Saturday, January 31, 2015
CU PAMMASE SELAMATKAN “PEJUANG DEVISA” BONE
Sunday, December 4, 2011
ODHA JUGA MANUSIA
Makassar, 3/11 (ANTARA) - Menjadi penyandang Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tentu tidak ada yang menginginkan, karena bermimpi menjadi ODHA akan berhadapan dengan 1.001 macam persoalan yang tidak menyenangkan.
Disalahkan, dikucilkan, dihina dan perlakuan buruk lainnya akan menjadi teman perjalanan dalam menjalani sisa hidup sebagian besar ODHA.
"Bahkan yang tragis, ada yang dikurung dalam sebuah gubuk di desa, kemudian mendapatkan makanan apabila ada yang memberi, itupun dilempar dari jauh karena warga takut terjangkiti," kata Kepala Biro Bina Narkotika Psitropika Zat Aditif (Napza) dan HIV/AIDS Sulsel Sri Endang Sukarsih.
Dia mengatakan, itu hanya contoh kasus perlakuan terhadap ODHA di sebuah perkampungan di perbatasan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng, Sulsel.
Adanya perlakuan yang tidak manusiawi itu, lanjut dia, karena sebagian masyarakat belum mengetahui penularan virus HIV/AIDS, penyebabnya dan upaya penanggulangan ataupun pencehagannya.
"Kalau saja masyarakat tahu semua itu, ODHA tidak perlu diisolasi, pergaulan tetap manusiawi," katanya.
Penyakit yang sangat ditakuti ini, menurut konsultan kasus HIV/AIDS di Sulsel Prof DR dr Alimin Maidin, HIV adalah virus yang membunuh sel darah putih (CD4) di dalam tubuh. Padahal peranan sel darah putih adalah membantu melawan infeksi dan penyakit yang masuk ke dalam tubuh.
Sedangkan AIDS terjadi setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dan berusaha menghancurkan sistem kekebalan tubuh.
"Ketika sistem kekebalan tubuh seseorang sudah rusak, maka tubuh akan mudah terserang penyakit yang ada di sekitarnya, khususnya penyakit TBC dan Hepatitis," kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini.
Mengenai penularan HIV/AIDS, lanjut dia, perlu sosialisasi yang gencar, karena masih ada stigma jika HIV/AIDS dapat menular melalui kontak sosial atau pergaulan biasa misalnya pacaran "biasa", makanan/minuman, melalui udara, ludah dan kotoran.
Termasuk melalui kolam renang, telepon, toilet, gigitan nyamuk atau serangga. Padahal semua itu tidak benar.
Virus HIV hanya menular melalui jarum suntik, seks bebas dan bayi yang ibunya positif HIV.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu waspada jika orang di sekitar kita mengalami gejala-gejala HIV/AIDS yakni rasa lelah dan sakit kepala yang berlangsung terus-menerus (kontinyu).
Selain itu, juga demam kontinyu, penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah bening, batuk berat dan tidak sembuh-sembuh, diare kontinyu, mudah mengalami pendarahan dan mudah terserang penyakit.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sulsel diketahui, kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS adalah homoseksual, pengguna narkoba, pekerja seks komersial, penerima transfusi darah, petugas kesehatan, pelancong atau wisatawan, serta yang berusia produktif yakni 20 - 34 tahun.
Adapun jumlah penderita HIV di Sulsel pada 2011 mencapai 3.118 orang dan AIDS 1.163 orang. Padahal 2008 penderita HIV/AIDS masih 2.366 orang.
Dari jumlah penderita HIV/AIDS 2011, khusus Kota Makassar terdapat penderita HIV sekitar 2.700 orang, sedang yang menderita AIDS mencapai 874 orang.
Gunung Es
Mencermati peningkatan kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun, kondisi itu dinilai sangat mengkhawatirkan karena kasus tersebut merupakan fenomena gunung es.
"Artinya jika ditemukan satu penderita, maka tidak tertutup kemungkinan ada 10, 100 bahkan ribuan penderita yang belum ditemukan atau terdeteksi," kata Kabiro Bina Napza dan HIV/AIDS Sulsel Sri.
Mengenai kondisi tersebut, lanjut dia, karena ada sejumlah kendala di lapangan diantaranya keterbatasan anggaran pemerintah, jumlah sumber daya manusia (SDM) atau relawan untuk mencari ODHA.
Selain itu, belum ada kesadaran dari ODHA untuk memeriksakan diri atau melapor ke sejumlah tempat konseling seperti rumah sakit dan puskesmas yang sudah memiliki layanan Volunteer Conseling Treatment (VCT).
Hal itu juga diakui Asisten II Pemkot Makassar Burhanuddin
ketika Rakernas Penanggulangan HIV/AIDS pada awal Oktober 2011 di Yogyakarta.
Menurut dia, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit sangat rendah, sehingga menyulitkan pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS ataupun mencegah adanya korban baru. "Kasus HIV/AIDS akan menjadi permasalahan besar di Makassar," katanya.
Rendahnya partisipasi ODHA memeriksakan diri, lanjut dia, mungkin karena malu, padahal pemerintah sudah menyiapkan lima puskesmas sebagai tempat pemeriksaan, ditambah dua RS pemerintah yakni RS Wahidin dan Labuang Baji.
Kendala lain yang dihadapi Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Makassar adalah minimnya APBD yang dialokasikan untuk penanggulangan HIV/AIDS.
Dia mengatakan, minimnya anggaran yang dialokasikan dari APBN maupun APBD menjadi keluhan hampir semua KPA Kota/Kabupaten se-Indonesia.
Kendati demikian, KPA tetap berkomitmen untuk menjalankan program penanggulangan kasus HIV/AIDS dengan memperkuat Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) di lapangan.
Empati
Setumpuk persoalan kasus HIV/AIDS yang melilit hampir semua kota bahkan hingga ke pelosok desa, hendaknya disikapi secara arif dengan pendekatan empati pada ODHA.
"Itu adalah salah satu upaya yang paling manusiawi untuk menekan kasus HIV/AIDS," kata aktivis penanggulangan HIV/AIDS Sulsel yang akrab disapa Zul.
Menurut dia, sejumlah relawan yang diturunkan mencoba bersosialisasi dengan ODHA dengan pendekatan empati.
Bahkan, juga sejumlah rumah singgah yang menangani ODHA telah membentuk kampanye KIE melalui teman baya. Sistem ini dinilai lebih cepat bersosialisasi baik dengan ODHA maupun dengan sasaran kampanye.
"Fenomena di lapangan menunjukkan, sebagian besar ODHA tidak mau terbuka dengan keluarganya, tapi justeru terbuka pada sahabat atau teman sebayanya," katanya.
Hal itu diakui salah seorang ODHA yang memiliki nama samaran Andi.
Menurut dia, ketika mengetahui dirinya mengidap HIV maka yang pertama kali diberitahu adalah sahabatnya. Sementara keluarganya baru mengetahui kondisinya dari sabahatnya setelah beberapa bulan kemudian.
Alasan dia tidak mengungkapkan statusnya sebagai ODHA pada keluarga, karena takut kena marah, disiksa bahkan diusir dari lingkungan keluarga.
Padahal, dalam kondisi terpuruk seperti itu, dia membutuhkan dukungan moril dari orang-orang di sekelilingnya untuk menghadapi kehidupannya ke depan, termasuk untuk tidak menularkan penyakitnya pada orang lain.
Jadi, kalau ada pelantun lagu yang menyanyikan "Roker Juga Manusia", maka untuk ODHA juga berharap ada lagu yang bersyair "ODHA Juga Manusia" yang membutuhkan perlakuan yang wajar dan cinta kasih dari lingkungannya.***4***
(S036)
Friday, July 1, 2011
Trace i la galigo in leiden

After watching theatrical performances and dance about the epic I La Galigo at 23 - 24 April 2011 in Fort Rotterdam, Makassar. I'm interested to see first hand the ancient manuscripts from South Sulawesi in the library of Leiden University in The Netherlands.
The third world’s most expensive director, Robert Wilson raised the epic story of the Bugis culture of this land which is the most complete story on an international scale, because an accumulation of art, culture and science.
The manuscript is the longest in world literature with 6,000 pages - the length exceeds the literary Indian "Mahabharata". The epic tells the story of heroic protagonist Sawerigading and its manuscripts scattered and hardly ever lost.
King Paccana, Colliq PujiE (1812-1876) is the person who collected them back and rewrited into 12 volumes with a total of 2.851 pages.
In the 1800s, Dutch scientist Dr. Benjamin Frederik Matthes had carried 15 manuscripts I La Galigo to the Netherlands. The original manuscript written on sheets of papyrus (lontarak) is then stored in the Library of the Leiden University, The Netherlands.
La Galigo manuscript collections in this library is the most comprehensive in the world. Even Indonesia did not have it complete as this.
Therefore, one of my dreams when arrive in the Netherlands is like knowing a lot about that. Moreover, the manuscript until now has not returned to Indonesia, because of limited facilities and funds to preserve the ancient texts such as literary works I la Galigo.
Monday, May 31, 2010
Lipsus - Ketika Konversi Gas Elpiji Menelan Korban Oleh Suriani Mappong
Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji pada 2008.
Sejumlah provinsi di Indonesia menjadi proyek percontohan pada awal penerapan kebijakan itu, termasuk Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang menjadi salah satu daerah rintisan.
Setelah dua tahun kebijakan pemerintah itu diterapkan, Kota Makassar yang menjadi pionir penggunaan kompor dan tabung gas ukuran tiga kilogram (kg) bagi daerah lainnya di Sulsel, ternyata sepanjang 2010 harus mencatat sekitar 21 kasus ledakan tabung gas.
"Saya sekarang takut menggunakan kompor gas, setelah banyak kasus ledakan tabung gas di Makassar," kata salah seorang warga Pampang, Makassar Daeng Sanneng.
Kasus terakhir terjadi pada 6 Mei 2010 pada rumah warga di Jl Pampang II, Lorong V, RT A/RW IV, Kelurahan Pampang, Kecamatan Panakkukang, Makassar.
Pada kasus ini, dua bocah usia belasan tahun tewas terpanggang. Dua unit rumah dan satu sepeda motor ludes terbakar.
Sementara kasus lainnya, meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, namun korbannya harus mengalami kecatatan fisik, karena mengalami luka bakar.
Menanggapi fenomena tersebut, salah seorang pengamat sosial dari Universitas Sawerigading, Makassar Mohammad Yahya Mustafa mengatakan, sosialisasi yang minim dari program pemerintah untuk konversi minyak tanah ke penggunaan gas, sangat merugikan mayoritas pengguna tabung gas.
Masyarakat mungkin ada di antaranya baru pertama kali gunakan kompor gas, setelah turun temurun menggunakan kompor minyak tanah.
Akibatnya, lanjut dia, peralihan alat memasak dari kompor minyak tanah ke kompor gas yang kurang maksimal dan mendetail diinformasikan itu, harus menelan korban yang umumnya masyarakat ekonomi lemah.
Sementara itu, Hidayat Nahwi Rasul dari Centre of Information and Communication Studies (CICS) Sulsel menilai, maraknya kasus ledakan tabung gas di Makassar itu disebabkan tiga faktor.
"Lemahnya "quality control" (pengawasan kualitas) produk yang disalurkan ke masyarakat sasaran, kelembagaan kontrol konsumen juga tidak bekerja secara efektif dan masyarakat pengguna yang awam pengetahuannya terhadap penggunaan gas elpiji merupakan faktor pemicu," katanya.
Untuk mengantisipasi adanya kasus baru lagi, lanjutnya, maka yang diperlukan adalah sinergitas antara pemasok, Pertamina, lembaga konsumen untuk membicarakan soal mutu produk, pengawasan kualitas, proses distribusi serta sosialisasi penggunaan elpiji melalui media massa secara luas.
Sementara Yahya mengatakan, pihak PT Pertamina Region V selaku operator selain harus memperluas informasi dan sosialiasisasi penggunaan kompor gas itu secara mendetail dan terperinci melalui media massa, juga perlu turun langsung ke tengah masyarakat memberi penyuluhan sekaligus praktek penggunaan kompor gas itu.
Material dievaluasi
Menyikapi banyaknya kasus ledakan tabung gas ukuran tiga kg di Makassar, Kepala Administrasi Penjualan Gas Domestik PT Pertamina Region V Muhammad Tahir mengatakan, material paket konversi gas elpiji tiga kg yang disalurkan PT Pertamina Region V yang meliputi Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua sedang dievaluasi.
"Material itu kini dievaluasi di pusat. Jadi untuk sementara belum ada penyaluran material yang terdiri dari kompor dan tabung gas serta perangkatnya seperti selang dan regulator," katanya.
Menurut dia, pihak Pertamina tidak yakin jika kasus ledakan tabung gas itu disebabkan oleh material yang dibagikan, karena sudah mendapat pengakuan Standar Nasional Indonesia (SNI).
"Bisa saja material yang digunakan itu sudah diganti, karena biasanya sejumlah pengguna tabung gas tiga kg terbujuk promosi pihak swasta untuk mengganti materialnya yang dinilai lebih aman," katanya.
Selain itu, lanjutnya, kecelakaan ledakan tabung gas, dapat pula disebabkan oleh tiga faktor yakni kelalaian manusia, hubungan arus pendek dan tidak adanya ventilasi yang mendukung untuk sirkulasi udara di sekitar tempat alat memasak itu.
Dengan demikian, dia mengatakan, tidak semata-mata kasus ledakan tabung gas itu disebabkan oleh material yang dibagikan itu.
"Untuk menghindari adanya korban, kami juga memberikan selebaran yang berisi petunjuk penggunaan dan pemeliharaan kompor dan tabung gas," ujarnya.
Hanya saja, di lapangan tidak semua masyarakat yang dibagikan material itu mampu memahami selebaran yang diberikan PT Pertamina Region V, karena kendala keterbelakangan pendidikan, bahasa atau waktu luang yang terbatas.
Kini, realisasi program konversi minyak tanah ke gas elpiji sudah mencapai 98 persen untuk menjangkau 24 kabupaten/kota di Sulsel dan diharapkan akhir 2010 program pemerintah itu sudah rampung.
Masyarakat kalangan menengah ke bawah hanya memiliki satu harapan, agar buah kebijakan pemerintah itu tidak membuat mereka makin sengsara dan "phobia" menggunakan alat masak yang dinilai lebih modern dan praktis.
"Kami hanya ingin agar alat masak itu aman digunakan dan pasokan gasnya tidak sulit didapatkan. Jangan sampai minyak tanah semakin langka, kemudian nanti setelah pindah ke gas sedikit demi sedikit gas juga dinaikkan harganya," kata warga Kelurahan Cambayya, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar Daeng Hasanah.
Monday, February 23, 2009
Menjaga Kebebasan Pers sebagai Pilar Demokrasi
.jpg)
Wednesday, January 7, 2009
10 MUHARRAM DI SULSEL DIPERINGATI DENGAN 'BUBUR SYURA'
