Makassar -- Banjir bandang setinggi lima meter dan tanah longsor yangterjadi di Kabupaten Sinjai, Sulsel pada Juni 2006 lalu adalah buah darikerusakan hutan di Sulsel.Saat sebagian besar warga Sinjai tidur lelap, hujan deras mengguyur daerahitu dan tak lama kemudian air sungai Mangonttong pun meluap dan menyapusejumlah desa di Kabupaten Sinjai, khususnya di Kecamatan Sinjai Utara danSinjai Timur yang memang secara geografis daerahnya landai.
Lokasi Sungai Mangontong sebenarnya berada di sisi utara GunungBawakaraeng. Sementara di gunung tersebut, hutan pinus di sisi selatannyasudah banyak ditebang dan lahannya berubah menjadi perkebunan lada danvanila.Akibatnya, setelah Kabupaten Sinjai diguyur hujan selama tiga hariberturut-turut (21-23 Juni 2006) dalam kondisi curah hujan diatas normal(220 mm/hari) , luapan Sungai Mangontong akhirnya menelan lebih dariseratus orang korban diKabupaten Sinjai, dan puluhan korban juga melanda daerah di sekitarnyayakni Kabupaten Bone, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto.
Selain korban jiwa, korban material pun sangat besar, bahkan upayarecovery yang dilakukan pemerintah setempat dalam setengah tahun terakhir,belum sepenuhnya mampu memulihkan kondisi desa atau dusun yang terkenabencana banjir bandang dan longsor.Terbukti rehabilitasi daerah-daerah yang dilanda bencana di KabupatenSinjai, hingga kini masih jalan di tempat.
Kerja besar pemerintah setempat mengembalikan Sinjai seperti sedia kalasama sekali belum ada, termasuk antisipasi agar bencana tak lagi terulang.Padahal, akibat banjir dan longsor pertengahantahun 2006 lalu, korban meninggal di Sinjai mencapai 220 orang. Sementara 7.858 jiwa lainnya terpaksa menjadi pengungsi karena kehilangan rumah danharta benda.Belum lagi kerusakan sarana dan prasarana pendidikan dan pertanian sertainfrastruktur yang mencapai miliaran rupiah.
Sejumlah pengungsi yang kehilangan rumah hingga kini masih ditampung digedung milik Pemerintah Kabupaten Sinjai meski jumlahnya tidak banyak.Sementara di beberapa tempat, seperti di Desa Panaikang, Gantarang,Kanrung, Baru, dan Tellue, bahkan masih ada korban banjir dan longsor yangmenumpang di rumah kerabat mereka, karena tidak bisa berbuat apa-apa jikakembali ke rumahnya.
Peringatan Dini Tidak JalanMenyikapi bencana alam yang terjadi pada medio 2006 lalu di KabupatenSinjai, Indah Pattinaware, aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Sulsel menilai, hal itu terjadi karena pemerintah tidak mempunyaisistem peringatan dini."Pemerintah tidak dapat mengantisipasi datangnyabencana, karena tidak mempunyai sistem peringatan dini," ungkapnya sembarimenambahkan, yang terjadi kemudian ketika terjadi bencana justeru salingtuding antara pejabat pemerintah pusat dengan daerah ini yang tentunya takmenyelesaikan masalah.
Di sisi lain, penyebab utama bencana yang terjadi di Sinjai itu karena hutan atau pohon di sekitar hulu Sungai Mangontong sudah mengalamikerusakan sebelum banjir datang.Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulsel diketahui, seluas 510 ribuhekatare dari total dua juta hektar lahan hutan di Sulsel saat ini dalam keadaan kritis.
Kerusakan hutan tersebut umnya terjadi di Kawasan KaraengLompo, di sekitar Gunung Bawakaraeng dan Lompo Battang yang nota beneberada di wilayah kelima kabupaten yang terkena bencana banjir pada Juni2006 silam.Menanggapi masih minimnya sistem peringatan dini yang dilakukanpemerintah, Kepala Badan Kesbang Sulsel, H Saleh Radjab menampik haltersebut.
Menurutnya, pihaknya sudah berupaya maksimal, namun kondisi alamyang berubah secara tiba-tiba bisa diluar jangkauannya.Sementara itu, Gubernur Sulsel HM Amin Syam mengatakan, pihak Pemprovsendiri pada saat pasca bencana sudah memberikan bantuan uang lebih dariRp100 juta plus bantuan natura. Sedang pemerintah pusat memberikanbantuan dana tanggap darurat sebesar Rp 1 miliar. Termasuk memberikanbantuan perbaikan rumah bagi warga yang terkena bencana.Terlepas dari upaya yang dilakukan pemerintah itu, Burhan, salah seorangwarga Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai yang merupakan dampinganWalhi mengatakan, pasca bencana selain kehilangan anggota keluarga danharta benda, alat mata pencahariannya berupa perahu nelayan sudah tidakada lagi.
"Kalau dulu memiliki perahu sendiri untuk menangkap ikan di laut, kinihanya menjadi sawi (anak buah) dari pemilik kapal nelayan yang ada,"keluhnya seraya menambahkan, otomatis hasil yang diperoleh dari melaut itu hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Padahal dua orang anaknya yang sempat selamat dari bencana banjir, masih butuh biaya sekolah dankebutuhan sandang pangan yang memadai.
Wednesday, June 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment