untuk menyelamatkan kiriman uangnya dari luar negeri,” kata Dewan Pendiri/Pembina LPP Bone Asia A Pananrangi. 
     Kiriman uang lewat calo, teman ataupun kerabat buruh migran, kerap tidak sampai ke tangan keluarga penitip, sehingga pengelola LPP menginisiasi membentuk CU Pammase yang diprioritaskan untuk para buruh migran setelah melakukan identifikasi masalah pada kantong-kantong buruh migran di Kabupaten Bone.
     Menurut Asia, target pertama dari pembentukan koperasi itu pada 2011 adalah menekan praktik penipuan pada “pejuang devisa”. Melalui kredit mikro itu, dapat memfasilitasi buruh migran atau keluarga mantan buruh migran dalam mengirim dan menerima uang, termasuk dapat meminjam jika membutuhkan dana, baik untuk kebutuhan keluarga, kebutuhan sekolah maupun modal usaha.
     Khusus mengenai persoalan buruh migran di Bone yang ditaksir hampir separuh dari sekitar 600 ribu jiwa penduduknya merantau ke luar negeri, wakil ketua DPRD Kabupaten Bone ini mengatakan, pemerintah daerah sulit mengindentifikasi, karena sebagian berangkat dengan alasan hanya akan ke Nunukan, Kalimantan.
     “Dari lokasi itulah kemudian mereka lewat “samping” masuk ke Malaysia tanpa dokumen resmi dan hanya main kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.
    Asia mengatakan, dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan terhadap mantan buruh migran diketahui, sebagian besar tidak memiliki dokumen resmi untuk mejadi tenaga kerja di luar negeri, karena tidak memiliki dana untuk mengurus dokumen melalui calo atau orang tertentu. Sementara untuk mengurus sendiri mereka tidak tahu mekanismenya.
     Menyikapi kondisi itu, LPP Bone bersama mitranya yakni Maju Perempuan Indonesia (MAMPU) – BaKTI  mencoba menjembatani dengan mengadakan diskusi rutin mempertemukan konstituen dengan Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) terkait serta pihak legislator selaku pembuat legislasi.
     Mengenai hal itu dibenarkan Program Manager MAMPU – BaKTI Lusia Palulungan yang didampingi Program Officernya Junardi Jufri. Upaya itu diakui telah didorong mulai dari tingkat desa, kemudian membentuk Forum Kecamatan untuk mendiskusikan masalah di lapangan bersama perwakilan rakyat di masing-masing daerah pemilihan.
    “Juga intens mendiskusikan lima tema yang diusung MAMPU yakni membuka akses perempuan miskin pada program perlindungan sosial, akses pekerjaan dan menghapus diskriminasi di tempat kerja,” kata Lusia.
     Selain itu, meningkatkan kondisi tenaga kerja perempuan ke luar negeri, juga meningkatan kepemimpinan perempuan untuk kesehatan reproduksi yang lebih baik dan mengurangi kekerasan terhadap perempuan.
     “Jadi melalui forum itu, masalah yang dihadapi konstituen dapat disampaikan langsung ke pihak legislator, sebalikya legislator juga dapat menyosialisasikan hal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat,” katanya.
     Dengan demikian, melalui program kemitraan dengan semua “stakeholder” itu diharapkan, akan terbangun kesadaran masyarakat untuk lebih memberdayakan diri dan tidak mudah diiming-imingi dengan kehidupan materi yang belum tentu benar dalam proses pencapainnya.
    Karena itu, bagi buruh migran maupun mantan buruh migran hendaknya dapat merenungkan pepatah kuno yang menyebutkan, “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, masih lebih baik di negeri sendiri.” Hanya saja, pepatah itu masih perlu disempurnakan, bahwa hujan batu di negeri sendiri harus dapat diubah menjadi hujan emas dengan giat berusaha dan mampu bersinergi dengan pihak lain. CU Pammase