Makassar -- Momentum bulan Mei merupakan kalender yang spesial untuk Badan Usaha Logistik (Bulog), karena selain memperingati hari jadi yang jatuh pada tanggal 10 Mei, juga bulan itu adalah penutupan dari puncak panen raya di tanah air.
Dengan status Bulog yang empat tahun terakhir telah menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2003, Dirut Bulog Mustafa Abubakar dalam kunjungannya di Makassar menekankan kepada jajarannya untuk mengemban dua amanah sebagai fungsi logistik.
"Di sayap kanan kita mengemban fungsi sosial, yakni menstabilkan harga beras di pasaran, melakukan Operasi Pasar (OP), mengadakan beras untuk masyarakat Miskin (Raskin) dan menyiapkan logistik untuk bencana alam," ujar putra berdarah Aceh ini.
Sementara tugas jajaran Bulog di sayap kiri yang terkait dengan fungsi komersil, lanjutnya, berupaya membantu pemerintah dalam memberikan konstribusi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di sini, jajaran Bulog harus pandai dalam melihat peluang bisnis di sektor pangan maupun sektor lainnya yang masih terkait dengan kepentingan masyarakat umum.
Terkait dua peranan Bulog tersebut, pada semester pertama tahun 2007 ini merupakan tahun ujian bagi Mustafa Abubakar sebagai Dirut baru.
Pasalnya, per 1 April 2007 jabatan baru yang disandangnya bersamaan dengan terbitnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Dalam Inpres nomor 3 tahun 2007, pemerintah menetapkan HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) Rp2.000 per kilogram, Gabah Kering Giling (GKG) Rp2.575 per kilogram dan beras Rp4.000 per kilogram atau mengalami kenaikan sekitar Rp300 - Rp450 per kilogramdibandingkan HPP sebelumnya yang dituangkan dalam Inpres nomor 13 tahun 2005.
Sebenarnya diakui Dirut Bulog, penerbitan HPP per 1 April 2007 terbilang telat. Karena lazimnya, HPP terbit sebelum masa panen, sementara masa panen puncaknya jatuh pada April - Mei. Sebagai contoh, sebagian besar daerah di Jawa, khususnya Jawa Timur sudah selesai panen ketika HPP baru terbit. Begitu pula dengan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang merupakan basis pangan nasional setelah Jawa Timur.
Dengan fenomena seperti itu, otomatis pengadaan dalam negeri agak sulit terkejar pada semerter pertama ini. Pasalnya, harga produksi petani sudah lebih awal diborong oleh spekulan-spekulan yang memanfaatkan momentum melimpahnya produksi dengan berlindung dibalik hukum ekonomi. Artinya, pada saat produksi melimpah, harga turun. Sementara petani dalam kondisi seperti itu, hanya sedikit mendapatkan keuntungan.
"Sebelum Bulog turun, kami sudah menjual gabah kami pada pedagang pengumpul, juga pada penggilingan di tempat kami," ungkap Ilyas, salah seorang petani di Kecamatan Lau, Kabupaten Maros. Padahal menurutnya, saat penjualan gabah jenis GKP itu hanya dibeli seharga Rp1.800 per kilogram atau lebih murah dari HPP untuk GKP yakni Rp2.000 per kilogram.
Alasan rata-rata petani yang menjual produksinya yang terkesan terburu-buru itu, karena untuk menutupi biaya sarana produksi (Sparodi) pra panen maupun pasca panen. Belum lagi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anaknya yang membutuhkan talangan dana.
Putuskan Mata Rantai
Salah satu penyebab sulitnya petani menikmati HPP di lapangan, karena panjangnya mata rantai pembelian Bulog selama ini. Sekaitan dengan hal tersebut, kini Bulog membentuk Satgas untuk memutus mata rantai yang panjang itu.
"Kalau selama ini, Bulog hanya mengandalkan jalur kemitraan, kini sudah dibentuk Satgas yang berfungsi sebagai pembeli yang langsung menjemput produksi petani di lapangan," imbuh Abdul Karim Pati, Kepala Divre Bulog Sulsel yang mencoba menjabarkan kebijakan Bulog di daerah lumbung beras ini.
Dijelaskan, Satgas tersebut berasal dari sarjana-sarjana pertanian yang sengaja direkrut oleh Bulog untuk membantu pengadaan dalam negeri. Dalam hal ini, Bulog Sulsel bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin yang menyiapkan tenaga-tenaga sarjana pertaniannya.
Keberadaan Satgas itu di lapangan, diakui sebagian besar petani di Sulsel sudah cukup membantu untuk mendapatkan harga yang layak.
Mursalam (35), salah seorang petani di Desa Manggempang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru misalnya, mengaku sangat terbantu dengan adanya Satgas di daerahnya. Pasalnya, ia tidak perlu repot-repot mengangkut gabahnya ke penggilingan atau ke lokasi pembeli. Selain itu, bisa mendapatkan dana 'cash' secara langsung.
"Menjual GKP ke Satgas lebih nyaman. Karena tidak perlu repot mengakut dan menjemur gabah dulu, disamping itu dapat bayaran langsung, tanpa perlu menunggu beberapa hari seperti yang biasa dilakukan pihak penggilingan jika kehabisan uang tunai," ungkap bapak berputra satu orang dan mengaku masih numpang di rumah mertua ini.
Dengan adanya Satgas dan sekitar 300 mitra Bulog Sulsel di lapangan, Kadivre Bulog optimis pengadaan Sulsel tahun 2007 sebanyak 232 ribu ton dapat terpenuhi, meskipun pada musim panen April - Mei 2007 ini baru mencapai sekitar 30 persen dari prognosa.
"Dengan melihat proyeksi 2006 lalu, realisasi pengadaan Divre Bulog Sulsel yang membawahi Provinsi Sulsel dan Sulbar ini, mencapai 280 ribu ton gabah setara beras," ujarnya sembari menambahkan, Divre Sulsel ketika itu tercatat sebagai satu-satunya Divre Bulog di tanah air yang memenuhi prognosa pengadaan.
Menyikapi hal tesebut, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Abdul Rahman Daeng Tayang mengatakan, keberhasilan itu belum dapat disahkan jika Bulog belum mampu menyerap sebagian besar produksi petani, sehingga produksi petani tidak jatuh ditangan tengkulak atau spekulan.
Karena itu, lanjutnya, tantangan Bulog ke depan adalah harus menjadi 'dewa penyelamat' bagi petani dengan menyerap produksi petani sebanyak-banyaknya dengan harga yang pantas. Sehingga beras dalam negeri tidak lagi dilarikan ke luar negeri dan kemudian pemerintah kerepotan mengadakan beras impor dari negeri tetangga misalnya Thailand dan Vietnam.
"Sulsel sendiri sebagai daerah penyanggah pangan nasional mampu memproduksi sekitar 2,5 juta ton beras per tahun, dan sekitar 1,5 juta ton diantaranya adalah surplus. Mengapa itu tidak dimanfaatkan oleh Bulog?" tandasnya.
Ia menambahkan, selama ini yang dapat diserap Bulog tidak sampai separuh dari total produksi, sehingga produksi petani di daerah ini lebih banyak diantarpulaukan, bahkan dikirim ke luar negeri lewat Nunukan yang berbatasan dengan Negara Malaysia.
Terkait dengan semua persoalan yang ada di lapangan, di usia yang keempat dengan status Perum ini, sudah sepatutnya Bulog semakin berbenah diri dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks, baik dalam tugasnya sebagai fungsi sosial, juga menghadapi persoalan pengadaan dalam negeri dan persaingan dalam pasar global yang nota bene membonceng persoalan beras impor.
Friday, May 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment